Kembali seperti semula.
Udayaditya melangkah di anjungan istana Palembang, Kerajaan Sriwijaya. Sari kuning melilit pada tubuhnya. Sakit kepala masih membekas padanya setelah pertempuran di tanah Khmer. Balaputradewa meberikan perintah padanya untuk pulang lebih dahulu dan berisitirahat bersama sang panglima, Vijayasastra. Cedera yang diterimanya lebih ringan dibanding oleh sang panglima sehingga Udayaditya sudah dapat berjalan – jalan di daerah istana.
Udayaditya berhenti di samping patung Buddha yang berada di depan ruangan kebesaran istana Palembang. Ia melayangkan pandangannya jauh ke depan. Matanya menyapu halaman kerajaan yang berwarna putih keemasan. Sebuah air mancur besar berada di tengah halaman dengan air yang sangat jernih. Udayaditya dapat melihat batu pualam dan kuarsa yang berada di dalamnya. Berbagai ruangan mengitari halaman kompleks istana. Salah satunya adalah ruang kesenian dimana ia dan koleganya berlatih sendratari dan kesenian lainnya. Kunjungan singkatnya ke tanah Jawa membuatnya tertarik untuk mempelajari kesenian wayang dimana para pelakon yang menjadi aktor utamanya.
Berkebalikan, di seberang ruang kesenian adalah ruangan yang tidak disukai oleh Udayadita, yaitu tempat penyimpanan senjata. Vijayasastra sering memaksanya untuk mengambil anak panah di ruangan tersebut dan memintanya berlatih memanah di lapangan utara kerajaan dimana segenap pasukan Kerajaan Sriwijaya berlatih. Menjadi olok – olok dan ditertawakan oleh prajurit lain sudah menjadi makanannya saat ia berlatih sendiri. Hanya ketika sang panglima hadirlah tidak ada suara miring yang terdengar. Namun paksaannya itu berguna pada saat pertarungan kemarin. Kalau aku tidak bisa menggunakan pedang, tamat sudah riwayatku.
Sebuah pintu terbuka di ruangan yang berada di sisi barat halaman istana. Ruangan tersebut adalah ruangan kerja sekaligus menjadi bilik sang patih kerajaan, Sanggabuana. Tentunya ia memiliki kediaman sendiri di luar kompleks istana. Bilik tersebut berfungsi dalam keadaan darurat, ketika istana membutuhkan tenaganya pada waktu – waktu genting. Udayaditya memutuskan untuk melangkah menuju ruangan sang patih.
Bukan sosok sang patih yang ditemui oleh Udayaditya di dalam ruangan tersebut, melainkan seorang gadis berusia belasan yang berada di depan sebuah rak buku. Gadis itu memakai pakaian kain dan sepatu kulit, tinggi satu depa setengah, sedang membaca sebuah buku ketika Udayaditya melangkah memasuki ruangan. Kehadiran Udayaditya membuatnya tersenyum manis menyapa tamunya tersebut.
"Selamat pagi, pangeran, selamat datang di ruangan patih Sriwijaya. Adakah gerangan yang bisa kubantu?"
Suara yang lembut dan keramahan tiba – tiba yang dialamatkan pada Udayaditya membuatnya kikuk sejenak.
"Hmm, ya, selamat pagi juga,"
"Maaf, jika engkau mencari patih, ia sedang berada di ruang kebesaran bersama raja."
Udayaditya dengan cepat berusaha menguasai diri.
"Oh, tidak, aku tidak sedang mencari paman Sanggabuana. Aku sedang berjalan – jalan saja, kebetulan pintu ruang patih terbuka, dan kupikir baik untuk bertukar kata barang sejenak dengan paman Sanggabuana."
Sang gadis tersenyum manis.
"Omong – omong, kau siapa? Aku baru melihatmu kali ini. Dan tolong jangan panggil aku pangeran, karena aku memang bukan pangeran. Panggil aku Udayaditya."
"Baik, kakanda Udayaditya, hamba adalah anak dari Sanggabuana. Namaku ialah Alikha Cakranegara. Hari ini ayah mengajakku ke istana, sebagai upah karena aku telah tekun membantu ibuku di rumah."
Begitu polos.
"Kau baru pertama kali kesini namun kau sudah mengenal sosokku."
"Ayah selalu berbicara tentang kerajaan di rumah, kakanda. Selain kakanda, aku juga sudah mengetahui bagaimana sosok paman Balaputradewa."
Tentu saja. Siapa yang tidak mengenal orang nomor dua di kerajaan ini?
"Buku apa yang sedang kau baca itu?"
