Aku memejamkan mataku, karena sepertinya itu hal yang benar untuk dilakukan. Tanganku menyentuh sinar merah muda terang itu dengan perlahan, dan rasanya seperti ada magnet lembut yang menyentuhku. Aku masih tetap memejamkan mataku beberapa detik setelahnya.
Tidak ada efek mengejutkan, jatuh dari ketinggian ataupun pusing perpindahan dimensi. Yang kutahu selanjutnya hanyalah Matt memanggil namaku.
"Jen?" Panggilnya. "Kau boleh membuka matamu sekarang."
Dan perlahan, aku membuka mataku. Dan siapapun yang tidak melihat pemandangan yang kulihat, takkan pernah bisa merasakan apa yang kurasakan.
Ladang rumput yang luas dan hijau, melambai-lambai diterpa angin yang sejuk. Bunga-bunga dari semak ataupun pohon disekitar ladang bermekaran berwarna merah terang, besar maupun kecil. Langit yang cerah bergradasi biru, merah muda dan ungu, dihiasi beberapa bintang yang bersinar walaupun matahari masih menggantung tinggi.
Aku berlari melihat pemandangan sekitar, dan sampai ke ujung jurang dekat tempatku berdiri, melihat pemandangan yang menakjubkan didepan mataku. Dibawah jurang, sungai besar dan biru jernih mengalir sejauh mata memandang, diapit hutan luas yang berdaun hijau kemerahan.
Aku tertawa tidak percaya. "Kau melihat ini, Matt?" Aku mencari Matt. Matt menghampiriku dengan tangan didalam saku celana panjangnya. Rambut coklat tua kemerahannya berkibar pelan, dan matanya menatapku dengan lembut.
"Selamat datang di Spalvia, Jen." Matt merentangkan tangannya. Aku masih tertawa girang, dan Matt ikut tertawa kecil. Sepertinya karena melihat tingkahku. Ia mendekat, dan merapihkan rambutku yang tertiup angin kebelakang telingaku.
Aku terdiam. Astaga ada apa ini? Aku berharap wajahku tidak berubah merah. Baru saja tadi aku menikmati pemandangan yang tidak ada duanya, sekarang aku sudah menciut lagi karena gestur Matt yang membuatku berdebar-debar. Aku berusaha membuang pikiran itu.
"Ikuti aku." Matt mengajakku ke sisi lain tebing. Dan melihat pemandangan lain yang terpampang didepan mataku membuatku menganga.
Mataku melebar dan aku bahkan tidak bisa bersuara. Istana besar, megah dan cantik berdiri di sisi lain tanah ini. Warnanya merah, dan kecantikannya bertambah saat sinar matahari jatuh diatasnya, memberikan efek tercium sinar matahari yang indah.

"Kerajaan Merah." Matt berkata pelan. "Aku tidak bohong."
Aku masih menatap pemandangan indah ini. Istana Kerajaan Merah sangat tinggi, menjulang sampai menembus awan. Menatapnya saja aku hampir kehilangan napasku. Tidak mungkin mata manusia bisa bosan dengan pemandangan indah seperti ini.
"Ayolah, kita turun ke pemukiman warga." Matt menarik tanganku dan kami berlari kecil. "Kau pasti akan senang sekali melihat penduduk Spalvia. Tidak ada yang biasa!"
Kami berlari menyusuri ladang rumput yang ditumbuhi tanaman liar setinggi dadaku. Rasanya benar-benar seperti dongeng, berlari-lari di tempat seperti ini. "Tidak ada yang biasa? Maksudnya seperti apa?" Aku bertanya pada Matt.
"Kau tidak berpikir penduduknya hanya manusia kan?" Matt tertawa. "Kau akan melihat banyak sekali makhluk aneh, Jen."
"Seperti apa?" Aku sedikit berteriak, karena angin yang cukup keras sedikit membuat pendengaranku terganggu. Namun, membuat rerumputan dan tanaman liar melambai begitu cantik.
