"Yang Mulia Raja Banyu Adiwangsa, Pangeran Cakra Adiwangsa sudah berada di luar ruang, bersiap menghadap Yang Mulia Raja," unjar seorang prajurit kerajaan sambil posisi duduk menyembah disamping tombak yang ia taruh disisi kanannya menghadap sang Raja Banyu Adiwangsa berkulit putih bersih yang memiliki berbentuk diamond dengan dagu sedikit kotak dengan rambut panjang hitam, meski usianya sudah kepala lima yang tengah duduk di singgasananya.
"Persilahkan ia masuk," balas sang Raja kepada prajurit tersebut.
"Baik Yang Mulia," ucap prajurit sembari berusaha berdiri tegak dengan bantuan tombak yang ada di sisi kanannya itu.
Prajurit yang menggunakan seragam tunik biru dengan topi hitam, memakai sarung coklat bermotif batik bersepatu hitam, serta menetapkan perisai di tangan kirinya tepat di depan maju melangkah menuju samping kanan tangga terbawah dari tujuh anak tangga yang menuju singgasana raja.
Setelah sampai di tempat tujuannya, ia berbalik badan lalu meneriakkan, "Buka kan pintu persilahkan Pangeran Cakra Adiwangsa untuk memasuki ruangan singgasana," yang diikuti oleh gerakan membuka pintu oleh dua prajurit di dekat pintu ruang singgasana yang berdaun dua.
Masuk dari pintu itu, seorang Pangeran berkulit putih bersih yang memiliki wajah yang sama dengan ayahnya namun berambut pendek dengan dahi yang terlihat lebar serta hidung sedikit mancung dari rata-rata rakyatnya bermahkota yang menggenakan seragam tunik hitam berlengan panjang dengan kain yang terbuat dari emas murni berada di ujung lengan bagian tangan dan selendang serta bantalan bahu di sisi kanan dan kiri dari bahan yang sama serta ikat pinggang dengan motif singa.
Pangeran Cakra yang berjalan sembari menundukkan wajahnya langsung menunduk sembah kepada Raja Banyu. "Yang Mulia Ayahanda," ucapnya begitu sang pangeran menunduk sembah. Lalu dari sisi kiri belakang singgasana, keluarlah wanita di berpakaian kebaya hitam bermotif dengan kemben berwarna hitam bergambar bunga melati yang menutupi bagian atas tubuh beserta gaun panjang yang menjalar hingga menyentuh tanah yang memisah di tengah-tengah bagian depan memperlihatkan kemben yang dikenakannya.
Melihat wanita itu datang, Pangeran Cakra sedikit menggeser arahnya menyembah ke wanita itu, "Yang Mulia Ibunda," katanya. Wanita yang disebut ibunda oleh pangeran itu menaiki tangga singgasana dan duduk di singgasana Ratu, yang berada di sisi kiri singgsana raja.
"Angkatlah wajahmu, anakku," unjar Raja Banyu sembari menggerakkan tangan kanan ke atas menandakan bahwa ia memberi izin sang Pangeran mengangkat wajahnya melihat sang Raja dan Ratu.
"Sebagaimana yang kita tahu, putraku Pangeran Cakra Adiwangsa, akan memasuki usia dewasa. Sebagai penerus tahta Kerajaan Isan, kita harus mencari seorang mempelai wanita untuk dinikahkan," sang raja berhenti sejenak lalu melanjutkan, "oleh sebab itu, aku berencana menyelenggarakan pesta terbuka ulang tahunmu yang ke 17 di istana sekaligus mencarikan mempelai wanita untuk mu. Bagaimana menurutmu, putraku?��
"Hamba mengikuti apa saja kehendak Ayahanda," jawab sang pangeran.
"Apakah kamu sudah memiliki wanita yang kamu suka?" tanya sang Ratu
"Tidak ada ibunda," jawab sang Pangeran terhadap pertanyaan ibunya tersebut.
"Baiklah sudah ditentukan," unjar Raja Banyu, "Panglima Sakuntala, segera umumkan kepada khalayak banyak bahwa istana akan menyelenggarkan pesta terbuka perayaan ulang tahun Pangeran Kerajaan yang ke-17 pada dua pekan lagi di istana," perintah raja kepada prajurit yang berada di bawah tangga singgasana tadi.
"Laksanakan Yang Mulia," ucap sang Panglima sembari berjalan menuju gerbang pintu setelah memberikan hormat membungkuk kepada Raja, Ratu, dan Pangeran.