"Ini Hikayat Kerajaan – Kerajaan di Nusantara. Sungguh menarik, kita bisa mengetahui sejarah – sejarah kerajaan besar di nusantara. Apakah kakanda pernah membaca buku ini?"
Polos. Kutu buku. Masih belia. Selamat tinggal.
"Baiklah Alikha, aku nampaknya masih ada urusan di lain tempat. Sampaikan salamku kepada Sanggabuana. Selamat tinggal."
Alikha menundukkan kepalanya, "Selamat tinggal, pangeran. Sampai jumpa."
Udayaditya melangkah keluar ruangan dan meneruskan perjalanannya. Mencoba mencari suasana baru, ia melangkah keluar pintu gapura dan melangkah menuju Istana Sri Maharaja yang terletak di arah barat Istana Palembang. Nama istana ini adalah untuk menghormati raja Sriwijaya terdahulu, Sri Maharaja Indra, yang terkenal karena menjadi penemu kapal laut dengan tiga tiang layar sehingga kapal dapat bermanuver dengan cepat. Penemuannya masih dipergunakan hingga kini dan menjadi ciri khas angkatan laut Sriwijaya. Basaricandra sendiri adalah pengagum dan pemuja kepintaran Sri Maharaja Indra.
Istana Sri Maharaja tidaklah sebesar Istana Palembang, bahkan lebih tepat jika dikatakan paviliun. Corak bentuk bangunan ini yang layak membuatnya disebut istana. Atapnya berbentuk segi enam, tinggi bangunan terdiri dari lima tingkat, dindingnya terbuat dari batu pualam berwarna putih kekuningan. Pintu gerbang dari emas menandakan bahwa pembangunan istana ini tidaklah murah.
Udayaditya melangkah masuk Istana Sri Maharaja. Ia berpendapat bahwa dibandingkan istana, bangunan ini lebih tepat disebut sebagai museum. Di satu sisi dinding ia dapat melihat lukisan harimau yang sedang mengaum di antara pepohonan. Di sisi lainnya terdapat patung Buddha berlapis emas. Dibandingkan dengan patung Buddha di istana Palembang, patung ini berukuran lebih kecil, namun jika diperhatikan lebih jelas ia memiliki batu intan pada bagian bawah. Di pojok ruangan terdapat sebuah batu dengan tulisan Melayu di atasnya. Ia melangkah menuju batu tersebut dan membaca tulisan tersebut. Tulisan itu bercerita tentang penyerahan tanah Sima kepada Kerajaan Sriwijaya oleh Kerajaan Siak. Semacam perjanjian, sepertinya.
Sebuah hampiran tangan menepuk pundak Udayaditya.
"Sedang tidak ada kerjaan, atau memang pengangguran?
Udayaditya tersenyum. Ia menyiapkan sebuah sikutan dengan cepat, namun orang di belakangnya bereaksi lebih cepat untuk menghindar. Sebuah rangkulan kemudian memiting leher Udayaditya.
"Kudengar kepalamu hampir bocor di tangan prajurit Khmer. Sini biar kutumpahkan semua darahnya! Hahaha."
Udayaditya mendorong sang pemiting.
"Sayangnya tabib kerajaan ini sudah menempel luka – lukaku, kawan. Dengan emas dan perak. Hahaha."
Sebuah salam mengakhiri canda dua orang sahabat di Istana Sri Maharaja. Berdua mereka berjalan beriringan.
"Aku ini serius bertanya. Bagaimana luka – lukamu, masihkah terasa sakit?"
"Tabib kerajaan menyatakan aku masih butuh istirahat. Kepalaku masih sakit. Tapi aku tidak sanggup lagi tinggal di ruang perawatan. Sungguh membosankan. Kau benar, aku memang tidak ada kerjaan."
"Kau bisa saja mendengar orang bersenandung. Dari yang kudengar akhir – akhir ini ketika raja mendengar pesinden bernyanyi, sakit kepalanya langsung sembuh."
"Siapa yang mau bernyanyi untukku? Kaulah itu. Namamu saja sudah cocok. Lendung Swaragama. Ayo, mari bersuara untukku."
Swaragama tertawa.
"Jika aku bernyanyi aku yakin semua wanita akan bertekuk lutut di hadapanku. Tidak akan ada wanita tersisa untukmu, Udayaditya. Oh, tidak akan ada."
Giliran Udayaditya yang tersenyum. Memiliki sahabat membuat perbedaan akhir – akhir ini.
"Apakah mereka ada di belakang, di tempat biasa?"
Swaragama menjawab, "Mereka ada di belakang. Seperti biasa, bermalas – malasan. Kadang aku berpikir, bagaimana mungkin aku bisa berteman dengan orang – orang seperti itu. Tapi ayolah, kita kesana."