"Kau tau centaurs? Manusia setengah kuda. Sangat terhormat, jago bertarung. Mereka seperti bangsawan disini, tetapi murah hati. Jadi tunjukkan sedikit rasa hormat, tapi tetap bersahabat." Matt menjelaskan. "Lalu, astaga masih banyak sekali. Ada goblin, seperti Grogo yang diceritamu malam itu! Mereka biasanya bekerja seharian, memenuhi kebutuhan kerajaan atau Berangkas Harta Spalvia. Mereka tidak terlalu ramah, jadi tidak usah dekat-dekat. Penyihir juga ada disini, ada yang wujudnya manusia, ada yang setengah peri, ada yang setengah hewan. Bisa apa saja, yang penting mereka punya kekuatan. Biasanya orang-orang patuh pada mereka, karena takut disihir atau dikutuk. Namun, semua yang memiliki kekuatan di Spalvia tunduk pada Ratu mereka masing-masing. Begitu pula para pengendali elemen."
Aku mendengarkan Matt dengan seksama. "Lalu ada peri. Ukuran mereka beragam, dari sekecil kuku jari kelingking—sampai dengan telapak tangan laki-laki dewasa. Mereka ada yang dapat berbicara, ada yang hanya mengeluarkan bunyi sayap atau lonceng saja. Tipikal. Mereka bekerja untuk mengontrol cuaca dan tumbuhan. Namun karena perkembangan zaman, mereka mulai belajar untuk bekerja di bidang lain, seperti keilmuan, dan lain-lain lah. Selain itu ada hewan-hewan yang dapat bicara, ada yang tidak."
"Kalau putri duyung benar-benar ada?" Aku bertanya pada Matt. Matt mengangguk.
"Mereka ada di perairan Kerajaan Biru." Jawab Matt.
"Ada berapa kerajaan di Spalvia ini?" Aku bertanya sambil memperhatikan jalanku, yang sekarang sedang menuruni tebing. Tanah yang tidak rata dan bebatuan indah dimana-mana.
"Aku belum menjelaskannya? Ya ampun." Matt menggeleng. "Tanah Spalvia memiliki 3 kerajaan, Merah, Biru dan Hijau. Mereka rumah bagi makhluk-makhluk yang memiliki kecondongan bakat atau sihir yang sama dengan kerajaannya. Seperti misalnya, pengendali air banyak ditemukan di Kerajaan Biru. Peri Hutan dan Goblin Daun banyak ditemukan di Kerajaan Hijau, dan sebagainya."
Aku hanya ber-ooh pelan. Semua ini sangat baru bagiku. Siapa sangka, hal yang hanya kulihat di ilustrasi buku dongeng, akan kulihat dengan mataku sendiri. "Kalau Ratu, bagaimana?" Aku bertanya lagi.
"Ratu Merah? Dia orang yang bijaksana." Matt menjawab. Aku menunggu lanjutannya tetapi Matt tidak melanjutkan perkataannya.
"Itu saja?" Aku mengerutkan dahi. Matt tertawa.
"Lihat saja nanti, Jen." Matt mengulurkan tangannya padaku. Sekarang kami menyebrangi sungai kecil dengan bebatuan yang timbul. Kami berjalan diatas bebatuan kecil untuk menyebrang. Aku melihat kura-kura kecil yang sedang mengintip, dan memanggilnya.
"Hey!" Dan kura-kura itu melompat masuk kedalam air, dan berenang dengan cepat ke arah lain. Mataku mengikuti kepergiannya, dan dia berhenti didekat batu besar dan naik keatasnya. Saat aku melihat ada apa diatas batu tersebut, aku sangat terkejut. Ada induk kura-kura yang besarnya lebih dari seekor sapi. Melihatnya aku menganga, dan hampir jatuh ke dalam sungai. Untung saja, Matt menangkapku.
"Hati-hati!" Matt berkata dengan nada agak kasar. "Matamu kemana?"