Saat Panglima berjalan keluar pintu, Raja Banyu memandang ke dua prajurit penjaga pintu tadi, "Kalian berdua, juga silahkan keluar ruangan. Saya dan Ratu akan berbicara dengan Pangeran secara pribadi," perintahnya kepada dua orang yang berjaga di pintu dalam istana, "awasi jangan sampai ada penguping. Bila saya mengetahui ada yang menguping pembicaraan kami, maka kalian berdua yang akan menanggung akibatnya," ancam sang Raja yang diikuit bungkukan kedua penjaga pintu tersebut.
"Baiklah sampai dimana tadi kita," tanya Raja Banyu sambil turun dari singgasana menghampiri sang pangeran, "oh iya. Kenapa kau belum punya tunangan? Kau masih normal kan? Masih suka sama perempuan kan?," ucap sang Raja sambil menggenggam kedua lengan atas putranya itu dengan suara seperti menahan tangis disertai mata yang sedikit berlinang air mata mengasihani.
"Ayah, hentikan itu. Aku kan sedang fokus belajar di perpustakaan demi kerajaan," balas pangeran Cakra dengan nada sedikit kesal
"Aaahh… alasan itu lagi. Setiap hari kamu itu hanya bolak balik ke perpustakaan. Kamu bahkan sering tidur disana dengan buku dimana-mana, sekali-sekali keluar lah berburu atau membantu pertanian atau berlatih perang. Yang penting keluar lah, bersosialisasi," komplain Raja sembari duduk di tangga singgasana.
"Tapi ayah, aku memang ikut berburu, berlatih perang bahkan mengawasi pertanian istana,"
"Itu kan karena ayah paksa," balas ayah Pangeran, "kalau tidak ayah paksa, kamu paling hanya bolak-balik ke perpustakaan, kamar mandi, ruang makan lalu ke perpustakaan lagi. Bahkan kalau tidak kularang makan ke perpustakaan, kamu paling makan disana," ucap Raja sembari menutup wajahnya seperti menahan malu, "aahh… putraku bisa-bisa menjadi madesu, kasihan..."
"Sayang, jangan bicara begitu. Aku yakin walaupun sering mengurung diri di perpustakaan, dia akan jadi raja yang hebat sepertimu," rayu sang Ratu.
"Kau benar juga ya sayang, anak kita akan jadi raja yang hebat," Raja mengiyakan sambil membuka tangan yang menutupi wajahnya, "kalau saja dia tidak mengurung diri di perpustakaan," ucapnya sembaru menutup wajahnya lagi.
Pangeran Cakra yang terlihat sedikit kesal namun malu itu pun berkata, "sudahlah ayah, kan nanti ada pesta, mencari mempelai wanita itu mudah,"
Mendengar hal itu, Raja Banyu pun memperlihatkan wajah bahwa ia punya sebuah ide, sebuah wajah yang sebenarnya tidak Pangeran Cakra sukai, karena pasti berisi ide yang merepotkan, pikirnya.
"Ohh, sepertinya kau menantikannya. Kalau begitu, kau ikut temani Sakuntala menyebarkan pengumuman pestanya," setelah berkata begitu, Raja bangsa Isan itu berjalan menuju pintu singgasana dan membukannya. Di sana ia bertemu dua penjaga pintu singgasana yang ia perintahkan mencegah penguping tadi.
"Ehm. Salah satu dari kalian berdua cepat cari Panglima Sakuntala, beritahu dia untuk membawa Pangeran Cakra itu bersamanya untuk mengumumkan pesta itu. Dia mungkin sedang berada di ruangannya,"
Salah satu penjaga ruangan itu pun menggangguk, "Baik saya laksanakan, Yang Mulia," ucapnya sembari berjalan cepat.
Panglima Perang Kerajaan Isan, yang juga sebagai Kepala Istana memiliki raung pribadi yang berada di bagian depan istana dekat Pos Luar, sebuah pos penjaga di dalam kompleks istana dan Gapura Utama yang menghadap timur. Bila memasuki area kompleks istana yang seluas lima hektar dari Gapura Utama. Berjalan dari Gapura utama melewati Umbul-Umbul Istana hingga sampai Pos Luar, hanya sepuluh langkah dari pos terebut, terdapat sebuah bilik ruangan di sebelah kiri. Itulah tempat khusus Kepala Istana Kerajaan Isan.