Udayaditya dan Swaragama melangkah keluar pintu utara Istana Sri Maharaja. Langit biru beserta rumput hijau yang terpetak – petak terhampar luas di hadapan mereka. Di bagian timur lapangan terdapat bermacam – macam kedai penjual makanan. Jalan setapak membelah lapangan dari utara ke selatan serta dari timur ke barat. Tepat di tengah – tengah lapangan terdapat tugu dengan benda menyerupai api yang terbuat dari emas di puncaknya. Lapangan Sri Maharaja ini memang merupakan tempat kesukaan bagi Udayaditya untuk menghabiskan waktu. Pemandangan yang menyejukkan membuatnya betah untuk berlama – lama. Selain itu terdapat khalayak yang berkegiatan di lapangan membuat suasana menyenangkan dan menenangkan.
Udayaditya dan Swaragama menghampiri kedai kopi langganan mereka. Dua orang pemuda telah lebih dahulu berada di tempat itu. Seorang pemuda berkumis serta berjenggot tebal menyeruput kopinya dan pemuda lainnya berambut panjang sedang memakai alat bantu kaca untuk membaca perkamen yang berada di hadapannya. Bau kopi hitam menyengat indera penciuman Udayaditya.
"Selamat pagi, handai taulan. Apa kabar gerangan?" Udayaditya menyapa semua sahabatnya.
Kedua orang yang disapa terkesiap melihat Udayaditya dan Swaragama. Temannya yang berambut panjang menyapa terlebih dahulu.
"Selamat pagi juga, pangeran. Bukankah kau seharusnya masih berbaring di ruang perawatan?"
Udayaditya menunjukkan raut muka nyinyir.
"Aku tidak pernah suka dengan panggilan pangeran. Aku bukan pangeran, Putrawijaya. Kau tentunya mengenal diriku. Aku tidak tahan dengan bau wewangian di ruang perawatan. Tapi sejujurnya kepalaku masih sakit."
"Keterangan yang bagus, pangeran, tapi dapatkah kau minggir sejenak. Atau duduklah. Pandanganku terhalang olehmu." Temannya yang berjenggot tebal kembali menyeruput kopinya dan melempar pandangan ke arah lapangan.
Udayaditya kembali menunjukkan raut muka masam. Sambil duduk ia pun memesan kopi hitam kesukaannya. Kini Udayaditya ikut melempar pandangan ke arah lapangan. Ia mengerti apa yang membuat temannya yang satu lagi begitu antusias. Seorang wanita berparas elok memakai kain linen hijau menutupi tubuhnya sedang melangkah melintasi lapangan Sri Maharaja. Salah satu tangannya memegang bakul nasi yang berada di atas kepalanya. Rasa penasaran Udayaditya terangsang pada awalnya, namun kemudian sakit kepala menghalanginya.
"Seleramu bagus, Yudhistira, tidak salah kau memiliki seorang istri yang rupawan."
Si jenggot tebal menanggapi, "Ya, dan yang paling kusukai dari dirimu adalah ucapan omong kosong hingga menyentuh langit. Mana mungkin kita ini, para pelaku peran, memiliki istri layak bidadari seperti itu?"
"Kau lupa, kawan, ia bukan hanya pelaku peran. Ia seorang pangeran."
Putrawijaya ikut berkomentar nyinyir, tatapannya masih melekat pada perkamen yang dibacanya. Teruskan kawan. Teruskan. Kalimat – kalimat penuh sindiran ini. Kalian adalah temanku yang sebenarnya.
"Ya, silakan sindir aku terus. Aku hampir saja tidak ada disini. Desingan panah masih terdengar di telingaku dan tombak hampir saja menembus lambungku."
Swaragama menengahi, "Sudahlah. Mereka itu hanya iri padamu. Katakanlah, bagaimana kabar pamanmu itu? Khmer sudah ditaklukkan?"
Udayaditya membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Swaragama, namun Putrawijaya menyela terlebih dahulu, "Nampaknya perjuangan menaklukkan Khmer belum berakhir. Negara ini menolak untuk menyerah."
Kebingungan melanda Udayaditya. Ia menatap Putrawijaya sambil mengernyitkan dahi. Bukankah paman menyuruhku pulang karena situasi sudah berhasil diatasi? Oh tunggu.
Putrawijaya menyerahkan perkamen yang dibacanya. Perkamen itu merupakan sejenis surat kabar yang memuat informasi – informasi penting dalam satu pekan. Pada bagian paling atas ditulis dengan huruf Melayu besar – besar: Kekaisaran Khmer menolak untuk menyerah. Balaputradewa menghimpun seluruh kekuatan untuk melakukan satu serangan penghabisan.