Dan saat Matt melihat induk kura-kura tadi, dia tersenyum dan melambai. Kura-kura kecil dan induknya balas melambai sambil tersenyum. Matt menunjuk padaku sambil berkata pada kedua kura-kura "Pendatang baru." Dan kura-kura itu berbalik untuk pergi.
Jantungku berdebar keras sekali. Aku sudah diberitahu oleh Matt bahwa aku akan menemui banyak sekali makhluk yang ada di dunia nyata, tapi rasanya aneh sekali saat kau benar-benar menemuinya. Ada perasaan ingin lari, kaget, takut tetapi juga ada perasaan senang dan penasaran. Akan lebih baik apabila aku mengontrol ekspresiku mulai sekarang. Aku berpikir apabila aku terus-terusan terkejut, beberapa penduduk asli Spalvia mungkin akan tersinggung.
Setelah dua puluh menit kami menyusuri hutan kecil yang dipenuhi buah-buah bulat berwarna merah, kami sampai di pemukiman warga. Desa biasa, yang bisa ditemukan di duniaku. Aku melihat sekeliling desa itu, rumah-rumah yang terlihat memiliki warna tembok beragam, seperti putih tulang ataupun hanya warna coklat dari kayu, namun atapnya berwarna merah terang.
"Ayo, Jen." Matt menarik pergelangan tanganku. "Sekarang sedang ramai."
Dan memang ramai. Kios-kios beratap kain merah menjual buah, sayur dan barang-barang antik bertebaran di sepanjang jalan kecil ini. Hal yang paling menarik bukanlah apa yang mereka jual, namun siapa yang menjual atau membelinya. Astaga aku terkejut sekali melihat penduduk asli Kerajaan Merah.
"200 Khissel untuk kain corak ini? Jangan main-main kau Mollus!" Seorang laki-laki berjanggut putih berteriak kepada penjual barang antik. Aku mencondongkan kepalaku untuk melihat mereka lebih baik.
"Itu adalah kain terbaik, Merlin. Tapi untukmu bisa kuberikan 180. Bagaimana?" Penjual itu berkata. Saat kain penutup kiosnya terangkat angin, aku melihat bahwa penjual barang antik tersebut adalah siput raksasa!
"150 Khissel dan kita sepakat, Mollus." Merlin menawar lagi. Mollus menggeleng.
"175, final." Merlin mendecakkan lidahnya, dan mengangguk. Ia menyerahkan kepingan uang emas yang berkilauan, lalu pergi.
Saat Merlin pergi, aku menyadari bahwa aku terlalu asyik mendengarkan percakapan penjual dan pembeli tersebut, dan sekarang aku kehilangan Matt.
"Matt?" Aku memanggilnya dengan suara pelan. Aku tidak ingin berteriak di tengah-tengah tempat ini. Aku melihat kanan dan kiri, mencari Matt tetapi berusaha tidak terlihat celingukan.
"Buah Agat, nona? 20 Tall untuk 5 buah!" Seorang wanita tua dengan gundukan di punggungnya menawariku buah berwarna merah dengan garis putih. Hidungnya panjang dan ada banyak kutil hinggap di wajahnya.
"A-ah, terimakasih. Mungkin nanti." Dan aku berpaling untuk mencari Matt. Sepertinya aku salah langkah, karena semakin dalam aku masuk ke jalan kecil ini, aku semakin diserbu oleh para penjual buah, sayur atau apapun itu.
"Ramuan cinta, Nona. Dibuat asli oleh Dewi Cinta!" Seorang Goblin menawarkan botol kecil berwarna merah muda.
"Buah Drappo, satu gigit dan kau akan dapat berbicara dengan naga manapun!" Seorang laki-laki berkaki kuda mengejutkanku dari belakang.
Aku melihat cicak raksasa disebuah tembok dibelakang kios sayur-sayuran, dan Ia mengambil beberapa sayuran dengan lidahnya. Sangat cepat, lalu Ia pergi merayap ke tempat lain. Aku tidak melihatnya membayar. Apa dia mencuri?
