Diego yang masih merasakan atmosfer cintanya pun tesenyum-senyum gak jelas, ketika keluar dari mobil. Seolah, akan melakukan yang kedua kalinya.
Pria itu memasuki rumah seorang konglomerat. Arsitektur out dor-nya saja bercorak eropa. Yang menandakan, rumah ini dibangun dengan biaya yang cukup menguras saldo.
Diego berjalan santai menyusuri ruang utama yang megah. Banyak dekorasi yang berasal dari eropa. Mulai dari lukisan, vas bunga, dan parabotan yang jarang sekali ditemui di negeri merah putih. Dan Diego merasa biasa saja dengan pemandangan itu semua. Malahan ia melihat seorang pria yang sedang murung di sofa ruang utama.
"Salut ! Milo." Diego menyapa pria itu. Dan duduk di sebelahnya.
"Hai, Kak." Jawab Milo—tidak berenergi.
"Adik kesayangan kakak kenapa dah? Pagi-pagi udah murung aja. Ada masalah?" tanya Diego. Lalu dia mengelus-elus kasar—punggung Milo.
"My girlfriend. Dia hilang selepas pesta topeng semalam." Milo mulai mencurahkan perasaannnya pada Diego. Memang, bagi Milo, kakaknya itu sangat baik. Setiap hari selalu memberikan solusi untuknya, kala masalah datang kepadanya. Makanya, sekarang ia ingin CURHAT pada kakaknya.
"Hilang? Kok bisa?" Diego sedikit kaget dengan berita hangat ini. "
Dan dia juga mengingat-ingat perkataan Nisa malam tadi. Kalau dirinya dianggap sebagai Milo. Memang sih, Diego dan Milo memiliki kesamaan. Iris mata hitam keabuan, rambut dark brown, dan wajah yang tampan tentunnya.
Tapi, apakah mungkin Nisa itu pacarnya Milo. Batin Diego.
Karena ia juga belum mengenal wajah pacar Milo selama ini, sebab dirinya terlalu disibuk dengan pekerjaannya, enam bulan terakhir ini. Dan Milo, kalau bercerita, menggunakan nama Salsa. Makanya Diego tahunya Milo pacaran dengan yang namanya Salsa, bukan Nisa.
"Aku juga gak tahu kak. Pokoknya, semalam itu, Salsa aku suruh ke mobil duluan, karena aku mau ke toilet dulu. Tapi, pas aku balik ke mobil, Salsa enggak ada. Gimana dong?"
Milo menghembuskan napasnya sejenak. Tampak raut wajahnya yang gelisah dan ketakutan.
"Dan bahkan. Om Deni menghungiku sejak pagi buta. Kalau Salsa belum pulang. Aku khawatir Salsa kenapa-napa, Kak. Dan aku juga khawatir, kalau Om Deni tidak mengiziniku pergi dengan Salsa lagi," beber Milo kemudian.
Diego tertegun setelah mendengar penuturan dari kronologi masalah Milo saat ini. Dia juga berusaha berpikir keras untuk mencari jalan keluar, supaya adiknya bisa menjalin cintanya.
"Kak!"
Diego terpejat dalam lamunannya. Lalu dia kembali fokus menatap adiknya yang gundah kelana. "Kau tenang saja. Salsa mungkin saja 'kan pulang bersama temannya malam tadi. Dan dia menginap di rumah temannya itu. Mungkin ia ponselnya low, makanya gak ngegubungi kamu dan orangtuanya. Dan untuk Om Deni, kamu tenang saja. Orang tua itu pasti hanya membutuhkan kejelasan perkara yang terjadi semalam. Kau harus kuat dan siap mental saja. Supaya nanti pada saat menjelaskan tandas, dan tidak belibet kronologinya."
"Tapi kak. Aku-"
"Percaya dirilah. Yakin. Kakak yakin, kalau kamu bisa melewati permalahan ini. Masa, usia sudah mau menginjak 25 tahun masih belum bisa menyelesaikan masalah."
Milo menelan salivanya. Dia membenarkan apa yang dikatakan kakaknya.
"Dan satu lagi. Kalau cinta sudah jodoh. Pasti akan kembali, tidak ada yang mampu menghalangi." Diego menaikkan salah satu alis tebalnya, menunggu reaksi Milo.
"Jikalau Salsa itu jodoh kamu, dia akan kembali dan tidak ada satu partikel pun yang mampu menghalangi kalian bersatu. Karena Tuhan ingin melihat hamba-Nya bahagia. Paham?" tambah Diego. Karena tadi ia tidak menerima reaksi dari Milo.
"Benarkah itu?" tanya Milo penuh harap. karena ia memang sangat mencintai pacarnya. Dan tidak rela juga kalau pacarnya itu beralih pelukan orang lain.
