Taman bunga?
Tanpa diperintah kaki Hana melangkah mendekati sebuah taman di samping koridor bangunan utama istana timur. Seusai sarapan di ruang makan yang menurutnya tidak lebih sepi dari sebuah area pemakaman, ia segera kembali ke kamarnya. Tapi saat itu matanya teratuk pada taman dengan bunga berwarna-warni yang bermekaran. Dan tanpa pikir panjang lagi Hana melangkah menuju tempat itu.
Taman yang bisa dikatakan cukup luas dengan bunga berwarna-warni dan juga kupu-kupu yang bertebangan membuat suasana hatinya sedikit membaik. Hana terus tersenyum melihat pemandangan cantik yang tersaji di depan matanya ini. Tidak jauh dari taman itu, ia melihat dua kolam kecil yang terhubung dengan jembatan kecil yang membentuk perempatan jalan.
"Taman ini cantik!" gumamnya pelan.
"Taman ini milik mendiang Ratu Song Hwa. Beliau yang merawat bunga-bunga ini semasa hidup," kata Su Hye membuat Hana mengangguk pelan.
Milik permaisuri ya!
Tentu saja, pemilik tempat secantik dan seindah ini haruslah seseorang yang sangat cantik pula. Ia pernah melihat sosok mendiang Ratu Song Hwa di foto keluarga berukuran besar di ruang keluarga tadi pagi saat ia melintasi ruang itu ketika akan menuju ke ruang makan.
Sosok mendiang Ratu Song Hwa memang membuatnya sedikit iri. Di usia yang sudah tidak muda lagi, beliau memiliki paras cantik yang awet muda, kulit putih yang masih terlihat kencang, tatapan mata yang lembut dan kepintaran yang mengagumkan. Ia pernah mendengar Ratu Song Hwa memiliki otak jenius dan lulusan dari Harvard University dan MIT. Pasti semasa hidupnya banyak wanita yang sangat iri padanya. Sosok yang sangat sempurna, itu yang dilihat Hana. Cantik, pintar, feminin, sopan, dan dari kalangan bangsawan.
"Sedang apa kau di tempat ini?" sebuah suara yang terdengar sinis dan menusuk membuatnya menoleh ke asal suara itu.
Seorang pemuda tampan yang lebih tua darinya menatapnya tajam. Ia tahu siapa pemuda ini.
Putra mahkota Jae Jun.
Pemuda itu berdecak kesal tidak mendapat respon. "Apa selain tidak punya malu, kau juga tuli dan bisu?" meski dengan intonasi yang datar tapi kata-kata pemuda itu bagai pisau yang dilumuri racun. Mematikan.
Hana masih bergeming menatap anak tirinya yang memiliki wajah rupawan serupa ayahnya di masa muda itu. Memang harus diakui, selain tampan dan memiliki tubuh yang proposional, pemuda itu memiliki lidah tajam yang sama seperti sang Raja Sejong.
Jae Jun masih menatap tajam ibu tiri yang lebih muda darinya itu.
"Jangan memandangku dengan tatapan seperti itu, pelacur!"
Hana membelalakan matanya. Ia mencoba mengulangi sebutan yang diberikan pemuda di depannya ini dalam hati.
Apa yang dia katakan tadi? Pe... pelacur?
Hati Hana seketika meradang. Ia tidak pernah semurahan itu hingga harus dipanggil dengan sebutan yang tidak pantas.
"Mengapa kau memanggilku dengan sebutan itu?" Hana mencoba mengontrol emosinya yang hampir meledak. Saat ini ia tergoda untuk mencekik pemuda bermulut tajam ini.
"Lalu aku harus memanggilmu apa? Penghangat ranjang Raja? Atau... patner tidur berharga mahal?"
"Jaga bicaramu, pangeran!" desis Hana.
Jae jun hanya menanggapi dengan senyum miringnya yang mengejek dan menatap pada potongan gaun berleher rendah yang dipakai ibu tirinya ini. Gaun berwarna hitam tanpa lengan dengan potongan leher yang rendah hingga memperlihatkan asetnya yang cukup besar, membuat siapa pun yang melihatnya pasti akan tergoda. Tapi tidak untuknya.
"Dengan pakaian seperti ini, kurasa banyak pria yang juga ingin dihangatkan ranjangnya olehmu."
Hana segera menutupi dadanya dengan kedua tangan. "Aku tidak serendah dan semurahan itu. Dan kuharap kau juga tidak lupa, aku adalah istri sah ayahmu sekarang. Jadi jaga ucapanmu!"
"Istri sah?" Jae Jun mendengus.
"Tapi bagiku kau tidak lebih dari mesin pelepas hasrat ayahku! Selamanya kau tidak akan bisa menggantikan posisi ibuku dengan seorang gadis murahan sepertimu."
