Sharon dan Aldera kini sudah berada di Rumah sakit. Mereka sedang duduk menunggu Dokter yang sedang memeriksakan keadaan Van. Keduanya menatap cemas pintu ruang rawat itu, entahlah, keduany sama-sama takut terjadi sesuatu pada Van.
Sharon menoleh pada Aldera yang kini tengah menyandarkan punggungnya sembari memejamkan matanya, "Ald, lo udah kabarin keluarganya belum?" tanya nya.
"Udah, Ron. Mereka lagi dalam perjalanan menuju kesini," jawab Aldera, Sharon yang mendengarnya pun langsung mengangguk.
Sharon kembali menatap kosong kedepan, sebenarnya ada banyak sekali pertanyaan yang ingin dirinya tanyakan pada Aldera, namun sepertinya ini akan terlalu sulit untuknya mendapatkan jawaban itu.
"Aldera!" panggil Bunda Van yang kini tengah berlari menuju kearahnya bersama Ayah dan juga seorang laki-laki yang begitu mirip dengan Van. Sharon menyikut pinggang Aldera yang sedang memejamkan matanya itu. Aldera langsung bangun melihat ketiga orang itu. "Gimana keadaan, Van? Kok, dia bisa masuk rumah sakit kaya gini sih, gimana ceritanya?"
Aldera yang melihat Bunda Van bertanya-tanya seperti itu pun tak tahu harus menjelaskan bagaimana. Ia lalu menatap Vin yang kini tengah menatapnya, lalu menganggukkan kepalanya pada Aldera seakan memberi keyakinan takkan terjadi apapun jika laki-laki itu menceritakan yang sebenarnya.
Aldera pun memberanikan diri untuk meceritakan semuanya pada kedua orang tuanya Van, tanpa ada yang dilebih-lebihkan. Vin yang mendengarnya terkejut ketika mendengar jika Van berteriak kesakitan dikepalanya.
"Maafin Aldera ya, Tante. Aldera lagi-lagi yang bikin Van jadi kaya gini," ujar Aldera menyesal, sedangkan Sharon yang melihatnya menggelengkan kepalanya, lalu menatap kedua orang tua Van dengan penuh penyesalan. "Tapi, ini semua sebenarnya bukan salah Aldera kok, Om, Tante. Ini karena perbuatan adik saya. Saya sebagai kakaknya mewakili adik saya ingin meminta maaf atas perbuatannya."
Ayah dan Bunda Van yang mendengarnya tersenyum, terutama Bundanya yang kini mengusap kepala Sharon dengan lembut. Ia tidak marah, sejujurnya Van seperti ini bukan karena Aldera ataupun adik dari Sharon, tetapi memang ada yang tak bisa dijelaskan bagaimana ini semua bisa kembali terjadi pada Van.
"Ini bukan salah siapa-siapa kok, mungkin memang sudah jalannya harus seperti ini. Tapi, kalian baik-baik aja, kan?" tanya Bunda, lalu menatap Sharon dan Aldera bergantian. "Gak ada yang luka, kan?"
Sharon yang melihat itu pun menjadi semakin merasa bersalah, bagaimana diluar dugaannya itu bahwa ternyata kedua orang tuanya tidak memarahinya seperti yang ia duga sebelum-sebelumnya. Sedangkan Aldera yang sudah menjadi teman dari seorang Van itu sudah tahu bagaimana kedua orang tua dari Sahabatnya itu.
Aldera tersenyum melihatnya, lalu berdiri mendekati Bunda dan Sharon yang sedang saling menatap satu sama lain. "Bunda, makasih ya," ujar Aldera pada Bunda Van. "Makasih, karena selalu baik sama Aldera."
Mendengar itu Bunda pun tersenyum, lalu memeluk Aldera dan Sharon yang tersenyum haru melihat kedekatan Aldera dan Bunda Van. Ia terkejut karena ternyata Aldera juga memanggil Bunda Van dengan sebutan Bunda. Sepertinya Aldera dan Van bukanlah teman biasa, seperti sebuah keluarga.
Vin menatap pintu yang terbuka itu, munculah sosok Dokter yang baru saja keluar dari ruangan dimana Van berada. Ayahnya yang melihat itu langsung menghampirinya, sedangkan Bunda, Aldera dan Sharon langsung melepaskan pelukannya dan ikut menghampiri Dokter itu, begitu pula Vin.
"Dok, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Ayah Van.
"Anak anda sepertinya mengalami amnesia ringan, apa sering terjadi sakit dikepalanya?"
Aldera yang mendengar itu pun langsung menjawab, "Benar, Dok. Akhir-akhir ini Van sering mengeluh sakit dikepalanya," jawabnya yang langsung diangguki oleh Dokter itu.
"Putra anda sepertinya mulai mengingat sedikit demi sedikit memori yang hilang. Saya sarankan untuk jangan terlalu keras membuatnya mengingat karena itu bisa berakibat pada kesehatannya. Mungkin akan membutuhkan banyak waktu, akan tetapi lama-kelamaan memori yang hilang itu akan segera diingatnya."
Mendengar itu kedua orang tua Van menangis haru, entah kenapa rasanya begitu sulit dibayangkan jika ternyata Van akan kembali mengingat semuanya. Tetapi untuk Vin dan Sharon, semua terasa asing, terutama Vin.
"Jadi, selama ini abang amnesia?" tanya Vin dalam hati. "Terus, abang sering mimpi didatengin perempuan, apa mungkin ... jangan-jangan---" Ia sedikit penasaran dengan sesosok perempuan yang sering berada didalam mimpi Van itu.