Alih-alih menjawab, Diego hanya tersenyum lebar.
Lalu kedua bertos ala laki-laki. Dan keduanya berjalan menuju ruang makan, karena ini sudah masuk jam sarapan mereka.
Di sela-sela langkah mereka menuju ruang makan. Milo bercerita dengan tandas, kalau dirinya semalam mengantarkan Indri ke rumahnya. karena perempuan itu sempat menangis di pelataran parkir, tepat di samping mobilnya.
"Benarkah itu?"
Milo mengangguk mantap. "Iya, dia menangis histeris gitu, tepat di samping mobilku."
Diego pun tertegun, dan berencana untuk meminta maaf atas kesalahan semalam. Sebab, hari ini juga, dirinya tidak masuk kantor. Jadi, masih ada waktu untuk jalan bersama.
Sesampainya di ruang makan, mereka melihat mama Riana—baru saja selesai menyiapkan sarapan pagi. Roti panggang, roti lapis, dan buah-buahan pun sudah tertata rapi di atas meja.
"Bonjour, Ma!" sapa Diego dengan santai. Lalu dia duduk di atas kursi, meraih sepotong apel yang sudah dikupas oleh Riana tadi.
"Pagi kesayangan Mama semua." Riana menaruh bubur ayam sebagai makanan berat. Lalu perempuan itu kembali ke dapur untuk mengambil makanan yang lainnya.
"Ma! Papa belum turun?" tanya Milo. Lalu pria itu mengunyah roti panggang. Keriuk-keriuk pun terdengar di mulutnya.
"Oh ya. Nanti Papa akan turun kok. Karena hari ini, ada pengumuman penting dari Papa, untuk kalian berdua." Sahut Riana sambil membawa wadah yang berisikan nasi.
"Ma! Memang hari ini ada kegiatan apa? Bukannya kita jarang makan nasi di pagi ya?" protes Diego yang melihat sebongkah nasi.
"Tidak, ini buat anak-anak jalanan. Nanti mama dan teman-teman mama akan melakukan kegiatan sosial." Riana menaruh wadah nasi, dan tampak nasi itu masih menguap panas. "Kalian makan seperi biasa aja, jangan pedulikan kegiatan mama yang super sibuk ini."
Diego dan Milo pun mengangguk, memahami mamanya yang beringat kelelahan. Lalu mereka melanjutkan untuk sarapan pagi. Sambil menunggu papa mereka.
Lima belas menit kemudian, seusai sarapan. Seorang pria berpakaian santai pun menghampiri Diego dan Milo. Dengan celana pendek, serta kaos oblong, pria itu duduk di atas kursi.
"Pagi Pa." Sapa Diego dan Milo. Barengan.
"Pagi juga. Sudah sarapan?" tanya Papa Nick yang sedang meraih potongan buah Melon.
"Sudah, Pa." Jawab Diego. Sementara Milo fokus dengan meminum susunya.
"Baguslah. Oh ya, kau semalam ke mana?" tanya Papa Nick pada Diego. Karena memang, hanya pria itulah yang tidak pulang selepas menjemput pacarnya.
"Ke rumah Filan, Pa. Main dengan Dennis juga." Sahut Diego dengan santai. Meski debaran jantungnya tidak karuan, karena ia telah berbohong pada papanya sendiri.
"Yakin? Tadi pagi papa hubungi orangtua Filan loh." Nick tersenyum miring. Dia memang tahu kalau anaknya sedang berbohong sekarang. Dan biar bagaimanapun, orang tua yang peduli tahu dan hafal betul dengan gerak-gerik anaknya. Termasuk yang dirasakan oleh Papa Nick.
"Tapi hanya sebentar pa."
"Terus setelah itu ke mana?"
Diego menelan salivanya, ia kaget dengan potongan kata serta gentakkan papanya. "Ke rumah kakek. Aku tidur di sana."
Milo yang tidak mau ikut campur, hanya bisa diam dan menikmati potongan buah segar yang sudah disiapkan sedari tadi.
"Papa kira ke hotel, dan bermain wanita di sana," ucap sekaligus cibir Papa Nick pada Diego.
"Tidak mungkin aku menyewa kamar hotel hanya untuk itu, Pa." Diego semakin gusar. Dia bingung harus membawa ketegangan ini ke mana lagi.
"Ya, bisa saja 'kan. Papa hanya mengira loh, bukan benar-benar mendesak kamu. Kenapa kamu tampak ketakutan?" kedua bola mata Papa Nick memicing.
Diego mendesah, dan berusaha untuk tampak tenang di hadapan Papa Nick. Karena biar bagaimanapun, ia tidak mau kejadian semalam diketahui oleh papanya.
