Selama perjalanan, Hailee lebih banyak terdiam, memikirkan apa langkah selanjutnya yang harus dia ambil dan apa yang harus dia katakan saat dia harus menjelaskan kebohongannya di depan para anggota keluarga Tordoff.
Hailee melirik ke sebelahnya, dimana Lis tengah menerima telepon mengenai sebuah bisnis penting dan terlihat begitu tegas, tapi juga terkesan anggun dalam setiap kata- kata yang dia pilih.
Ugh!
Orang- orang yang pandai mengontrol emosi seperti inilah, sesungguhnya adalah orang- orang yang jauh lebih mengerikan daripada mereka yang berteriak- teriak dengan amarah meluap- luap.
Hailee mulai membayangkan apa yang akan para Tordoff ini akan lakukan padanya nanti kalau mereka mengetahui kebenaran dibalik kebohongan Hailee.
"Baiklah, siapkan segalanya… hmm, tidak perlu semua kehebohan seperti itu…" Lis terus berkata kepada seseorang di telepon, sepertinya ini adalah orang yang akan mengurus segala persiapan pernikahan Hailee yang akan dilangsungkan kurang dari dua minggu lagi.
Hailee menghela nafas dengan berat. Kenapa Ramon harus terburu- buru untuk melangsungkan pernikahan? Seharusnya pria itu mencari cara untuk mengembalikan memorinya yang hilang terlebih dahulu.
Tapi, kalau Ramon berhasil mendapatkan memori nya kembali, lalu bagaimana dengan Hailee?
"Ugh!" Hailee mendengus dengan kesal, karena semakin dia memikirkan hal ini, maka semakin buntu pula jalan pikirannya. Seolah apapun nanti keputusan yang akan dia ambil, hal tersebut sama sekali tidak akan berpengaruh banyak dalam hidupnya dan justru membuat dirinya terjerat lebih dalam dalam pusaran kebohongan ini.
"Ada apa Hailee?" Lis segera mengakhiri panggilan teleponnya ketika dia mendapati wajah Hailee yang tengah gusar. Dia sudah menyadari kalau gadis ini terus menerus menghela nafas sepanjang perjalanan. "Maaf, tadi ibu sedikit sibuk jadi mengacuhkanmu." Lis pikir itu adalah alasan kenapa Hailee mengerutkan wajahnya sedemikian rupa, walaupun dia tidak yakin kalau gadis ini akan menunjukkan ketidaksukaannya sejelas ini hanya untuk masalah sepele.
Mendengar penuturan Lis, Hailee buru- buru mengangkat kedua tangannya dan melambaikannya dengan panik. "Bukan, bukan itu masalahnya bu…"
Mana mungkin Hailee berani memprotes Lis yang mengacuhkannya, bahkan kalau wanita ini mau mengacuhkannya sepanjang hari, Hailee tidak akan mengeluarkan sata kata protes. Huft…
"Lalu kenapa kau terlihat seperti memiliki masalah yang berat?" Lis mengamati kerutan samar di antara kedua alis Hailee.
Ups. Apakah terlihat sangat jelas?
"Terlihat sangat jelas di sini," Lis berkata sambil mengulurkan tangannya dan mengusap lembut bagian di antara alisnya.
Apa wanita ini bisa membaca pikiranku? Hailee mulai berpikir yang tidak- tidak.
"Sekarang katakan, apa yang mengganggumu?" tanya Lis kembali.
Oh, ternyata tidak… pikir Hailee dengan lebih tenang. Beberapa hari terakhir ini benar- benar membuatnya sedikit stress hingga pikirannya merambah ke hal- hal yang tidak mungkin, terutama ketika dia melihat berita pagi ini mengenai Roland Dimatrio.
"Tidak apa- apa bu…" jawab Hailee dengan suara pelan, pada akhirnya dia masih belum sanggup untuk berkata jujur pada Lis.
Di sisi lain, Lis dapat melihat kalau Hailee tengah menutupi sesuatu, tapi dia tidak ingin untuk memaksa gadis ini dan membuatnya menjadi lebih tidak nyaman, maka dari itu dia membiarkan masalah ini dan mengganti topik pembicaraan mereka.