Bila ingin menuju ruang singgasana, maka tinggal lurus melewati Alun-Alun Penyambutan hingga sampai di Pos Dalem, pos penjaga Gedong Utama. Masuk Gedong Utama, melewati Ruang Seni yang memiliki banyak barang-barang seni, seperti lukisan dan patung, sampai di sebuah pintu yang diatasya terdapat potret sang Raja yang sedang berkuasa dalam bingkai besar. Di dalam pintu itulah di ruang Singgasana berada.
Penjaga Pintu Singgasana yang diperintahkan untuk memanggil sang Sakuntala tadi sampai di depan ruang pribadi sang Panglima,
"Permisi, Panglima Sakuntala," ucapnya sembari mengetuk pintu ruangan tersebut.
"Masuklah,"
Saat memasuki ruangan Panglima tersebut, penjaga itu mendapati Panglima sedang menatap jendela yang terbuka sambil memasang wajah yang cukup serius dan misterius, yah dia memang selalu memasang wajah itu, ucap penjaga dalam hati.
"Saya diminta untuk menyampaikan pesan Yang Mulia Raja kepada Panglima Kerajaan, bahwa Pangeran Cakra Adiwangsa akan ikut perjalanan bersama Panglima untuk mengumumkan perihal pesta di istana," penjaga mengumumkan.
"Baiklah, tolong sampaikan pesan kepada Yang Mulia Raja bahwa saya akan mengikutsertakan Pangeran Cakra dalam perjalanan dan akan memastikan keselamatan sang Pangeran dengan jaminan nyawa saya,"
"Baik. Akan saya sampaikan," unjar penjaga sembari pamit menuju ruang singgasana.
Panglima Sakuntala pun merapikan barang-barang yang akan dibawa dalam perjalanan. Setelah persiapan, ia menuju kandang kuda yang berada di sisi selatan kompleks istana yang dekat dengan mes pasukan kerajaan dan pelayan istana untuk mengambil kuda kesayangannya.
***
Sehabis mengambil kudanya itu bersama tiga prajurit kerajaan yang ikut bersamanya, mereka menuntun kuda masing-masing menuju Gapura Utama. Disana mereka berempat sudah ditunggu oleh sang Raja beserta Pangeran Cakra dan dua pengawal pangeran.
"Yang Mulia," Panglima menunduk memberikan hormatnya.
"Kupercayakan keselamatan putraku kepadamu Sakuntala,"
"Baik Yang Mulia," Sakuntala mengiyakan lalu menaiki kudanya dan memimpin tim, "keselamatan anda akan saya jamin, Yang Mulia," ucapnya kepada sang Pangeran.
"Terima kasih, Sakuntala,"
***
Rombongan tujuh orang itu pertama kali mengumumkan pesta kepada penduduk yang berada di sekitar kompleks Istana. Penduduk tempat itu sudah berkumpul di aula kota sebab mendengar bel pengumuman sebelumnya.
Tujuan perjalanan mereka selanjutnya adalah kota Demak, yang dekat dengan kompleks Istana. Jarak antara Istana dengan kota Demak berjalan hanya satu jam perjalanan.
"Apa anda sudah lelah Yang Mulia?" tanya Sakuntala.
"Tenang saja Sakuntala, untuk perjalanan ke kota Demak yang hanya satu jam tidak ada apa-apanya," jawab Pangeran
"Baik Yang Mulia. Tetapi bila Yang Mulia ingin beristirahat, maka kita akan berhenti sejenak."
"Ya, terima kasih Sakuntala,"
"Oh iya, perlu saya sampaikan Pangeran Cakra, bahwa saat di kota-kota yang kita kunjungi nanti, kita harus menuju kediaman bangsawan di sana, kita akan bertemu dan membicarakan maksud kedatangan kita secara singkat dengan mereka nantinya,"
"Hm hm"
"Setelah itu, kita meminta izin mereka untuk menyampaikan pengumuman pesta itu di aula kota. Setelah itu, sebagaimana yang kita lakukan tadi, membacakan pengumuman sembari mengumpulkan persediaan lagi bila kurang."
"Ya, aku mengerti,"
"Akan ku jelaskan terkait kota tujuan kita yang pertama dan bangsawan yang tinggal disana,"
"Silahkan,"
Mereka pun berjalan terus selama satu jam hingga mencapai tujuan pertama mereka
***
Sesampai di kota Demak, mereka menemui Bangsawan Demak, keluarga Bagaskara. Bangsawan Bagaskara merupakan bangsawan yang memiliki hubungan paling dekat dengan Raja Adiwangsa. Keluarga tersebut menjadi salah satu dari tiga keluarga bangsawan yang menyatakan kesetiaan kepada Raja Adiwangsa dan membentuk Kerajaan Isan.
