Pada pukul 02.00 dini hari, Via kembali bermimpi yang membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak. Kini dirinya sedang menangis sesenggukkan dengan posisi kaki yang ditekuk. Wajahnya Via tenggelamkan diantara lipatan kedua tangannya yang bertumpu pada lututnya.
Ketika teringat kejadian yang menimpanya dimasa lalu itu, Via selalu merasa terpukul. Karena bagimana pun Via sangat bersedih dengan itu. Jika kembali bermimpi, itu bukanlah sebuah mimpi melainkan kisah nyata yang dialaminya dimasa lalu.
Seharusnya Via sudah bisa melupakannya, tetapi sepertinya depresinya itu takkan semudah itu bisa hilang begitu saja dalam jangka yang pendek.
Via memang selalu seperti itu, terbangun dari tidurnya diwaktu yang tidak terduga. Bahkan Ibu Via tak bisa benar-benar tidur dengan nyenyak karena harus menjaga anak satu-satunya ini yang selalu terbangun dan menangis saat tengah malam.
Tak lama Ibu via datang karena mendengar tangisan Via. Kamar Via dengan kamarnya sangat dekat sehingga masih bisa terdengar dengan jelas.
"Sayang, kamu kenapa?" Ibu Via langsung berlari menghampiri Via yang sedang menangis seperti orang ketakutan. Bahkan Ibu Via melihat seluruh tubuh anaknya bergetar hebat.
Via langsung memeluk tubuh Ibunya ketika mendengar suaranya, "Via takut, Bu. Hiks," ujarnya sembari mengeratkan pelukan pada Ibunya.
Dengan sayang Ibu Via membalas pelukannya sembari mengusap punggung Via, bermaksud menenangkan anak gadisnya.
"Cup... cup... Ibu disini, Sayang. Jadi jangan nangis lagi, ya?"
Ibu Via sejujurnya juga tak kuasa untuk tak menitikkan air mata. Begitu sulitkah kebahagiaan didapatkan untuk putri kesayangannya ini ?
"Tuhan, bahagiakanlah selalu putriku." Ibu Via berdoa didalam hati.
Ibu Via bisa merasakan trauma yang Via rasakan. Bahkan Ibu Via selalu merasa bersalah karena belum bisa membahagiakan putrinya. Ibu Via seperti sudah tak sanggup untuk melanjutkan hidupnya.
Via adalah alasan terbesarnya untuk tetap bertahan hidup. Sumber kekuatan ketika sedang tertimpa masalah dalam hidup Ibu Via selama bertahun-tahun. Tanpa Via, Ibu Via takkan bisa hidup. Tanpa Vianya juga, Ibu Via seperti kehilangan semangat hidupnya.
Via begitu berarti bagi Ibunya karena ia sangat menyayangi Via. Ibu Via rela tidak pulang kampung demi untuk membesarkan Via sampai putrinya itu mendapatkan seseorang yang bisa menjaganya.
Ibu Via terus memberi ketenangan dengan mengusap lembut punggung Via. "Udah nangisnya dong, Ibu jadi sedih lihat Via nangis."
"Iya, Bu. Maafin Via selalu bikin Ibu sedih," ujar Via lalu melepaskan pelukannya dan menatap mata sang Ibu dengan tatapan yang menggemaskan.
Ibu Via membalas tatapannya, sehingga saat ini mereka saling menatap satu sama lain. Ibu Via tersenyum, kedua tangannya bergerak untuk menghapus air mata yang akan terjatuh lagi dari mata Via.
"Jangan nangis lagi ya, Sayang. Vivi itu anak Ibu. Anak Ibu yang kuat, tegar dan pemberani. Jadi Vivi harus menjadi anak Ibu yang kuat, gak boleh lemah. Vivi harus bisa melawan rasa takut itu." Ibu Via sedikit demi sedikit memberikan ketenangan sekaligus pemahaman kepada Via.
Karena bagaimana pun masalah mental pada diri seseorang itu bukanlah hal yang bisa disepelekan.
"Dengarkan Ibu, itu hanyalah masa lalu kamu dan kamu harus bisa mengikhlaskan setiap perlakuan mereka terhadap Vivi. Ibu yakin Vivi bisa melewati semuanya, Sayang." Lanjutnya, lalu mengecup kening Via dengan sayang.
Via yang mendengar penuturan Ibu nya pun tertegun. Memang benar apa yang baru saja Ibu Via katakan, tak seharusnya dirinya terus-menerus seperti ini.
Via merasa bersalah karena selama ini ia sebagai seorang anak selalu menyusahkan Ibunya, hanya karena trauma yang dialami.
"Ibu, maafin Via. Pasti Ibu sedih gara-gara Via kaya gini ya, Bu."
