Chereads / Didn't Confess / Chapter 1 - CHAPTER 1

Didn't Confess

🇮🇩yuzu1629
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - CHAPTER 1

DIDN'T NEED CONFESS

CHAPTER 1

Lampu-lampu temaram di sisi jalan menemani langkah wanita hamil yang tengah berjalan di sisi jalan. Hari sudah hampir masuk tengah malam, namun wanita itu justru berkeliaran sendirian di jalan sepi. Jas dokter putih yang masih melekat di tubuhnya itu bukan karena dia ingin pamer, melainkan karena dia kedinginan dan tak punya pakaian hangat agar bisa dipakai. Semua ini gara-gara mobilnya yang mogok di jalan jadi dia terpaksa pulang dengan bus umum dan berjalan kaki demi melewati gang menuju rumahnya. Malang sekali baginya karena saat menelfon orang rumah untuk menjemputnya, semua tidak ada yang mengangkat. Mungkin karena semua juga sudah tidur mengingat hari sudah malam.

"Haaahh kenapa jalannya menanjak tinggi seperti itu? Apa tidak bisa sebentar saja jalannya jadi datar agar aku bisa melewatinya?" Jungyeon si wanita hamil yang masih diam berdiri memperhatikan tanjakan aspal yang cukup tinggi.

Demi sampai ke rumahnya, dia harus mau melewati jalan menanjak itu karena tidak ada jalan lain untuk memutar arah. Hingga hampir di ujung atas jalan menanjak itu Jungyeon hampir menyerah karena tidak kuat lagi berjalan. Bayinya dalam perut sudah dari tadi menendang-nendang sangat kencang, mungkin dia juga sama seperti Jungyeon yang ingin segera beristirahat.

"Tunggu sebentar lagi kita akan sampai, Eomma harus mengatur nafas dulu sebentar," tutur Jungyeon ke janinnya.

5 meter dari langkahnya yang sekarang mungkin Jungyeon akan sampai. Kalau sudah di rumah mungkin dia akan langsung tidur karena sudah sangat lelah, lutut sampai telapak kakinya juga terasa sakit. Berjalan kaki memang baik untuk kandungannya, tapi kalau berjalan kaki setelah dia melakukan banyak pekerjaan juga rasanya sangat melelahkan.

"Akhirnya aku sampai, hosh hosh padahal cuma jalan tapi rasanya kayak habis marathon," ungkap Jungyeon.

Bersamaan dengan Jungyeon yang akan membuka pintu dengan mendorongnya, seseorang dari dalam juga ikut menarik pintunya. Dan ketika pintu sudah terbuka serta menampakkan seorang pria dari sana, pria itu lantas tertawa melihat wajah kelelahan Jungyeon.

"Kau pulang? Ahahaha syukurlah jadi aku tak perlu menjemputmu pulang," ucap pria itu.

"Jeonghan Oppa! Kau ish benar-benar yah. Aku telfon kau tak mengangkatnya, sekarang aku pulang dengan rasa lelahku malah kau tertawakan," kesal Jungyeon.

"Mian ahahaha. Kau masuklah, aku ingin segera mengunci pintunya lagi."

Daun pintu hitam itu kemudian kembali ditutup rapat oleh Jeonghan saat Jungyeon sudah masuk ke dalam rumah.

"Woaahh masuk ke rumah rasanya benar-benar membuatku lega. Tadinya kupikir aku akan membeku di jalan karena kedinginan," kata Jungyeon yang duduk di double sofa sambil merentangkan tangannya ke dashboard sofa berkulit lembut.

"Mana mungkin, kau kan punya cadangan lemak yang banyak. Masa kau di luar sebentar akan membeku?"

"Ish kau! Ini juga gara-gara Oppa yang tidak menjemputku," kesal Jungyeon.

"Salah kau juga kenapa sudah tahu hamil tapi tidak minta suamimu pulang," balas Jeonghan enteng.