"Gaun dansa bersinar, semua mata akan tertuju kepadamu!" Seorang wanita cantik mendesakku untuk membeli gaunnya. Saat kulihat lebih dekat, telinganya runcing. Mungkin dia seorang peri.
Saat aku mulai kewalahan dengan banyaknya orang-orang yang berjualan, sebuah tangan menarik lenganku menuju gang yang lebih sepi.
"Matt! Kau kemana saja? Aku hampir mati digencet oleh para penjual it–"
Dan belum selesai aku bicara, orang itu mengibaskan rambutnya dan memandangku. Dia anak laki-laki, tetapi bukan Matt. Aku menutup mulutku. Dia memandangku lekat-lekat.
Ia berambut coklat kehitaman, dan kulitnya pun sedikit gelap, namun matanya bersinar merah seperti Matt pada malam itu. Badannya tinggi dan tegap, dan Ia mengenakan pakaian manusia, seperti kemeja putih yang sedikit besar untuk ukurannya, dan celana merah marun. Hanya saja, Ia menggunakan rompi pengaman berbahan kulit. Ia juga memiliki pedang di sisi tubuhnya.
"Apa kau manusia?" Ia bertanya. Aku hendak menjawab 'ya.', namun pertanyaannya membuatku berpikir, Apakah kau bukan manusia? Dia memandangku dari atas sampai bawah, dan aku melakukan hal yang sama.
"Ya, dan aku mencari temanku, Matt. Apakah kau mengenalnya?" Aku bertanya padanya.
"Dari desa mana kau berasal?" Dia tidak menjawab pertanyaanku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Apakah aman jika aku menjawab aku bukan dari dunia ini?
Saat aku ragu untuk menjawab pertanyaannya, Ia menggenggam pedangnya, siap untuk menariknya. Aku mundur sedikit dan mengangkat tanganku. "Tenanglah." Aku berkata dengan pelan. Napasku tercekat.
"Jawab!" Ia berteriak.
"Kau juga tidak menjawab pertanyaanku!" Aku menjawabnya, dan menyesalinya saat itu juga, karena laki-laki itu mengeluarkan pedang dan mengarahkannya padaku. Pedang berwarna perak yang bersinar dibawah sinar matahari terik, dan beberapa batu merah yang indah di bagian pegangannya.
Aku sudah tidak tahu harus bagaimana. Kalau aku berlari, aku takut laki-laki gila ini menusukku dengan pedang besar dan tajam itu.
Lalu, sebuah pedang beradu dengan pedang laki-laki gila itu. Matt! Dia meggunakan pedang yang sama dengan orang itu, dan sekarang mereka berduel. Dengan sedikit gerakan menekuk, orang itu sudah melepas pedangnya karena terlempar oleh gerakan Matt. Mereka berhenti sejenak, lalu tertawa. Matt menjabat tangannya.
"Bangunlah saudaraku. Sudah berapa lama kau tidak latihan?" Matt berkata padanya. Lalu melihat ke arahku. "Jadi kau sudah bertemu tamuku, Rov"
Laki-laki bernama Rov itu mengambil tangan Matt lalu bangun. Ia terlihat kaget saat Matt menyebutku 'tamunya'.
"Tamu, Matt? Di saat seperti ini?" Rov melotot ke arah Matt. Matt mengangkat bahunya. Rov menyudahi pandangannya ke Matt dan berpaling kepadaku. Ia menyelipkan pedangnya kembali ke tempatnya di samping tubuhnya. Ia menunduk kepadaku.
"Maafkan aku atas perlakuanku tadi, Nona." Aku salah tingkah dan sedikit menunduk untuk membalas hormat. "Kau tidak terlihat dari sini, dan tidak menjawab pertanyaanku. Aku hanya melaksanakan tugasku."
"Namaku Krov. Kesatria Krov dari Kerajaan Merah." Ia membusungkan dadanya.
