-
Bintang menuruni tangga, setelah sampai di anak tangga terakhir, ia menolehkan wajahnya kearah dapur. Di sana ada Ayah yang sedang menyantap sarapannya seorang diri, laki-laki tua itu sudah rapi dengan setelan kantor yang biasa ia pakai.
"Bintang.." Ayah memanggil Bintang, ada dua pikiran yang saling berlawanan di kepalanya. Pertama Ego, dan yang kedua rasa rindu. namun opsi pertama selalu menang, ia lebih bertahta di dalam kepalanya.
"Aku pamit" ucap Bintang sebelum Ayah melanjutkan kalimatnya, wajah itu terlihat datar dan dingin di mata Ayah.
"Bintang, Roti bakarnya belum kamu makan!.." Ayah mengeraskan suaranya karena Bintang sudah menghilang. Ayah tahu usahanya sia-sia.
Ayah hanya menghela nafas, seharusnya ia tidak kecewa dengan hal seperti ini, seharusnya ia merasa biasa saja. Bukankah hari lalu juga ia mendapatkan perlakuan sama dari putrinya sendiri? Tapi entah mengapa pagi ini hatinya sedikit lebih nyeri.
Lelaki tua itu menatap piring di seberang meja, seperti biasa ia akan teronggok utuh. Ia kira suatu saat piring itu akan terjamah juga. Namun hingga sampai saat ini, semuanya tetap sama seperti kemarin.
-
Bintang hanya gadis remaja biasa, ia tidak suka ramai, ke sekolah hanya memakai seragam seadanya, tidak pernah menggunakan hiasan kepala, tidak pernah berdandan belebihan. Karena ia tidak suka menjadi pusat perhatian. Ia lebih suka menjadi orang yang biasa saja atau bahkan mungkin lebih baik jika tidak terlihat sama sekai.
Pagi itu masih sepi, seperti biasa Bintang berjalan di koridor dengan santai. Ia suka sepi, karena dengan sepi berarti ia berada di dunia yang sebenarnya. Ia suka sepi karena ia berkawan denganya.
"Bintang.." sebuah suara cempreng memanggil namanya, dan ia sangat familiar dengan pemilik suara itu.
Bintang membalikkan badannya, matanya menangkap sosok perempuan bertubuh kecil menghampiri dengan senyuman yang begitu lebar.
"Lo kenapa si?.." Tanya bintang dengan ekspresi datar seperti biasa, ia kemudian kembali berjalan meninggalkan perempuan itu yang lalu mengejar dan mensejajarkan langkahnya dengan Bintang.
"Yaampun Bintang. Harusnya gue yang nanya ke Lo, lo tuh ya gak bisa apa ramah dikit sama orang"
"Sabrina, lo udah 6 tahun temenan sama gue. Dan lo belum paham juga."
Perempuan yang di panggil Sabrina itu mengerucutkan bibirnya, ia harusnya tidak berkata seperti itu pada Bintang. Meskipun Sabrina tahu sahabatnya itu tidak akan marah sedikitpun.
"iyadeh iya maaf. Lagian itu muka nyebelin banget. Orang mah senyum kek, apa kek gitu."
Bintang tidak peduli, ia lebih memilih tidak mendengarkan Sabrina dan masuk ke kelas. Sabrina memang mulutnya tidak pernah di filter, ia selalu mengucapakan apa yang ada di kepalanya, dan bintang tidak masalah akan hal itu.
-
"Bi, kemaren gue ke toko buku. Gue nemu buku The Blood Hood yang lo pengen itu."
Sabrina menarik kursi di samping Bintang dan duduk disana. Ia menopang dagu sambil memerhatikan wajah Bintang yang menurutnya sangat cantik dan enak di pandang. Hanya saja Bintang tidak pernah mau menjadi sorotan, menurutnya akan lebih baik jika semesta tidak tahu jika ia ada di dunia ini.
"terus?" Tanya Bintang yang sedang mengeluarkan sebuah buku tebal dari dalam tas ranselnya.
Sabrina mengerutkan dahi, Yaallah, untung dia temen gue. Kalo bukan udah gue maki-maki dari tadi.
"misi ah, gue mau ke taman belakang."