"Kau jangan membuatku makin kesal."

Jeonghan hanya mengedik bahu. Pria dengan paras ayu itu melipat lengan bajunya dan mulai beringsut ke arah dapur.

"Gendut kau sudah makan belum? Kalau belum akan aku hangatkan masakan di microwave," tawar Jeonghan.

"Kau memanggilku 'Gendut'? Yah! Kau pikir kau boleh memanggilku seenak itu?" kesal Jungyeon.

"Mau tidak? Kalau tidak aku akan kembali tidur bersama kasur dan selimut lembutku di kamar."

"Tidak perlu," ketus Jungyeon.

Tungkai kaki lelaki itu justru terus melangkah masuk ke dapur tak menghiraukan jawaban sang adik. Jawaban sang adik itu bukan alasan untuk dirinya tak menghangatkan makanan, justru sebaliknya. Wanita hamil yang tak lain adiknya sendiri malah akan lebih senang jika diberi banyak makanan.

"Sebaiknya aku mandi dan segera tidur. Kurasa pinggangku akan jauh lebih sakit untuk ke depannya," ujar Jungyeon.

Jejeran rapi wadah-wadah skincare tak absen dari tangan Jungyeon. Setelah tadi mandi untuk menyegarkan tubuh sebelum tidur, kali ini Jungyeon sibuk memberi nutrisi untuk kulit wajahnya. Jemari lentiknya dengan lihai mengoleskan sleeping mask merata ke seluruh wajah. Selesai dengan perintilan skincare-skincare malam itu Jungyeon melangkah ke kasurnya untuk segera tidur.

Dering telefon membuat Jungyeon menunda untuk naik ke kasur empuknya. Entah siapa yang menelfonnya saat tengah malam seperti ini.

"Namjoon oppa ternyata," gumam Jungyeon.

Suami Jungyeon alias ayah dari bayi yang dikandung Jungyeon lah yang ternyata menelfonnya malam ini. Jungyeon menekan tombol hijau untuk mengangkat telfon tersebut, ia lantas mendekatkan benda kotak persegi itu ke daun telinganya.

"Ah kau belum tidur rupanya. Maaf menelfonmu malam-malam," ucap Namjoon di sebrang sana.

"Tidak apa-apa, aku juga belum tidur. Kau baik-baik saja disana Oppa?"

"Aku baik disini. Kau dan anak kita bagaimana? Apa kalian baik-baik saja?"

"Baik kok, kemarin aku memeriksakannya dan dokter bilang dia tumbuh dengan baik dalam perutku."

"Syukurlah kalau begitu, aku senang mendengarnya. Ah iya, hari ini kau selesai kerja malam kan? Sebaiknya kau lekas tidur, tak baik untuk ibu hamil begadang sampai larut. Aku tadi penasaran dengan keadaan bayi kita, kurasa aku sudah lega mendengar dia baik-baik saja."

"Ne. Ah iya Oppa aku ingin tanya sesuatu."

"Ne, apa itu?"

"Apa boleh aku memakai uang yang kau beri padaku untuk kebutuhanku? Eum begini, soalnya kemarin uangku dipinjam teman dan ternyata aku butuh uang untuk biaya perbaikan mobilku soalnya aku sudah terlanjur mendepositokan separuh gajiku bulan ini. Nanti uangnya kuganti dengan gajiku bulan depan."

"Pakai saja tidak apa-apa. Itu memang untukmu. Lagipula itu sudah kewajibanku menanggungmu, tidak perlu diganti juga."

"Kamsahamnida. Maaf jadi membebanimu, aku jadi merasa tak enak padamu."

"A-aniya bukan itu maksudku. Jungyeon kau tak perlu sungkan begitu, aku tak merasa kau jadi bebanku sama sekali. Aku sangat menghargaimu sebagai istriku dan jangan pernah berpikir kalau kau adalah beban untukku."

"Ne Oppa, terima kasih."