Ia sudah tidak dapat mentolerir lagi ucapan pemuda itu. Dengan langkah panjang ia mendekati Jae Jun.
PLAK!!
Dan Hana menghadiahi pemuda itu dengan tamparan yang sangat keras.
Jae Jun menatap gadis di depannya ini tidak percaya. Seorang gadis yang tidak lebih dari simpanan ayahnya berani menamparnya. Besar juga nyalinya, batin Jae Jun panas.
Mereka berdua saling melempar tatapan membunuh satu sama lain tanpa memperdulikan para pelayan di sekitarnya sudah ketakutan karena merasakan aura gelap mencekam yang menyelubungi dua orang itu. Tidak ada yang berani mencoba menginterupsi dua orang yang sedang perang tatapan maut ini.
"Maaf, saya terlambat!"
Seorang pemuda sedang mengatur napasnya yang terengah-engah setelah berlari dari koridor depan. Para pelayan sudah menghela nafas lega, karena untung saja ada seseorang menginterupsi perang mencekam itu. Sekarang terlihat selir raja dan pangeran putra mahkota membuang wajah.
Hana menatap pemuda berambut pirang yang masih mengatur napasnya itu.
"Perkenalkan nama saya Jang Il Woo. Mulai hari ini saya bertugas menjadi bodyguard anda!" pemuda itu memperkenalkan dirinya sembari tersenyum lebar.
Hana hanya mengangguk menanggapi perkenalan diri pemuda itu.
Il Woo berganti menatap Jae Jun dengan bingung. "Yang Mulia, apa yang anda lakukan di sini? Bukankah anda harus menemani Yang Mulia Raja Sejong untuk menghadiri rapat direksi?"
"Aku hanya mengambil beberapa dokumen yang tertinggal," setelah mengucapkan itu Jae Jun meninggalkan tempat itu dalam diam.
Il Woo tahu, baru saja terjadi sesuatu antara majikan barunya ini dengan putra mahkota. Pipi kanan Jae Jun yang memerah tidak luput dari pandangannya tapi ia tidak dapat mengatakan apa yang ada di pikirannya.
Menatap selir baru di depannya ini membuat Il Woo tersenyum. "Jika ada sesuatu yang anda butuhkan, katakan saja pada saya."
"Terima kasih!" ucap Hana tulus.
Ini baru awal, ia tahu keberadaannya di tempat ini membuat banyak orang yang akan membencinya. Tapi semua ini Hana lakukan demi 'orang itu'. Demi keselamatan 'orang itu'.
***
Malam itu, setelah makan malam yang tentunya dilakukan seorang diri lagi, Hana harus mendengar sesuatu yang begitu menyayat hatinya. Perbincangan antar pelayan di dapur istana membuat perasaan Hana sangat terusik. Niat awalnya hanya ingin bertemu dengan kepala koki istana, untuk mengganti menu makanannya dengan masakan Indonesia. Menurut Hana,hidangan ala Korea ternyata tidak sesuai dengan lidahnya.
"Aku mendengar Pangeran dan Selir baru Raja bertengkar di taman bunga tadi pagi," seorang pelayan mulai mengatakan kejadian tadi pagi pada dua pelayan lain.
"Benarkah?" tanya seorang pelayan yang sedang memotong daging.
"Iya, bahkan pangeran menyebutnya wanita murahan, penghangat ranjang raja dan..." pelayan itu sedikit berbisik. "... pelacur."
Seorang pelayan yang sedang mengaduk sebuah adonan memasang wajah kasihan.
"Kasihan sekali ya! Tapi aku bisa mengerti, pangeran sangat sayang kepada ibunya."
"Benar, tapi tetap saja aku kasihan dengan selir baru itu. Di usianya yang masih muda harus menikah dengan raja karena menjamin hidup seseorang."
"Maksudmu... seseorang penjaga taman yang katanya meracuni mendiang Ratu?" tebak pelayan yang sudah menghentikan kegiatannya memotong daging.
Pelayan itu mengangguk. "Tapi ada yang mengatakan, 'dia' juga menyabotase mobil pangeran Jae Hyuk hingga membuat pangeran meninggal di tempat."
"Tapi mengapa aku mendengar kalau pangeran Jae Hyuk tewas karena mabuk saat menyetir dan terjadi kecelakaan itu?"
"Entahlah, tapi ada juga yang mengatakan kalau ini masih berkaitan dengan kasus 22 tahun lalu."
"Memangnya apa yang terjadi 22 tahun lalu?"
"Itu... sebenarnya..."
