Dillon mengusap punggung Giana dengan lembut dan merasakan tubuh wanita itu bergetar seraya air mata membasahi pundak Dillon dan meninggalkan noda di sana.
Tapi, siapa yang peduli akan hal seperti itu di saat seperti ini?
Karena perhatian Dillon saat ini pun hanya terfokus pada sosok wanita yang begitu rapuh dan terluka di dalam pelukannya, dan seolah dia dapat merasakan rasa sakit yang Giana rasakan saat ini, Dillon merasa nafasnya menjadi dangkal. Dadanya terasa tidak nyaman…
"Aku benci mereka semua! Aku benci mereka semua!" Giana terisak dan tangisannya semakin kencang saat air mata tidak berhenti mengalir, membasahi wajahnya dan suaranya tidak lagi dapat terdengar dengan jelas.
"Semuanya akan baik- baik saja." Dillon tidak tahu apa yang harus dia lakukan atau dia katakan, karena selama ini Giana tidak pernah menunjukkan sisi dirinya yang seperti ini. "Kau tidak sendiri, aku ada di sini…"