Happy Reading
Waktu pun terasa begitu cepat berlalu. Tanpa disadari oleh Brian, hari sudah mulai pagi. Dia sedikit terkejut saat mendapati jendela kaca di sampingnya sudah memperlihatkan langit cerah pagi hari sedangkan dirinya sama sekali belum memejamkan mata. Semalam dia hanya terus memandangi istrinya sambil berulang kali menciumi Imelda dengan sangat lembut dalam perasaan penuh cinta. Dia tak ingin wanita di pelukannya itu terbangun karena sedikit gerakan darinya. Brian pun meraih ponsel yang tergeletak di meja sebelah kursi di mana Imelda tertidur di pelukannya. "Siapkan sarapan untukku dan istriku. Segera antar ke atas," ucapnya lirih sambil menempelkan ponsel di telinganya. Dia sengaja berbicara pelan agar wanita di pelukannya tidak terbangun. Tak cukup hanya memandangi wanita cantik di hadapannya, Brian sedikit menurunkan wajahnya dan mencoba untuk mencium sang istri. Baru saja menempelkan bibirnya, Imelda sudah mendorongnya cukup kuat.
"Dasar mesum! Berani-beraninya kamu mencuri kesempatan dalam kesempitan!" teriak Imelda setelah mendorong pria itu hingga terjatuh di bawah kursi. Wanita itu terlihat sangat murka saat Brian diam-diam ingin mencium bibirnya. Entah setan apa yang sudah merasukinya, Imelda benar-benar sangat marah pada suaminya. "Aku tak suka kamu menciumiku tanpa ijin," protesnya sambil menatap tajam pria yang merasa sangat bersalah yang terduduk di lantai ruangan itu.
Brian merasa sangat frustasi atas ucapan istrinya itu. Dia merasa sudah seperti penjahat yang baru saja tertangkap basah. Dengan segenap kekuatan di dalam dirinya, Brian berusaha bangkit dan kembali duduk di sebuah kursi yang dipakainya semalam bersama Imelda. "Maaf. Aku tak tahan melihat bibirmu yang sangat menggoda itu," jawab pria itu tanpa berpikir.
Mendadak Imelda tertawa terbahak-bahak, wanita itu menatap suaminya dengan tatapan aneh. "Kamu bilang ... bibirku menggoda? Jangan membual kamu, Brian! Aku sangat sadar jika diriku ini tak secantik dan sesexy wanita yang biasanya menemaninya itu. Dan satu lagi ... Aku sangat yakin jika aku tak sedang mengandung anakmu, kamu tak mungkin menikahi aku," cerca Imelda dengan banyak ucapan yang semakin menyudutkan pria yang sudah sah menjadi suaminya itu.
"Bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu?" Brian langsung melemparkan sebuah pertanyaan pamungkas pada wanita yang sedang duduk sambil menertawakan dirinya.
Imelda mencoba menahan tawanya lalu memandangi suaminya. Dia merasa sedikit tidak nyaman dengan pertanyaan yang baru saja terucap dari mulut pria di sampingnya. "Ayolah, Brian .... Kamu tahu jika aku sangat mengenal kebiasaanmu itu. Bahkan aku masih sangat yakin jika aku bukan tipe wanita idaman di matamu," terangnya pada sang suami.
"Aku benar-benar mencintaimu, Imelda Mahendra. Bahkan sejak kita masih SMA, aku sudah jatuh cinta padamu. Jangan pernah kamu meragukan perasaanku kepadamu," ucap Brian di dalam sudut hatinya yang terdalam. Pria itu lagi-lagi tak mampu mengatakan perasaannya pada sang istri. Dia merasa tak sanggup dan juga sangat takut dengan respon yang akan ditunjukan oleh Imelda. "Kamu sama sekali tidak mengenalku, Imelda," tegas Brian sambil menatap tajam istrinya.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Brian langsung bangkit dari tempat duduknya dan membukakan pintu untuk orang yang baru saja mengetuk pintu. Terlihat tiga orang pelayan datang membawa beberapa hidangan untuk sarapan tuan dan nyonya rumah. Setelah meletakan makanannya, mereka langsung pergi meninggalkan ruangan itu.