Sabrina berdiri dan memberikan jalan untuk Bintang. Baru beberapa langkah dan belum kakinya sampai ke ambang pintu, ada sebuah benda keras yang menubruk bahu bintang hingga perempuan itu meringis karena tulang bahunya ngilu. Badannya tersungkur dan Novel yang tadi ia pegang juga ikut terbanting tak jauh darinya. Beberapa detik kemudian, perempuan itu merasakan sesuatu yang dingin di bagian perutnya.
Sebuah cairang kuning ternyata sudah mengiasi baju seragam Bintang, perempuan itu geram bukan main.
"sialan" gerutu bintang dalam hati. Dengan cepat ia berdiri dan mendongakkan kepala untuk melihat siapa gerangan yang berani mempermalukannya seperti ini. Untung saja belum terlalu banyak teman sekelasnya yang datang. Tapi tetap saja, Bintang tetap tidak bisa mengampuni tersangka Karena sudah membuatnya terlihat konyol. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Sabrina langsung menghampiri Bintang dengan wajah cemas, sahabatnya itu langsung berlari mengambil tisu di dalam tas ranselnya kemudian mengusap-usap baju seragam Bintang yang kena es jeruk.
"Yaampun Bintang, Lo gak apa-apa?" mendengar pertanyaan Sabrina, Bintang hanya menoleh sekilas dan langsung menatap seorang tersangka yang masih saja berdiri tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun.
"Maksud lo apa hah?!" bintang langsung meneriaki lelaki itu, tangan kanannya masih memegang es jeruk yang sudah sisa setengah.
"jawab dong! Laki kan lo?" Bintang makin menaikan nada suaranya, ia menatap mata hitam pekat itu dengan tajam dan penuh intimidasi.
"Sorry saya gak sengaja"
"lo bilang gak sengaja?" ucap Bintang tak percaya, nada suaranya memelan namun terdengar dingin dan menyeramkan. Orang-orang yang ada di kelas langsung terdiam. Karena mereka tahu, jika mereka bersuara maka urusannya akan lebih panjang.
Dengan gerakan cepat Bintang mengambil Gelas es jeruk dari tangan lelaki itu, dan sepersekian detik terlewat cairan kuning dan lengket itu sudah mengguyur baju seragam lelaki di hadapannya.
"maaf, gue juga gak sengaja" kalimat itu meluncur dengan lancar dari mulut Bintang, ia menarik sudut kanan bibirnya karena merasa puas. Apa lagi melihat ekspresi lelaki di hadapannya yang begitu terkejut.
Sabrina melongo, ia melihat kejadian itu setengah tak percaya, matanya membulat karena ia tak menyangka Bintang akan berbuat sejauh itu.
"oh shit.." umpatnya, ia menarik nafas sebal lalu menatap bintang tepat di manik matanya. Bukannya takut, perempuan itu malah menatap lebih tajam dan menantang. Perlahan ia melangkah maju, mempersempit jarak antara mereka. namun bukan Bintang namanya jiak ia terpengaruhi. Lelaki itu kemudia membisikkan sesuatu di telinga Bintang.
"kamu berurusan sama saya sekarang." Ucapnya , namun tetap saja tidak berefek sama sekali. Bintang cukup ahli untuk mengabaikan sesuatu.
"gue gak peduli.." jawab Bintang sambil berjalan pergi yang di susul oleh Sabrina di belakangnya.
Lelaki itu tersenyum melihat punggung kecil Bintang yang kemudian hilang di balik pintu kelas.
"Arya, lo gak apa-apa?" Tanya seorang pria jangkung menghampiri lelaki yang di panggil Arya.
"gak apa-apa bro."
"yaudah yuk cabut, udah gak penasaran lagi kan lo?"
Lelaki yang di panggil Arya itu tertawa kecil dan menepuk bahu kawannya kemudian mengangguk mengiyakan.
"Bentar.." mata Arya tertuju pada sebuah Novel yang tergeletak di lantai, bagian tengahnya terbuka dan ada beberapa halaman yang terpisah dari jilidnya. Lelaki itu ingat jika ini adalah Novel milik perempuan tadi. Tangan Arya meraih Novel itu kemudian membaca barisan judulnya. Arya seketika tersenyum geli.
"yaudah yuk, urusan gue udah selesai"
-