Ibu Via pun tersenyum, "Ini bukan salah Vivi. Udah, lebih baik kamu tidur lagi ya, Nak. Biar besok kita langsung masak-masak, ya."
Via pun mengangguk tersenyum lalu kembali membaringkan tubuhnya kemudian menutup mata.
Tunggu...
Sebelum menutup matanya seperti biasa Via akan mengucapkan cinta kepada Ibunya. "Ibu, Via cinta ibu."
Ibu Via masih menangis tetapi tetap berusaha untuk tersenyum dihadapannya itu. "Iya Vivi, Ibu juga cinta sama Vivi."
Setelah itu Ibu Via pun menyelimuti Via, kemudian keluar dari kamar Via dengan tangis yang masih tertahan ditenggorokan.
Sungguh tak kuasa ia harus melawan penderitaan yang dialami Via selama bertahun-tahun sendiri.
Ibu Via merasa kesalahannya sebagai orang tua tak bisa menjaga rumah tangganya tetap utuh, merasa apa yang dialami Via adalah akibatnya.
Ibu via sangat merasa bersalah jika mengingat itu semua.
"Maafkan Ibu, Nak. Belum bisa memberikan kamu kebahagiaan yang tetap," ujar Ibu Via dalam hati. Rasa sesak yang sejak tadi ia tahan ditenggorokannya pun kini tidak ia tahan lagi.
Ibu Via kembali menangis untuk kesekian kalinya. Merasa berdosa kepada putrinya sendiri.
Akibat kesulitan tidur, Ibu Via pun menonton TV hingga pukul enam pagi. Melirik jam dinding yang berada didepannya, lebih tepatnya diatas TV yang sudah menunjukkan kearah angka enam.
Kemudian bergegas menuju kamarnya untuk membersihkan diri, baru setelah itu ia akan pergi ke kamar Via, putrinya.
"Iya, sebentar Bu," teriak Via dari dalam kamarnya.
"Vivi udah mandi, Sayang?" Tanya Ibu Via setelah Via membuka pintunya.
Via terkekeh, "Udah dong, Bu."
Ibu Via pun tersenyum melihat Via sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Ia yakin pasti takkan sulit menemukan seseorang yang akan benar-benar bisa menggantikan dirinya suatu saat nanti.
"Yaudah, yu kita masak!"
"Ayo, Bu!" jawab Via begitu antusias, sedangkan Ibu Via geleng-geleng kepala melihatnya.
Saat ini mereka berdua tengah berada dimeja makan. Tentunya dengan beberapa menu masakan yang baru selesai mereka buat.
"Hm... wangi banget masakan kita, Bu. Via jadi laper," ujar Via dengan kekehannya.
Ibu Via hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia teringat dengan rencananya semalam. Mungkin ini saat yang tepat untuk bicara kepada putrinya.
"Vivi," panggil Ibu Via, Via langsung menatapnya dengan tatapan bertanya.
"Iya, Bu. Kenapa?"
Terdiam sejenak untuk menimang-nimang apakah keputusannya ini sudah benar atau belum. Akhirnya Ibu Via pun memutuskan untuk membicarakannya dengan Via saat ini.
"Kamu... mau sekolah lagi?"
Via terkejut mendengar pertanyaan yang baru saja dikatakan Ibunya. Ia langsung menunduk dengan perasaan takut yang menghantuinya.
"Hm... Ibu, Via takut," ujar Via dengan suara yang pelan. Ibu Via menggeleng, bahwa Via pasti bisa melawan rasa takutnya.
Ibu Via tersenyum, "Vivi, kamu sekarang sudah besar. Kamu pasti bisa melawan rasa takutnya. Ibu akan daftarkan kamu di Sekolah Ibu dulu waktu masih muda. Mau, kan?"
Via tampak berpikir sejenak. Sejujurnya ia takut kejadian dimasa lalunya kembali terulang. Tetapi ia juga ingin memiliki banyak teman agar tidak merasa kesepian.
Via tersenyum mengangguk pertanda menyetujuinya.
Ibu Via bernafas lega karena akhirnya Via mau bersekolah kembali. "Terimakasih, Sayang. Bbesok kita pergi ke pasar beli kebutuhan sekolah, oke?"
Via pasti bahagia jika melihat Ibunya sendiri bahagia. Meskipun sejujurnya Via masih sangat trauma akan hal tentang Sekolah.
"Demi Ibu apapun Via akan lakukan. Karena Via sayang Ibu," ujar Via dalam hati sembari menatap Ibunya yang kini tengah menyiapkan sarapan untuknya.
"OKE!" ujar Via ikut senang sembari mengangkat satu jempolnya.
Setelah itu Via menatap masakan yang mereka buat dengan tatapan yang lapar. Wajahnya yang cantik dan lucu membuat siapa saja akan gemas ketika melihatnya.