"Butik yang akan kita datangi nanti adalah milik teman lamaku saat masih berkuliah dulu dan kini dia merupakan salah satu perancang busana terbaik di negeri ini dan bahkan karyanya telah dikenal di beberapa negara, kau pasti pernah mendengar namanya," Lis berkata sambil menatap Hailee dengan lembut. "Margaretha Lamos."
Lis tertawa pelan ketika melihat wajah Hailee, yang dengan polosnya terkejut. Dia benar- benar berbeda dari gadis- gadis seumurannya. Mungkin karena alasan ini juga Ramon memilih gadis ini.
Ah, seandainya saja Lis tidak keras kepala dan membiarkan Ramon membawa Hailee pulang, lalu memperkenalkan mereka berdua, pasti kecelakaan mengerikan itu tidak akan terjadi.
Namun, Lis tidak mau memikirkan hal yang telah terjadi dan menyesalinya berlarut- larut. Yang terpenting sekarang adalah; pernikahan mereka berdua.
Karena Ramon tidak ingin agar pernikahan ini menjadi konsumsi public, maka dari itu, mereka tidak bisa membuat pesta besar- besaran, tapi bukan berarti pesta pernikahan nanti tidak akan menjadi momen yang membekas bagi mereka berdua…
"Sang Diva?!" Suara Hailee tercekat di tenggorokannya dan matanya terbelalak tidak percaya.
Tidak mungkin seorang perancang busana pengantin sekelas Margaretha Lamos akan menjadi perancang busana pernikahannya nanti?!
Tidak mungkinkan?
Hailee menatap Lis, dan dia langsung mendapatkan jawabannya begitu saja… tentu saja itu mungkin.
Perlu diketahui, bahwa untuk customize gaun pernikahan dari rancangan sang Diva, maka orang itu bukan hanya harus memiliki harta yang melimpah dan status sosial yang tinggi, tapi juga mereka harus masuk ke dalam daftar waiting list, yang mana, menurut dari apa yang Hailee dengar, bisa mencapai berbulan- bulan.
Maka dari itu, Margaretha Lamos mendapatkan julukan ini; sang Diva.
"Tapi, apa mungkin? Pernikahanku dan Ramon akan dilangsungkan kurang dari dua minggu ini, tapi yang ku dengar, waiting list dari sang Diva…" Hailee menggantung kalimatnya, dia pun sedikit meringis ketika mengatakan 'pernikahanku dan Ramon', rasanya terdengar begitu asing di telinga.
"Tentu saja dia akan membuat pengecualian hanya untukku," Lis berkata dengan tenang dan tertawa kecil melihat ekspressi Hailee yang tampak khawatir. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan…"
Justru karena itu Hailee menjadi semakin khawatir. Semakin banyak yang dirinya terima, maka semakin berat bagi Hailee untuk mengatakan kejujuran pada mereka. Ugh! Ini seperti beban moral.
Setelah itu, setengah jam berikutnya diisi dengan obrolan ringan hingga mereka sampai di kantor tempat Margaretha Lamos berada.
Ini adalah sebuah gedung berlantai delapan dan memiliki dekorasi yang unik dengan warna dominan putih, serta wangi bunga lili yang menyapa Hailee ketika pertama kali dia melangkahkan kakinya di lobi.
Tepat pada saat itu, ponsel Lis kembali berdering dan dia harus mengangkatnya, karena tidak banyak yang tahu nomor ini, maka dari itu, siapapun yang meneleponnya, sudah bisa dipastikan kalau ini adalah urusan yang penting.
"Hailee, aku akan mengangkat telepon dulu sebentar," Lis berkata pada Hailee yang mengangguk mengerti, karena di lobi tersebut, alunan musik sedikit mengganggu, maka Lis harus mencari tempat yang lebih tenang.
Ditinggal sendirian, Hailee memilih duduk di sofa sambil menunggu kedatangan Lis lagi. Dia tengah melihat- lihat majalah fashion ketika seseorang menegurnya.
"Berdiri sekarang, aku mau duduk di sana," ucap sebuah suara wanita yang terdengar jengkel.
Hailee mengangkat kepalanya dan mendapati seorang wanita muda dengan kacamata hitam yang menutupi wajah mungilnya tengah berdiri sambil mengetuk- ngetukkan kakinya dengan tidak sabar.
"Tidak mau," jawab Hailee ketus.