Imelda langsung memandangi pria di ruangan itu dengan tatapan penuh arti. "Kapan kamu menyuruh pelayan untuk memasak semua makanan ini?" tanya wanita yang mendadak sangat lapar melihat berbagai makanan yang terlihat sangat lezat dan menggugah selera.
"Sebelum kamu terbangun aku sudah menyuruh mereka menyiapkan sarapan untuk kita," jawab Brian sambil mengambil nasi dan beberapa sayuran serta makanan lainnya di piring. Pria itu lalu memberikan sepiring penuh makanan itu kepada istrinya. "Makanlah! Jangan sampai anakku kekurangan gizi," ucapnya dengan suara yang terdengar cukup lembut.
Melihat porsi makan yang berada di piring itu, Imelda langsung mengerutkan keningnya. Dia merasa jika suaminya itu terlalu berlebihan. "Aku bukan seekor kambing rakus yang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu," protes wanita itu pada suaminya. Dia pun meletakkan piring itu di atas meja dan mengambil sarapannya sendiri. "Makanlah makanan yang sudah kamu ambilkan, aku akan mengambil sendiri sesuai dengan porsi ku," ucapnya sambil memandang pria yang sedang bersamanya secara sekilas. Imelda mengambil sedikit makanan namun cukup lengkap untuk memberikan asupan nutrisi untuk dirinya dan juga anak dalam kandungannya.
"Apa kamu dan anak kita bisa kenyang hanya dengan sedikit makanan itu?" Brian terus memandangi wanita yang sangat dicintainya itu.
"Jangan berlebihan, Brian. Aku akan memastikan jika anak kita akan sehat dalam di dalam perutku." Imelda langsung menyantap makanan yang baru saja diambilnya. Wanita itu terlihat cukup menikmati sarapannya dan juga hidangan penutup lainnya. Setelah selesai makan, Imelda memandang suaminya penuh arti. Dia masih merasa penasaran dengan sesuatu yang sudah beberapa waktu telah disimpannya. Dengan sangat lembut Imelda membersihkan mulutnya dengan selembar tissue di atas meja lalu menatap tajam sang suami. "Brian. Aku ingin menanyakan sesuatu padamu, kamu boleh untuk tidak menjawabnya jika membuatmu tidak nyaman," cetusnya dengan keraguan yang terlihat jelas di wajahnya.
Brian pun meletakkan sendok di tangannya lalu memandang istrinya. "Katakan saja. Apa yang ingin kamu ketahui tentangku?" balasnya sambil mengambil segelas air putih di atas meja.
Wanita itu merasa berdebar saat akan mengatakan sebuah pertanyaan yang selama ini mengusiknya. Dia pun mencoba untuk menarik nafas dalam-dalam sebelum mengeluarkan sepatah kata. "Di mana Tante Natasya berada? Aku sangat penasaran tentang hal itu ... " tanya Imelda dengan sangat ragu.
"Aku sudah menduga jika kamu akan menanyakan hal ini." Brian tidak terkejut dengan pertanyaan yang diberikan oleh istrinya. Bahkan dia sudah membayangkan jika situasi ini pasti akan terjadi. "Sebenarnya ... aku sendiri tidak tahu keberadaan Mama." Pria itu mencoba mengingat beberapa kenangan yang masih tersimpan di dalam memorinya. "Yang aku ingat ... Mama pergi setelah upacara kematian Tante Irene. Aku mendengar Papa dan Mama ribut besar. Berulangkali Mama menyebutkan nama dari mamamu. Namun sampai sekarang aku masih belum mengerti dengan alasan kepergiannya." Brian langsung terdiam seketika. Dia terlihat sangat bersedih mengingat kejadian di masa lalunya. Masih jelas di ingatannya, ibunya pergi di hari yang sama dengan kematian Irene Mahendra. Berulangkali Brian menanyakan hal itu pada ayahnya. Namun Adi Prayoga tak pernah memberikan jawaban apapun yang berarti. Bahkan pernah sekali Brian mencoba mencari Natasya, ayahnya yang mengetahui hal itu justru marah besar. Sejak saat itu, dia berusaha menahan diri untuk tidak bertanya ataupun mencari keberadaan ibunya.
"Apa sebenarnya hubungan kematian Mama dan kepergian Tante Natasya?" Tanpa sadar Imelda mengeluarkan pertanyaan itu dari mulutnya.