Sesampainya di kediaman itu, Bagus Bagaskara, kepala keluarga Bagaskara menyambut mereka, "Selamat datang Yang Mulia Pangeran Cakra Adiwangsa putra dari Raja Banyu Adiwangsa," sembari menekuk lutut menyembah beserta anggota keluarganya.
"Berdirilah Tuan Bagaskara," kata Pangeran sembari menggerakan telapak tanggannya ke atas, "terima kasih atas sambutannya,"
"Ya Yang Mulia. Perkenalkan ini adalah istri saya, dan ini adalah putri saya satu-satunya, Kumala Bagaskara," gadis yang terlihat sedikit lebih muda dibandingkan Pangeran Cakra berwajah sawo ayu dengan konde di rambut belakang kepalanya yang terlihat pendek itu, memberikan salam sambil sedikit membungkuk, "Silahkah masuk ke dalam,"
Pangeran Cakra, Sakuntala, dan seorang pengawal pangeran pun masuk ke dalam, sedangkan sisa rombongan berjaga diluar
***
"Begitu ya, Yang Mulia Pangeran Cakra akan berusia 17 tahun," ucap pemilik rumah
"Benar sekali Tuan Bagaskara, saya sangat senang bila Tuan bisa hadir ke pesta ulang tahun saya nanti,"
"Tentu saya Yang Mulia Pangeran. Keluarga Bagaskara, sebagai sekutu Raja Adiwangsa pasti akan memenuhi undangan Yang Mulia untuk hadir di acara tersebut," Bagaskara meyakinkan, "baiklah terkait pengumuman kepada penduduk, biar saya yang akan mempersiapkannya. Sembari menunggu persiapan, bagaimana kalau Yang Mulia Pangeran berjalan-jalan sebentar ditemani putri saya, Kumala?" tuan rumah memberi saran dengan wajah sedikit menggoda.
Walau sedikit memperlihatkan wajah ragu tetapi Pangeran Cakra menyanggupi usulan bangsawan Demak itu, "Tentu, saya sangat senang hati menerimanya,"
"Kumala tunjukkan pada Pangeran kota Demak, dan perlihatkan padanya toko itu,"
"Baik, ayah" Kumala menyanggupi, "ayo Pangeran, saya perlihatkan anda kota Demak," katanya kepada sang Pangeran yang dibalas dengan anggukan dan senyuman.
***
"Jadi toko apa yang dimaksud oleh Tuan Bagaskara, putri Kumala?" tanya Pangeran kepada Kumala sambil berjalan menggunakan jubah bertudung untuk menutupi pakaiannya demi keamanan.
"Nanti Yang Mulia juga akan mengetahuinya," cakap Kumala, "ayah menggatakan bahwa toko itu akan membuat Pangeran Cakra senang bila berkunjung ke sini,"
Toko apa ya, jadi penasaran. Toko-toko dekat istana tidak memiliki barang-barang yang menarik minatku sih, ucap Pangeran dalam hati.
"Kita telah sampai Pangeran," Kumala menunjuk sebuah toko yang memiliki plang yang sangat Pangeran Cakra kenali bentuknya.
Buku! Teriak Pangeran dalam hati.
"Ayah ku mengatakan bahwa beliau mendapat usulan dari Yang Mulia Raja Banyu untuk mengajari penduduk kota untuk membaca paling tidak dua kali sebulan. Ayah mengatakan bahwa kota Demak akan menjadi kota percontohan untuk kota-kota lain dalam Kerajaan," terang Kumala, "di toko buku ini penduduk dapat membeli maupun meminjam buku yang tersedia,"
Mendengar penjelasan itu, Pangeran terlihat sangat antusias untuk masuk ke dalam dan menjadi lebih besar saat ia masuk ke toko buku yang bisa dibilang kecil itu.
Ditengah keantusiasan yang tinggi itu, membuat Pangeran Cakra larut dalam dunianya sendiri, mencari dan menemukan buku yang menurutnya menarik. Tanpa sadar terdengar bunyi lonceng tanda penduduk untuk berkumpul di alun-alun kota.
"Pangeran, sudah saatnya kita berkumpul di alun-alun kota," Kumala memberitahu.
