"hanya ingin" jawab Kisha seadanya.
"bagaimana keadaanmu?" tanya Michael lagi.
"kau pasti sudah mendengarnya dari dokter" balas Kisha datar.
Michael terdiam, Kisha seperti enggan untuk berbicara dengannya. Apakah kini diri Kisha masih saja di kuasai amarahnya?
Kisha melirik Michael sekilas, ia tau pria itu sangat mengkhawatirkannya. Pria itu sudah sangat baik mau menyadarkannya di saat kekeras kepalaannya menguasai dirinya dan hanya Michael yang teguh akan keinginannya itu.
"terima kasih, Alex" ucap Kisha tiba-tiba, membuat Michael manatapnya tidak percaya.
"kau bilang apa tadi?" tanya Michael memastikan.
Kisha menatap Michael malas, lalu ia mengabaikan pertanyaan Michael dan membiarkan Michael dalam rasa penasarannya.
'untung saja dokter itu menuruti perkataanku, setidaknya rahasiaku aman untuk saat ini.' batin Kisha merasa lega.
.
.
.
.
Michael menarik tangan Kisha, menahan gadis itu untuk tidak memaksa keluar dari rumah sakit. Pasalnya tubuh Kisha masih lemah dan butuh ketenangan, jika ia tertekan lagi maka tubuhnya akan down seperti sebelumnya.
"lepaskan!" titah Kisha.
"kau mau kemana?" tanya Michael menahan tangan Kisha.
"pulang" gigih Kisha.
"kau akan pulang, tapi besok! Sekarang istirahat saja dulu disini yah?" rayu Michael.
"sekarang!" jawab Kisha menolak keras.
"cobalah mengerti Kisha, tubuhmu masih lemah. Jangan memaksakan dirimu, kau butuh istirahat." jelas Michael mulai kesal dengan kekeras kepalaan temannya itu.
Kisha menatap Michael sama kesalnya, ia juga tetap menentang keputusan Michael yang menyuruhnya tetap di rumah sakit.
"malam ini aku pulang." putus Kisha akhirnya.
Meski tidak lama, biarlah Kisha beristirahat beberapa jam di rumah sakit ini sebelum bertemu dengan kakaknya. Michael tau pasti hal itu akan memberi tekanan lebih pada Kisha, jika ia lemah maka tubuhnya akan kembali down. Jika Kisha istirahat sekarang, setidaknya ia pasti memiliki kekuatan fisik yang lebih untuk menghadapi tekanan saat bertemu kakaknya nanti.
Kisha kembali berbaring di brangkarnya, matanya menatap langit-langit ruangan ini. Pikirannya melayang pada pernyataan dokter yang membuatnya sedikit menyesal, tapi apa boleh buat Kisha tidak akan menyerah pada hidupnya begitu saja. Ia akan bangkit dan menuntaskan semuanya, sesuai dengan yang ia bisa.
Flashback on....
.
Kisha merasa paru-parunya kosong, kemana semua nafasnya? Ia terjepit, dadanya sesak. Amat sangat sesak, Kisha tidak mampu bernafas. Dalam kesadarannya yang tipis, ia melihat dokter memberikan oksigen tambahan padanya.
Untuk sesaat rasa sesak itu semakin menjepit dirinya di antara jurang kematian, tapi akhirnya tekanan itu terlepas. Nafas mulai ia ambil secara brutal, hingga paru-parunya kembali terisi oksigen.
Kisha sadar dari pingsannya, ia melirik ke sekililingnya. Bau obat-obatan dan alkohol kesehatan langsung menusuk indra penciumannya, lalu perhatiannya jatuh pada dokter yang sedang menatapku dengan khawatir.
"kau sudah sadar? Bagaimana keadaanmu?" tanya dokter itu memastikan.
"lebih baik" jawab Kisha seadanya.
"baguslah, kau hampir saja kehilangan nafas. Jika kami tidak segera memberimu oksigen, entah apa yang akan terjadi tadi. Tolong bernafaslah dengan baik, kondisimu akan perlahan membaik." jelas dokter itu.
"aku tau" balas Kisha datar.
"apa kau menderita gejala hipoksia?" tanya dokter itu serius pada Kisha.
Kisha menatap dokter itu curiga, tapi mau tidak mau ia harus mengetahui semuanya.
"ya" jawab Kisha seadanya.
"pantas saja, kondisimu memburuk." ucap dokter itu menyesali.
Kisha mengernyit, matanya memincing curiga. Ia merasa ada yang tidak beres dengan kekhawatiran dokter ini, Kisha merasa tidak tenang sekarang.
