"Apa?!" pekik Hailee dengan tidak percaya. "Kau bercanda kan? Aku baru saja selesai berbelanja dengan ibumu!" Hailee mengangkat kepalanya dan menatap Ramon yang masih sibuk menatap layar laptopnya.
"Tidak," jawabnya singkat.
"Ah, kakiku sakit…" keluh Hailee tidak percaya kalau dia harus melakukan ini lagi besok dengan Lexus. "Badanku pegal."
Kali ini, mendengar Hailee terus mengeluh, Ramon menghentikan ketikan jemarinya di atas laptop dan menatap gadis di sebelahnya dengan kesal.
Hailee tengah menelungkupkan kepalanya di atas bantal sambil bergumam sesuatu yang tidak jelas. Rambutnya yang panjang tersebar di sekitar wajahnya dan di atas dokumen yang Ramon letakkan di atas sofa.
"Kau sebaiknya segera kembali ke kamarmu," ucap Ramon yang merasa terganggu. "Apa kau sudah mempelajari hal yang aku minta tadi pagi?"
"Mempelajari apa?" Hailee benar- benar lupa apa yang dimaksud Ramon.
Ramon kemudian menyentuh bagian di sekitar leher dari kaus putih yang dia kenakan sambil memperhatikan perubahan ekspresi pada wajah Hailee.
Matanya membelalak dengan lucu dan bibirnya sedikit terbuka ketika akhirnya dia kembali memekik. "Yang benar saja! Kau tahu aku keluar dengan ibumu seharian ini dan kau masih bertanya apa aku belajar bagaimana cara mengenakan dasi?"
"Ada yang salah?" Ramon mengangkat alisnya dengan menantang, tapi kali ini Hailee tidak tinggal diam saja.
Dia duduk berlutut di atas sofa dengan kedua tangan di pinggangnya sambil menatap Ramon dengan galak.
Hailee pun tidak mengerti apa yang memberikannya keberanian untuk bersikap seperti ini pada Ramon. Mungkin rasa lelahnya yang membuat emosinya tidak stabil atau pertanyaan Ramon di waktu yang tidak tepat, yang membuat emosi Hailee tersulut.
"Salah," jawab Hailee dengan nada yang tegas, dia menatap lurus pada Ramon.
Mendengar nada suara Hailee yang meninggi, pria itu lalu menyingkirkan laptopnya dan memutar tubuhnya hingga dia menghadap pada Hailee, lalu dengan santainya dia menopangkan dagunya sambil menatap gadis muda yang tengah gusar ini.
"Kau cantik," ucap Ramon tiba- tiba.
Hailee mengerutkan keningnya, tidak yakin dengan apa yang dirinya dengar. "Apa?"
"Kau cantik saat sedang marah," jelas Ramon.
Mendengar hal itu, Hailee menjadi salah tingkah. Apa- apaan pria ini?! Kenapa dia tiba- tiba mengatakan hal seperti itu?! "Kalau begitu aku akan marah- marah terus," gerutunya.
"Hm," gumam Ramon. "Silahkan saja, aku mendengarkan," ucapnya dengan ekspresi wajah yang serius, seolah menunggu reaksi marah Hailee.
Tapi, bagaimana mungkin Hailee marah saat Ramon berkata seperti itu?! Pria ini sungguh di luar dugaan!
"Sudah, aku tidak jadi marah!" sergah Hailee yang kemudian langsung turun dari sofa. "Aku mau istirahat saja!" lalu gadis itu setengah berlari ke arah kamarnya di lantai dua.
Mood nya untuk marah sudah hilang dan kini dia merasa wajahnya memerah dan tidak bisa menahan senyuman di bibirnya.
Ugh!
Cara Ramon menatapnya tadi sungguh seksi! Hailee merasa seperti dirinya ingin menerkam pria itu kalau dia tidak segera pergi dari sana.
Sementara itu Ramon menatap kepergian Hailee dengan senyum kecil di sudut bibirnya. Ternyata sangat mudah membuat gadis itu berhenti menggerutu.
Kemudian Ramon melanjutkan pekerjaannya yang tertunda tadi.
==============
Hari masih sangat gelap, bahkan matahari baru akan bersinar beberapa jam lagi dari sekarang, tapi Hailee telah terbangun untuk beberapa saat. Matanya mengerjap- ngerjap untuk membiasakan dengan kegelapan di sekitarnya.