"Sekarang lebih baik kau istirahat saja. Aku juga sedang tugas malam, maaf tidak menemanimu sampai kau tertidur Jungyeon-ah."

Netra kokoa jernih itu memandang ke arah kasur yang telah lama ditempatinya semenjak beberapa bulan terakhir. Sejak saat ia meminta Namjoon suaminya untuk berada jauh darinya, Jungyeon memilih tinggal di rumah orang tuanya. Mengenai Namjoon, saat ia 'diminta' Jungyeon untuk pergi jauh darinya dia langsung pergi ke Beijing. Memang awalnya dia tak berniat untuk meninggalkan istrinya yang tengah hamil, tapi karena hormon kehamilan yang membuat Jungyeon saat itu terus mengusirnya membuat Namjoon menuruti kemauan konyol istrinya itu. Namjoon berpikir kalau hal itu mungkin saja memang kemauan Jungyeon agar ia menjauh atas kemauan Jungyeon sendiri yang tidak mau tinggal bersamanya.

Pernikahan mereka sebetulnya bukan keinginan dari keduanya. Mereka sama-sama terpaksa menerima perjodohan dari orang tuanya yang sangat mengidamkan untuk segera memiliki menantu. Bahkan kehamilan Jungyeon saat ini juga karena tekanan dari orang tua Jungyeon dan Namjoon sendiri. Kendati demikian hal itu tak membuat Jungyeon dan Namjoon tidak menyayangi calon anak mereka karena sebelumnya mereka juga tahu hal ini akan terjadi -mengenai permintaan momongan dari orang tua mereka- jadi mereka sudah mempersiapkan matang untuk memberi setidaknya seorang cucu untuk orang tua mereka.

"Aegi-ya, mian membuat kau jauh dari ayahmu sendiri. Eomma entah kenapa tidak suka saat ayahmu ada di dekat Eomma. Nanti kalau kau lahir, Eomma janji tidak akan membuatmu jauh-jauh dari ayahmu."

Telapak tangan Jungyeon mengelus lembut perut buncit yang kini tumbuh janin di dalamnya. Tendangan lembut yang ia terima dari si kecil di dalam perutnya membuat ia ingin terus mengelus-elus perutnya. Kehamilannya kini sudah memasuki bulan ke-7, sebentar lagi Jungyeon akan melahirkan. Tenang saja, Namjoon bilang kalau kontrak kerjanya di Beijing hanya sampai 9 bulan kandungan Jungyeon jadi dia bisa menemani Jungyeon saat persalinan nanti. Namjoon memang sengaja melakukannya karena dia juga ingin melihat langsung proses kelahiran anaknya. Untungnya rumah sakit itu milik kenalan Jeonghan jadi Namjoon bisa bekerja disana secara kilat hanya untuk memenuhi kemauan istrinya.

Bunyi keroncongan dari perut Jungyeon menginstrupsi gerakan tangannya yang masih mengelus perutnya. Sebetulnya Jungyeon tak merasakan lapar, tapi dia memilih untuk tetap ingin ke dapur mencari makanan. Semenjak hamil dia jarang sekali merasa lapar seperti waktu dia belum hamil, baginya perut yang keroncongan itu adalah alarm saat anaknya di dalam sana meminta makan jadi Jungyeon harus segera mengisi perutnya. Kebetulan sekali makan malam masih tertata rapi di meja makan kecil dengan ditutupi tudung saji, Jungyeon perlahan mulai duduk untuk melihat makannya. Rupanya mangkuk-mangkuk wadah makanan itu masih terasa hangat, bahkan nasi putihnya juga sudah tersedia penuh di mangkuk jadi Jungyeon tidak perlu kesusahan untuk mengambilnya di majigcom. Ia tersenyum puas atas hasil kerja oppanya malam ini.

"Selamat makan," gumam

Jungyeon yang lantas melahap japchae memakai sumpitnya. Rasanya sangat memuaskan di lidahnnya.