"Apa yang kalian lakukan? Kalian dibayar untuk bekerja bukan untuk menggosip. Apa kalian mengerti?" sebuah suara wanita tua menginterupsi kegiatan tiga pelayan itu. Wanita tua yang tidak lain adalah kepala pelayan, Min Byul.
"Mengerti, Sesepuh!"
Hana mengurungkan niatnya dan segera beranjak dari tempat itu. Ia pun segera kembali ke kamarnya.
Il Woo yang sedari tadi hanya menatap Hana dalam diam merasa kasihan dengan gadis yang menjadi majikannya ini. Gadis itu terlihat sangat rapuh dan tertekan.
Desas-desus yang beredar tentang gadis ini menjadi pembicaraan yang hangat sejak kedatangan gadis ini 3 hari lalu di istana.
Hana berjalan perlahan dengan sedikit terhuyung. Ia masih belum percaya dengan tuduhan yang dikatakan para pelayan tadi pada orang yang disayanginya.
Kakak... katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Apa maksud tuduhan mereka?
Selama ini, ia hanya tahu kalau kakaknya dituduh melakukan pembunuhan pada seseorang, tapi belum ada bukti pasti tentang itu. Karena masalah itu pula ia ikut terseret dalam masalah ini.
Il Woo mencoba memegangi tubuh majikannya yang berkali-kali hampir tersungkur ke lantai dan menabrak apa pun yang berada di depannya.
Sesampainya di kamar miliknya, Hana terkejut dengan seseorang yang sudah duduk di tempat tidurnya. Raja Sejong sudah menunggunya di sana.
"Masuklah! Jangan berdiri di depan pintu seperti itu."
Suara Sejong terdengar sangat dalam, seperti sedang menahan amarah. Hana terus menunduk tidak berani menatap suaminya itu. Mendengar suaranya saja sudah membuat Hana merinding ketakutan.
Sejong pun mengalihkan matanya pada Il Woo. "Dan Il Woo, bisa kah kau lepaskan tanganmu dari istriku?"
"Maaf, Yang Mulia!" dengan cepat Il Woo melepaskan tangannya dari tubuh selir sang raja.
"Hana, masuklah!"
Dengan langkah berat, Hana melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Entah mengapa ketika memasuki kamar ini, kejadian kemarin malam berputar ulang di otaknya. Dan pintu di belakangnya pun tertutup.
"A-apa... yang anda lakukan di kamar saya?" tanya Hana dengan takut-takut.
"Semua tempat dan apa pun di istana ini adalah milikku," jawab Sejong sambil melepaskan dasi yang sedari tadi pagi mencekik lehernya.
"Tapi... bisakah anda memberi saya sedikit privasi?"
Sekarang pria itu melepaskan dua kancing kemejanya, membuat Hana segera menundukkan kepalanya untuk menyamarkan rona merah di wajahnya karena melihat pemandangan yang cukup berbahaya ini. Meskipun pria di depannya ini berusia lebih dari setengah abad tapi jangan lupakan kalau pria ini adalah pria yang sama dengan orang yang mengambil keperawanannya kemarin malam.
"Kau bahkan tidak memiliki hak apa pun untuk meminta sesuatu padaku. Membiarkan kakakmu tetap hidup dan keluargamu tidak ikut terseret dalam masalah ini, sudah termasuk kemurahan hatiku," Sejong menghiraukan Hana yang terus menundukkan kepalanya itu, seolah tidak ingin menatapnya. "Ingatlah, apa yang membuatmu terseret sampai ke tempat ini!"
"Kakak saya tidak bersalah! Anda bahkan belum menemukan bukti kalau kakak saya tersangka di sini," ucap Hana setengah menjerit.
Cukup sudah, ia sudah sangat kenyang dengan hinaan yang diterimanya. Sebelumnya dari pangeran Jae Jun dan sekarang giliran ayahnya. Mereka berdua memang ayah dan anak yang mirip.
"Membunuhnya bahkan tanpa alasan pun, aku berhak."
Hana menyipitkan matanya. "Apa maksud anda?"
Sejong diam. Ia hampir saja membuka sebuah rahasia yang disembunyikan rapat-rapat dari gadis ini.
Hana tiba-tiba teringat percakapan tiga pelayan tadi. "Katakan pada saya, siapa korban dalam kasus yang anda tuduhkan pada kakak saya?"
"Segeralah tidur, besok pagi kau harus ikut dalam rapat dewan!" Sejong mencoba mengalihkan pembicaraan. Hatinya selalu sakit jika membahas tentang topik ini.
"Yang Mulia..."
"Aku pergi dulu!"
Sejong segera meninggalkan ruangan itu sebelum keadaan menjadi lebih rumit.
Apa maksudnya? Sebenarnya apa yang terjadi?