Sementara Aldera yang sudah bisa menduganya sedari lama pun hanya diam, sepertinya Van bukan sekedar amnesia biasa, tetapi Van tidak mengingat masa kecilnya yang hilang, terutama seorang perempuan yang begitu Van cintai sampai saat ini.
"Apa saya boleh menjenguknya sekarang?"
"Oh, boleh-boleh, silahkan. Tapi, Van belum siuman, mungkin beberapa jam lagi barulah dia akan sadar."
"Baik, Dok. Terima kasih banyak sebelumnya."
"Sama-sama, kalau begitu, saya permisi dulu."
Setelah kepergian Dokter itu, mereka langsung masuk kedalam ruangan untuk melihat keadaan Van didalam sana. Bundanya yang melihat Van dalam keadaan yang seperti ini pun langsung menangis dan memeluk putranya.
"Van, kamu bikin Bunda khawatir. Cepet bangun, Sayang, ini Bunda," ujar Bunda sembari menangis. Disampingnya Vin menenangkan Bundanya yang kembali menangis, ia mengusap punggung Bundanya itu bermaksud memberinya kekuatan.
"Udah, Bund. Jangan nangis terus, kalau abang lihat Bunda kaya gini, dia pasti ikut sedih," ujar Vin yang padahal ia juga sebenarnya ingin menangis saat ini. Tetapi karena disini ada teman-teman dari Van, maka dari itu ia harus menahannya. Karena bagaimana pun, ia malu jika menangis dihadapan orang lain, selain keluarganya sendiri.
Ayah Van, Sharon dan Aldera yang melihatnya hanya bisa diam, mereka juga sama sedihnya seperti Bunda Van. Mereka bisa merasakan apa yang Bunda Van rasakan saat ini.
Dering ponsel disaku celana Sharon membuat semuanya menatap kearahnya, Sharon langsung izin pamit keluar sebentar untuk mengangkat telepon dari adiknya itu.
Setelah Sharon sudah berada diluar ruangan, ia langsung mengangkatnya, "Halo."
"Halo. Ron, lo dimana sih? Sekolah udah bubar, lo dimana? Gue gak mau balik naik angkutan umum."
Sharon menghela nafasnya, ia benar-benar tidak mengerti dengan San yang bisa-bisanya seolah tak terjadi apa-apa setelah membuat Van yang berakhir masuk Rumah sakit seperti ini. Karena biar bagaimana pun jika saja San tidak melakukan hal yang memalukan seperti ini, pasti semua ini takkan pernah terjadi, Van juga pasti baik-baik saja.
"Gue di Rumah sakit, lo balik sendiri dulu, ya," ujar Sharon. Terdengar suara decakan dari adiknya itu, membuat Sharon lagi-lagi menghela nafasnya.
"Hah? Enggak-enggak, gue gak mau!" tolak San dengan kesal. "Lagian lo ngapain, sih, di Rumah sakit? Siapa yang sakit? Lo sakit?"
Sharon yang mendengar itu langsung mengepalkan tangannya kuat-kuat, benar-benar tak habis pikir dengan San. Sepertinya, adiknya itu harus diberi sedikit pelajaran agar tak mengulangi hal yang sama seperti ini.
"Heh! Denger baik-baik, ini semua juga karena ulah lo, kalau lo gak bikin kekacauan, mungkin lo gak perlu tuh balik sendiri hari ini."
"Apaan sih?! Kok, jadi nyalahin gue," protes San tak terima mendengar Sharon menyalahkannya. "Emang siapa yang sakit, sih?"
"Van, dia jadi masuk Rumah sakit gara-gara lo!" ujar Sharon kesal. "PUAS, LO?!" bentaknya.
San yang mendengarnya langsung gelagapan, mana mungkin bisa berakibat sefatal ini. Setelah itu, San pun langsung mematikan sambungan teleponnya itu, lalu menendang batu yang ada dihadapannya itu dengan kesal.
"ARGHHH!!!"
Sharon menatap layar ponselnya itu dengan kesal, pintu terbuka dari dalam, ternyata itu adalah Aldera. Laki-laki itu melihat Sharon yang sepertinya sehabis marah, ia tahu siapa yang membuatnya menjadi seperti ini.
Aldera menepuk pundak Sharon, "Udah, biarin aja dia. Nanti juga kena batunya, santai aja, bukan salah lo juga, kok," ujarnya sembari tersenyum kearah Sharon.
Sharon yang mendengar itu menggelengkan kepalanya, "Tapi tetep aja, Ald. Seandainya San gak ngelakuin itu, pasti Van masih baik-baik aja sekarang," ujarnya, lalu menutup kedua matanya dengan penyesalan yang menyelimuti hatinya saat ini.
"Gue gak enak sama keluarganya, Ald," ungkap Sharon dengan mata yang memerah. "Mereka terlalu baik buat gue, buat adik gue yang berengsek itu!"
Aldera yang melihatnya pun mengangguk mengerti, Sharon merasakan perasaan yang dulu sering dirinya rasakan. Dulu, Aldera pun sama, merasa malu atas apa yang sering terjadi pada Van, itu karena apapun yang menyangkut Van adalah kesalahannya. Ia merasa semua adalah karenanya, karena kesalahannya, padahal itu bukan sama sekali karena kesalahan laki-laki itu.
"Gue paham, Ron. Dan asal lo tahu, gue juga sering merasakan apa yang lo rasain saat ini," ujar Aldera menatap Sharon yang kini juga tengah menatap kearahnya.
Sharon yang mendengarnya hanya bisa diam menatap Aldera yang kini tersenyum padanya.