"jelaskan semuanya! Apa yang terjadi?" tuntut Kisha langsung.
Dokter itu menatap Kisha sedih, lalu ia memeriksa catatan medis Kisha dan menjelaskan perlahan.
"gejala awal memang tidak terlalu buruk, tapi sepertinya gejala itu mulai memburuk. Tekanan, strees, dan banyak pikiran merupakan faktor yang sangat berpengaruh untuk peningkatan gejalan ini. Dan sepertinya kelelahan serta tekanan cukup besar telah kau alami belakangan ini, membuat gejala hipoksia yang kau derita semakin parah.
Kau bukan lagi mengalami gejala hipoksia, tapi kau benar-benar menderita hipoksia. Sekarang tubuhmu semakin lemah, hipoksiamu mungkin akan sering muncul. Kau harus memulai pengobatan serius mulai saat ini, sebelum hipoksia itu benar-benar menggerogoti hidupmu." jelas dokter itu.
Kisha terdiam, ternyata bukan hanya kakaknya yang melemah. Tapi sepertinya dirinya sendiri akan lebih dahulu melemah, apakah ia akan mati?
"ah ya, di depan ada seorang pria muda yang menunggumu sadar. Ku rasa dia harus tau, dan menjagamu lebih dari sebelumnya." ungkap dokter.
Kisha mengalihkan perhatiannya menuju pintu yang tertutup itu, ia tau pasti Michael yang menunggunya sejak tadi.
"jangan beritau apapun padanya, cukup aku saja yang menyimpan ini." tekan Kisha pada dokter itu.
"kenapa? Kau membutuhkan supportnya bukan? Ini tentang tentang hidup dan matimu, apa kau tidak ingin memberitaunya?" tanya dokter itu heran.
"mereka tidak perlu tau" jawab Kisha seadanya.
Dokter itu menghela nafas lelah, lalu ia menyetujui permintaan Kisha untuk tidak memberi tau siapapun tentang penyakitnya itu.
Lalu dokter itu meninggalkan Kisha sendiri, tidak lama kemudian Michael datang dan ia bersikap biasa saja.
.
Flashback off...
"kau kenapa? Kenapa menghela nafas tertekan seperti itu?" tanya Michael tiba-tiba membuyarkan lamunan Kisha.
Kisha melirik Michael, lalu ia menatap Michael dengan seyum tipisnya. Setidaknya mulai hari ini Kisha memutuskan untuk menikmati hidupnya, ia tidak tau apa yang akan terjadi nanti. Tapi ia berharap, ia tidak menyesal dengan semua yang ia lakukan mulai saat ini.
"aku ingin menikmati waktu lebih lama" gumam Kisha yang masih bisa di dengar oleh Michael.
Michael mengernyit bingung dengan gumaman Kisha, tapi setelahnya ia tersenyum. Michael merasa tenang karna Kishanya sudah kembali, bukan lagi seorang gadis kejam dan dingin.
"tentu saja kau bisa, kenapa tidak?" balas Michael dengan senyumnya.
.
.
.
.
.
Sesuai janjinya, kini Michael dan Kisha sudah sampai di mansion Almora. Mereka di sambut oleh puluhan pelayan, juga Kiano dan Mona. Kisha menatap sedih kakaknya, namun ia segera menetralkan perasaannya agar tidak ada yang curiga dengan kesehatannya.
"aku pulang" ucap Kisha pelan.
Kiano tersenyum mengetahui adiknya sudah kembali tenang, setidaknya Kisha kesayangannya telah kembali jadi ia harus bahagia untuk itu. Kiano sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk berjuang demi senyum adik tercintanya, Kisha. Kiano akan melakukan pengobatan apapun, asal ia bisa memiliki waktu lebih lama lagi.
Hidupnya kini lebih berharga, karna ada Kisha di sampingnya. Yang selalu menyemangatinya, dan menginginkan kesembuhannya. Kiano bersyukur adiknya telah kembali, ia sangat bahagia bisa bersama-sama dengan Kisha lagi.
"selamat datang adikku sayang" jawab Kiano dengan senyumnya.
Kisha menghampiri Kiano, dan memeluk kakaknya itu dengan erat.
"maaf, maaf karna sudah membuat kakak khawatir." ungkap Kisha.
Kiano membelai punggung Kisha dengan sayang, ia menyalurkan perasaan sayangnya disana. Melihat hal itu para pelayan merasa tidak pantas untuk melihat drama adik kakak itu, mereka memilih membubarkan diri setelah mengetahui nona mereka sudah baik-baik saja keadaannya termasuk Mona.