"Ketagihan jengkol nggak rugi kok, Bang," komenku enteng.
"Siapa bilang? Kamu bisa kena asam urat kalau kamu mau tahu."
Aku manyun. "Belum rasain enaknya sih," gumamku menggerutu.
"Ya sudah, nih kamu makan rendang daging sapi aja ya Satria." Mama memberi nasi Satria dengan rendang daging kacang merah. Rendang daging mama juga mantap jiwa.
"Nah, ini baru makanan enak." Satria menggosok-gosok tangannya. Lalu, meraih sendok dan garpu.
Mataku mendelik saat Mas Ardan tiba-tiba mengambil jengkol di piringku lagi. Dia pandai banget mencari kesempatan saat aku lengah.
"Mas igh!" geramku jengkel.
"Punyamu banyak, Re. Astaga pelit amat."
"Bodo. Tuh kamu makan itu aja. Ikan kembung, biar kembung beneran," ujarku sewot membuatnya terkikik.
Aku melirik Satria, ternyata dia sedang mengawasiku dan Mas Ardan. Mulutnya mengunyah tapi matanya melotot. Aku hampir lupa kalau Satria nggak suka aku terlalu dekat dengan Mas Ardan. Aku menutup mulut, dan melanjutkan kegiatan makan dalam diam.