"A-aku Jen." Aku menjawabnya.
"Baik, jangan biarkan dia berkeliling sendirian lagi, Matt. Dia hampir digilas di bazaar." Lalu Krov pergi meninggalkan aku dan Matt.
***
Aku memukul kepala Matt. "Kemana saja kau, hah? Aku hampir saja ditelan oleh Goblin di kios-kios itu!"
Dia terkekeh. Lalu menunjukkan sebuah kantong ke depan wajahku. Saat kubuka, kantong kulit itu berisi buah bulat berwarna merah yang segar. "Apa ini?"
"Buah Darah. Tidak seseram namanya, rasanya segar seperti pomegranat, tapi dagingnya lembut seperti mangga." Matt mengambil satu dan memberikan satu untukku juga. "Cobalah."
Aku memandang Matt curiga. Aku menunggunya untuk memakan buah itu juga, baru aku akan memakannya. Tapi Matt mengigit buah itu tanpa ragu, dan terlihat menikmatinya. Akupun mengunyah buah itu.
Rasanya segar sekali. Benar, buahnya lembut seperti buah mangga yang sudah matang, namun rasanya meledak-ledak manis dan sedikit asam seperti pomegranat. Kulitnya berwarna merah, tetapi dagingnya berwarna hijau dengan sedikit lekukan berwarna ungu didalamnya. Namun, buah itu meninggalkan efek merah darah di bibir.
"Kita akan langsung menghadap Ratu, untuk mengabarkan adanya penculikan. Lalu kita akan mencari cara untuk mengambil Carson kembali." Matt berkata sambil melihat sekitar. Para penjual masih ramai berlalu-lalang, mencegat orang-orang yang lewat dan memaksa mereka membeli barang dagangannya.
"Bertemu Ratu?" Aku bertanya pada Matt. "Tapi, Matt..." Aku memandang diriku sendiri. Aku mengenakan legging coklat tua dan kaos pendek berwarna hitam, serta cardigan rajut orange. Pakaian yang sangat tidak pantas dikenakan untuk bertemu seorang Ratu. Matt tertawa.
Saat itu aku menyadari bahwa Matt sudah berganti pakaian, sama persis seperti Krov tadi. Bahkan sampai dengan pedang yang disematkan disamping tubuhnya. Matt terlihat... pantas? Itukah kata yang tepat untuk menggambarkannya? Ia tinggi, dan terlihat jauh lebih gagah dan ramping dengan rompi pengamannya.
"Jangan takut, tidak perlu memikirkan itu." Matt mulai berjalan.
Kami keluar dari gang dan kembali menyusuri jalan kecil yang dipenuhi pedagang. Hanya saja, sekarang para pedagang ganas tidak lagi menyerbuku. Mereka melihat Matt, dan tersenyum hormat kepadanya. Walaupun begitu, Matt tetap ramah dan menyapa beberapa penjual.
"Buah Darahnya sangat lezat, Nyonya Wittel!" Matt berkata kepada seorang nenek yang wajahnya besar sekali, seperti balon. Rasio badan dan wajahnya 1:2, tetapi tingginya hanya sebahuku. Ia tersenyum sambil melempar satu Buah Darah lagi kepada Matt.
Matt menangkapnya, melambaikan Buah Darah di udara dan membungkuk berterimakasih. Setelah kami mulai menanjak menjauhi pemukiman warga, Matt melemparkan buahnya padaku. "Kau suka, kan?"
Aku menangkapnya, tetapi memasukkannya ke dalam kantongku. Aku belum lapar.
Sekarang kami berjalan menuju gerbang batu besar yang terbuka. Beberapa penjaga mengangguk melihat Matt, dan Matt mengangguk balik sambil tersenyum pada mereka. "Kita sudah sampai."