"Wah, sepertinya sudah terlalu lama kita disini. Baiklah kita segera ke sana," Pangeran mengajak, "Paman nanti aku akan kembali untuk membeli buku ini," unjar Pangeran sembari memberikan sebuah buku yang cukup tebal.
"Tentu saja Yang Mulia. Akan saya siapkan buku ini untuk dibeli Anda," kata penjaga toko yang sudah berambut putih sembari tersenyum.
"Terima kasih Tuan,"
Pangeran Cakra keluar secara terburu-buru sehingga ia tidak memperhatikan kemana ia melangkah, hingga ia menabrak seseorang, "Aduh," ucap seseorang yang pangeran tersebut tabrak. Suara aduh itu diiringi suara benda jatuh ke tanah.
Pangeran Cakra yang telah memperoleh pelatihan berperang di istana dengan refleks yang cepat segera untuk menahan seseorang yang tidak sengaja ia tabrak itu. Dengan cekatan ia berhasil menarik tangan serta menahan tubuh berlapis kain yang ia tabrak dan sengaja menjatuhkan diri untuk mengurangi tekanan.
Setelah berhasil menahan tubuh itu dari membentur tanah, Pangeran Cakra baru sadar bahwa ia menabrak seorang gadis berpakaian kemben coklat dengan kain coklat menutupi bagian bawahnya. Wajahnya yang berwarna sawo matang berbentuk oval berbibir tipis dengan rambut hitam lebat yang diikatnya dibelakang seperti membentuk bola tempak sangat ayu saat empunya wajah membuka matanya, membuat si Pangeran tertegun bagai waktu berhenti berjalan untuknya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya si Pangeran khawatir.
Dengan raut muka yang sedikit terkaget sembari berusaha untuk memahami situasi yang terjadi lalu terkejut melihat pakaian dibalik jubah orang yang bertanya, keluarga bangsawan!, ucap gadis itu dalam hati. Gadis itu lalu menaruh tangannya yang bebas berusaha membebaskan diri dari orang itu lalu sujud menyembah, "Mohon maaf saya tidak sengaja menabrak tuan,"
Saat gadis itu sujud menyembah meminta maaf, Pangeran Cakra pun kebingungan, "Tidak apa apa, berdirilah. Kamu tidak bersalah, akulah yang tidak memperhatikan sekitar," ucap anak Raja itu sembari membantu gadis itu berdiri, "syukurlah kamu tidak terluka. Siapa namamu?" Pangeran bertanya sembari memberikan senyuman kepada gadis itu.
"Kalau begitu, saya mohon izin permisi tuan," unjarnya dengan suara gemetar ketakutan, terlebih ia mengenali wajah Kumala yang berada di belakang laki-laki yang sedang berbicara dengannya itu.
Tanpa menunggu jawaban dari yang ditanya, gadis itu mengambil langkah pergi yang ia percepat setelah memasuki kerumunan warga yang berkumpul, membuat Pangeran Cakra termenung, "hei tunggu," teriaknya yang tidak di dengar oleh gadis tadi.
Pangeran Cakra yang menahan tubuh gadis itu dari menyentuh tanah, mulai merapihkan jubah dan pakaiannya, dan disaat itulah ia melihat sebuah benda yang dibungkus menyerupai kado yang tergeletak ditanah.
"Ini jangan-jangan," sembari berkata begitu, ia mendengar suara memanggilnya,
"Pangeran Cakra," dua orang prajurit di rombongannya menghampiri, "izin menyampaikan pesan Panglima Sakuntala, Yang Mulia Pangeran Cakra sudah ditunggu di alun-alun tengah kota,"
"Baiklah aku segera kesana," ucapnya
Sebaiknya ku simpan, akan kuberikan padanya sendiri, pikirnya dan ia langsung menuju alun-alun kota ditemani Kumala dan dua prajurit itu.
***
Sementara Pangeran Cakra beserta rombongan sedang berada di kota Demak, di sebuah pedalaman hutan yang sangat jauh dari istana, sebuah burung pembawa pesan datang ke sebuah gubuk kecil yang sangat tersembunyi. Sesampainya burung itu disana, seorang berlagak kejam pembawa golok bertelanjang dada dengan celana panjang yang dilapisi sarung menghampiri burung itu dan membawanya masuk ke gubuk.
Di dalam gubuk itu, seseorang yang duduk di tengah-tengah lingkaran sepuluh orang yang terduduk membentuk lingkaran membuka pesan yang dibawa oleh si burung dan membacanya sembari memperlihatkan senyum jahat yang lebar sampai memperlihatkan gigi geriginya.