Sial. Pengorbananku dan paman Vijayasastra seperti tidak berarti. Kuharap kaisar Khmer cepat bertekuk lutut.
Udayaditya dengan cepat membaca seluruh informasi yang berada di dalam perkamen. Satu berita menggugahnya. Sebuah tanah emas ditemukan di sebuah pulau di arah timur Pulau Lombok. Pulau itu belum terjamah manusia sebelumnya dan kini semua khalayak berlomba untuk datang ke pulau tanpa nama tersebut serta mengeruk keuntungan.
Putrawijaya berujar, "Kulihat kau membaca bagian bawah. Emas memang selalu menarik perhatian. Di samping perak dan berlian, tentunya."
"Sungguh tidak bisa dipercaya. Apakah emas ini benar – benar ada?"
Swaragama menanggapi, "Jika kau meragukan informasi yang dihimpun oleh bagian penerangan Kerajaan Sriwijaya, entah apalagi yang dapat membuatmu menaruh kepercayaan."
Udayaditya mencoba menantang walaupun Swaragama mengatakan kebenaran, "Oh ya? Coba jelaskan padaku."
Swaragama menggeleng – geleng. Kuncir kuda di belakang kepalanya mengikutinya.
"Kau tahu bahwa mata – mata atau informan kita tersebar di seluruh pelosok nusantara. Bahkan di Pulau Rote. Aku yakin kau tidak tahu dimana itu. Merpati kita pun sudah sangat terlatih untuk membawa pesan dengan cepat dan tepat."
Udayaditya tersenyum mencela, "Bagus kawan, silakan sebut nama tempat yang tidak ada di nusantara ini. Mengada – ada. Kalaupun ada, pulau itu tidaklah penting bagi Sriwijaya ini. Yang penting adalah kerajaan – kerajaan besar. Khmer, Kediri, Sunda, Kutai. Dan Medang tentunya. Pada akhirnya nanti jika ditakdirkan Sang Kuasa maka kita akan menguasai tanah – tanah itu."
Si jenggot tebal tertarik untuk menanggapi. Terlebih, sang wanita telah meninggalkan pandangan.
"Kau ini memang bermental penakluk. Hanya ingin kekuasaan. Sudah cocok dengan sifat – sifat penghuni istana." Ia berhenti sebentar lalu melanjutkan, "Nusantara diberkahi Yang Maha Esa dengan alam yang sangat indah. Tahukah kau kerajaan dengan alam terindah di bumi nusantara ini?
Udayaditya diam dan menjawab perlahan, "Tentunya tanah kita yang tercinta, Kerajaan Sriwijaya."
Yudhistira tertawa terkekeh – kekeh, "Jangan bilang Sungai Musi adalah pemandangan terbaik yang pernah kau lihat. Bagiku, Kerajaan Bali memiliki segala keindahan yang ditawarkan oleh Sang Khalik. Pantai Kuta Selatan yang memiliki perpaduan warna biru tua dan biru muda serta pasir berwarna kemerahan. Keindahan bawah laut di tepian Pulau Lombok dengan terumbu karang yang berwarna – warni. Puncak Rinjani dengan danau biru yang berada di tengahnya. Bahkan menurut legenda titisan naga hadir di timur Pulau Sumba. Sungguh, kau harus mengikutiku jika aku bertualang kembali di kemudian hari."
"Ya, jika aku sedang kosong tentunya. Kau sendiri tahu bagaimana kesibukan raja akhir – akhir ini. Panggung pun sedang tidak ada kegiatan, maka aku diwajibkan ikut ke tanah Jawa dan Khmer oleh Balaputradewa."
Swaragama menanggapi, "Kadang aku berpikir, kau akan mengemban tanggung jawab yang sungguh berat. Kami beruntung, kami hanyalah pelaku peran di atas panggung pementasan. Kau akan menjadi pelaku peran di atas panggung kerajaan. Sriwijaya akan menjadi besar atau tidak, tergantung dirimu."
"Ya, asal jangan ingatkan aku akan tanggung jawabku itu. Masih lama, paman Balaputra pun belum naik takhta. Nikmati saja waktu – waktu ini. Kemarin saja aku hampir mati."
Keempat sahabat itu terdiam. Mereka sibuk dengan kegiatannya masing – masing. Udayaditya dan Yudistira menikmati kopi dan menatap ke arah lapangan, Putrawijaya kembali meneliti perkamennya, sedangkan Swaragama mencomot pisang goreng kesukaannya.
Menjadi raja. Meh.