Dan memasuki gerbang, aku melihat istana megah yang sepertinya terbuat dari batu permata berwarna merah. Seperti tumpukan kristal, hanya saja berjuta-juta kali lebih besar. Istana itu bersinar karena cahaya matahari, dan kilauannya membuat mataku sedikit sakit. Disekeliling istana, terdapat kebun bunga yang keseluruhannya berwarna merah, serta beberapa buah yang segar. Aku mengikuti Matt berjalan dibelakangnya.
Napasku sedikit tersengal. Aku telah berjalan jauh mulai dari masuk ke dalam Hutan Hela, ujung jurang sampai ke Desa, dan sekarang masih harus berlanjut. Aku tidak tahu pasti, tapi sepertinya jarak dari gerbang sampai dengan istana sepertinya lebih dari 200 meter. Aku sedikit terbatuk.
Matt menoleh padaku. "Kau lelah, ya?" Dan menggeleng. "Dasar tuan putri."
Tentu saja aku kesal Ia berkata seperti itu. Aku berjalan lebih cepat, meninggalkan Matt dibelakangku. "Cepatlah!" Dan Matt tertawa lagi.
"Oh, jangan seperti itu. Aku bercanda, Jen." Matt menarik tanganku, lalu Ia bersiul, seperti memanggil sesuatu.
Dan tiba-tiba saja, seekor singa bersayap menampakkan dirinya didepanku, hembusan angin dari kepakan sayapnya membuat rambutku berkibar dengan cepat. Makhluk itu membuat dentuman keras sekali saat Ia mendarat. Ia membungkuk hormat kepada Matt.
"Hai Levie. Bisakah kau antar tuan putri ini ke depan pintu masuk? Dia lelah sekali." Matt tertawa sambil membelai singa bersayap itu. Ia terlihat senang. Lalu Matt menyambar tanganku dan melemparku keatas Singa itu.
Aku ingin menolak, Matt ingin aku terbunuh di dunia ini. Aku terus berpikir seperti itu. Singa ini mungkin saja mengenalnya, tapi aku tidak. Bagaimana kalau singa ini memutuskan untuk memakanku?
Sebelum aku sempat berkata apapun pada Matt, sayap dari singa ini mulai bergerak dan tiba-tiba saja, aku sudah melayang di udara. Untuk sesaat, singa ini berdiam diri dan tiba-tiba saja menyentakkan tubuhnya, dan kami melejit maju dengan sangat cepat. Aku hampir terlempar ke belakang kalau saja aku tidak mencengkram rambut singa itu. Aku memejamkan mataku karena takut.
Hanya dalam selang waktu 5 detik, aku sudah tidak merasakan hembusan angin yang keras pada wajahku. Suara dentuman keras terdengar, dan singa itu sudah mendarat didepan pintu masuk. Matt sudah menunggu. Bagaimana bisa Ia lebih cepat dariku? Tetapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Badanku kaku, aku tidak bisa bergerak.
Matt mengulurkan tangannya padaku, untuk membantuku turun. "Bagaimana sensasinya, Jen? Pasti menyenangka–"
Belum selesai Matt berbicara, aku terjatuh dari singa terbang itu. Tubuhku terasa lemas, dan aku tidak bisa segera bangun. "Jen!" Matt segera menghampiriku.
"Astaga! Maafkan aku! Bisakah kau berjalan?" Matt menatapku dengan tatapan khawatir. Matanya berkilau merah terang. Aku mengangguk, membuka mulutku untuk berkata Aku baik-baik saja tetapi tidak ada satupun kata yang keluar. Aku menarik napas beberapa kali, dan mengangguk sekali lagi kepada Matt.
Singa bersayap itu juga terlihat khawatir kepadaku. Ia membantuku berdiri dengan hidungnya.
"Baik." Matt ikut menarik napas. "Selamat datang di Istana Ruby." Dan dengan perkataan Matt, pintu kristal berwarna merah setinggi sekitar 10 meter lebih terbuka. Kupikir bagian luar istana sudah menyilaukan, tetapi saat pintu terbuka, sinar dari dalam jauh lebih menyilaukan mata.
Dan aku menganga melihat isi istana itu.