"Tidak kok. Itu mungkin perasaan papa saja. Aku tidak takut." Kata Diego dengan lugas, lalu dia menegakkan bahunya. Meski perasaannya bergemuruh malu karena sudah berbohong.
"Ya sudah. Nanti selepas papa sarapan." Papa Nick menjada kata. Melahap sesendok bubur. "Tapi di sini saja, karena papa mau membantu mama kalian." Papa Nick kembali melahap sesendok bubur. Dia sedikit mengunyah, sambil menunggu reaksi dari kedua anaknya.
Dan yang didapatkan oleh Papa Nick hanyalah wajah Diego yang berusaha menenangkan diri, dan wajah Milo yang masih mencerna potongan buah apel.
"Meski penting, tapi papa enggak mau formal. Karena ini weekend, jadi dibawa enjoy saja."
Diego dan Milo pun mengangguk. Menyetujui.
Papa Nick meleberkan senyum pada wajahnya yang sudah berkerutan. Dengan khidmat, ia memakan semangkuk bubur.
Sepuluh menit kemudian. Papa Nick mengelap bibirnya dengan tissue. Membersihkan sisa makanan yang menempel pada mulut dan jari-jari tangannya. Lalu kembali fokus kepada kedua anaknya.
"Jadi, kalian tahu 'kan kalau papa kalian ini akan memasuki usia istirahat."
"Pa, jangan bilang gitu," sela Milo. Yang merinding ketika mendengar penuturan Papa Nick.
Sementara Diego malah melamun. Pikirannya melayang besas.
Papa Nick terkekeh, sekaligus senang. Karena kedua anaknya memang menyayanginya. Dia juga bangga, bisa mendidik anak-anaknya yang memiliki rasa peduli yang tinggi. Minimal kepada orang tuanya sendiri.
"Ya papa harus bilang apa? Sudah! Jangan dibahas. Pokoknya gini, papa 'kan hendak berhenti menjadi Founder sekaligus CEO di Lander Crop's. Nah, yang menggangtikan papa pastinya kalian?"
Milo dan Diego mengangguk, memahami apa yang disampaikan papanya.
"Pasti itu. Karena kalian juga bekerja di sana. Tapi, ada satu syarat jika kalian hendak mendapatkan jabatan itu."
Diego tercekat setelah mendegar syarat. Karena dia memang suka dengan tantangan seperti ini, apalagi tanding dengan adikknya sendiri.
"Nikah!" ujar Papa Nick, nada bicaranya naik seraya menekan. Ada dua maksud di dalam perkataannya itu.
"Nikah?" tanya Diego kaget. Dia tidak menyangka kalau syaratnya adalah nikah.
"Ya! Nikah. Kalian sudah masuk usia matang untuk nikah. Jangan terlalu ditunda juga. Pemikiran kalian juga, papa yakin sudah matang. Jadi, apa lagi yang harus kalian tunggu?"
Milo di sini hanya tertegun. Ia bingung dengan hal itu. Ingin. Ingin sekali ia mendapatkan salah satu jabatan itu, tapi, bagaimana caranya. Karena ia dan Nisa telah sepakat untuk tidak terburu-buru dalam pernikahan. Jadi, mau tidak mau, Milo harus membujuk Nisa. Dengan perlahan, namun pasti.
Sementara Diego, dia malah belum siap untuk menikahi pacarnya itu. Karena ada suatu hal yang mengganjal. Bisa dibilang kurang cocok dengannya. Dan malah, Diego tertarik untuk menikahi Nisa. Perempuan yang ditidurinya tadi malam. Karena malam tadi, Diego merasakan debaran jantung yang tak biasa. Dan ia asumsikan, kalau cintanya ada pada Nisa.
Suasana menjadi hening setelah pengungkapan Papa Nick pada kedua anaknya. Hanya ada cuit-cuit burung yang beterbangan di sekitar taman. Karena memang, ruang makan itu dekat dengan taman rumah.
"Jadi gimana? Kalian sanggup? Ya meski Milo baru beberapa bulan kerja di tempat papa. Tapi peforma kamu bagus Mil. Dan kamu juga Diego, papa yakin kamu bisa membawa nama baik Larden Crop's. Sudah ya? Itu saja yang ingin papa sampaikan."
Papa Nick menjeda, sekalian menunggu reaksi kedua anaknya.
"Sudah? Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kalian boleh keluar hari ini. Dan papa tunggu kesiapan kalian nikah. Dan ingat, bawa calon kalian ke papa, sebelum membawa papa ke besan. Okay?"
Diego dan Milo pun mengangguk, menyetujui. Yang berarti, dia sanggup dengan apa yang tugas yang diberikan oleh Papa Nick.
To Be Continue