Dan ketika dia merasakan suasana di dalam rumah ini yang begitu tenang dan yakin kalau Ramon telah masuk ke dalam kamarnya, Hailee perlahan turun dari tempat tidurnya dan dengan mengendap- endap dia keluar dari kamar, menutup pintunya dengan hati- hati, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara berisik.
Kamar Ramon yang terletak tidak jauh darinya tertutup rapat dan Hailee sangat yakin kalau pria itu telah masuk ke dalam kamarnya satu jam lalu dan belum keluar lagi, jadi bisa dipastikan kalau dia telah tertidur sekarang.
Setelah itu, Hailee menuruni tangga satu persatu, menuju ruang baca dimana dia melihat ada telepon di sana.
Hailee harus menelepon Ian untuk memastikan sesuatu dan memberitahu sahabatnya itu mengenai keadaannya kini.
Mungkin Ian tidak bisa membantu banyak, tapi setidaknya Hailee dapat mengeluarkan keluh kesahnya dan ini dapat membantunya agar tetap waras di antara kemelut yang harus dia hadapi sekarang.
Setelah sampai di akhir tangga, ruang tengah yang gelap menyambut Hailee dan ini membuatnya bergidik.
Hailee berharap tidak ada hal- hal yang aneh yang akan muncul.
Setelah melewati ruang tengah dan berbelok di beberapa koridor, Hailee mulai merutuk dalam hati karena rumah ini begitu besar dan dia hanya mengetahui ruangan itu saja yang memiliki sambungan telepon.
Hailee tidak bisa mencoba menghubungi Ian kemarin pagi, karena dia tahu Ian pasti telah tertidur sampai malam dan akan menjadi sangat berbahaya kalau Ian menghubungi kembali ke rumah ini.
Setelah Hailee sampai ke ruang baca, dia membuka pintunya yang menimbulkan suara berdecit pelan.
Lalu tanpa menyia- nyiakan waktu, gadis itu segera menghampiri pesawat telepon yang tergeletak di atas meja dan mulai menekan nomor- nomor yang telah dia hapal di luar kepala.
Ian memastikan Hailee untuk menghapal nomornya karena dia menolak untuk membeli ponsel ketika dia pergi dan sekarang pun Hailee tidak memegang alat komunikasi sama sekali.
Sempat terlintas dalam pikiran Hailee untuk meminta hal ini pada Ramon. Sepertinya tidak apa- apa… lagipula harga sebuah ponsel tidak akan mengganggu keuangannya, kan?
Terdengar nada sambung dari pesawat telepon di genggamannya dan ini membuat Hailee gugup karena Ian tidak kunjung mengangkat ponselnya.
Tapi, setelah percobaan kedua, suara serak dan berat, yang sangat Hailee kenal, menyapanya.
"Halo?" dari latar suara di belakang Ian, Hailee dapat menebak kalau dia masih berada di arena.
"Ian," ucap Hailee dengan lega, dia menghembuskan nafas perlahan.
"Hailee?" panggil Ian, kemudian suara berisik di latar belakangnya perlahan memudar, sepertinya dia bergerak ke tempat yang lebih sepi untuk mendengar suara Hailee lebih baik.
"Ian, apa kau tahu kalau Roland Dimatrio masih hidup?" tanya Hailee segera. "Aku baru menyaksikan beritanya pagi ini," lapor Hailee.
"Ya, aku tahu kalau dia belum mati seperti yang kau duga," Ian berbicara dengan tergesa. "Aku mengetahui kalau dia dirawat di rumah sakit sesaat setelah kau pergi, karena aku tidak tahu bagaimana menghubungimu."
Hailee menghembuskan nafasnya dengan berat, menyadari kesalahannya karena tidak segera menghubungi Ian ketika dia masih di rumah sakit ataupun tidak menyaksikan berita.
"Dimana kau sekarang?" Ian bertanya dengan khawatir.
"Di kota A," jawab Hailee dengan jujur.
"Bagaimana bisa kau ada di sana?" Ian kemudian menjauhkan ponselnya dan menatap layarnya, di sana tertera kode kota dan memang itu adalah kode kota milik kota A.