Dalam seminggu ini, Yatori tidak bisa tidur dengan tenang.
Ia terus teringat akan perkataan ibunya. Beberapa hari yang lalu, kedua orang tuanya sepakat akan mengadopsi anak teman ayahnya yang selama ini tinggal di panti asuhan.
Ia sama sekali tidak pernah menyangka akan hal ini.
Yatori adalah anak tunggal yang kesepian. Usianya sudah 18 tahun. Ia sering ditinggal di rumah hanya bersama asisten rumah tangganya sejak masih SD.
Alasan pekerjaan menjadi hal biasa yang selalu didengarnya tiap kali minta penjelasan. Selain itu, ibunya juga punya masalah kehamilan, bahkan sudah dua kali keguguran karena rahimnya yang lemah.
Yatori sudah lama menginginkan seorang saudara perempuan.
Dirinya selalu membayangkan punya adik bertampang loli yang imut. Ia selalu berangan-angan ketika adiknya kelak akan memanggilnya dengan sebutan kakak dengan nada suara yang manis.
Dan berkat itu, ia tidak bisa mengalihkan pikirannya dari sana. Pikirannya terbang kemana-mana, terlebih saat ia tau kalau usia calon saudara barunya sekitar 12 tahun. Memikirkannya saja bisa membuatnya mimisan.
Sekarang dalam masa libur panjang setelah kenaikan kelas. Dengan ini, ia sudah resmi jadi siswa kelas 3 SMA. Baginya, punya teman saja tidak cukup.
Mungkin ia bisa bicara dengan banyak orang ketika berada di luar. Namun, bagaimana jika ia ada di rumah? Tentu saja ia hanya sendirian dan tak mungkin mengajak asisten rumahnya mengobrol sepanjang hari.
Dan dalam beberapa waktu ini ia merasa sebuah keajaiban bahwa kedua orang tuanya ada di rumah dalam waktu yang lama. Sudah sebulan tidak melancong kemana-mana.
"Kapan ibu akan menjemputnya?" Yatori sedang tidur-tiduran di depan TV sembari bermalas-malasan menegur ibunya, lantas memulai percakapan.
Bagi Yatori, hari libur berarti hari libur. Maksudnya, ia tidak akan melakukan apa pun sepanjang hari. Hanya bermalas-malasan setiap saat, sepanjang waktu.
"Yato, kamu ingin segera bertemu dengannya? Jarang sekali kamu peduli dengan hal-hal seperti ini," goda sang ibu yang sedang berjalan mondar-mandir mencari sesuatu.
"Tidak, aku hanya berpikir betapa merepotkannya ia nanti," elaknya untuk menyembunyikan perasaannya yang sedang tidak sabaran itu.
Ia akan segera punya saudara baru yang lebih muda darinya. Dan itu berarti, ia akan jadi seorang kakak. Ya, seorang kakak sungguhan.
"Tenang saja, kamu tak akan rugi. Ibu jamin kalau dia sangat manis. Lihat saja nanti," tawa sang ibu sambil berlalu.
Yatori hanya menghembuskan napas pelan, melanjutkan acara malas-malasannya.
Setengah jam kemudian, ia diajak pergi ke panti asuhan oleh ibunya.
"Aku tidak jadi pergi, ibu dan ayah saja yang pergi," ucapnya masih dalam posisi tidur-tiduran di depan TV.
"Jangan begitu, ayolah... ibu tau kalau kau akan senang melihatnya. Ayo," paksa sang ibu.
Ia kembali mendengus, tapi tetap menurut. Dengan langkah gontai, ia bangkit dari posisi nyamannya dan segera ikut bersama kedua orang tuanya.
"Kenapa ayah dan ibu tiba-tiba ingin mengadopsinya? Lalu mana teman ayah itu? Kenapa anaknya ada di panti?" tanya Yatori beruntun ketika mereka berada di tengah jalan.
"Kalau bertanya satu-satu," balas ayahnya yang sedang menyetir mobil.
"Hahh...." Ia menghela napas.
"Kau seperti kakek tua saja, jangan bernapas seperti itu. Kau masih muda," balas ayahnya tanpa menoleh, masih fokus pada kemudinya.
Yatori mengalihkan pandangannya ke luar jendela karena tak mendapat jawaban atas pertanyaannya dan juga karena malas mendengar komentar ayahnya.
****
"Oh, tuan dan nyonya yang kemarin?" Seorang wanita bertubuh agak gemuk membuka pintu begitu mereka sampai di tujuan. Suara anak-anak terdengar dari dalam ruangan.
"Ah, iya. Kami ingin menjemputnya sekarang," jawab ibunya Yatori.
"Silakan masuk dulu," ucap si wanita gemuk sembari berjalan tergopoh-gopoh.
Mereka dipersilakan duduk di ruang tamu yang berdekatan dengan area bermain anak-anak yang heboh.
Dan dari sana, Yatori bisa melihat kerumunan anak-anak yang tertawa dan bersenang-senang. Ia bahkan bisa melihat beberapa anak perempuan manis yang ia terka akan menjadi saudara tirinya nanti. Ia tersenyum-senyum sendiri membayangkannya.
Beberapa menit kemudian, si wanita gemuk kembali bersama seseorang. Anak lelaki kecil berjalan di belakangnya dengan malu-malu, menundukan kepala tanpa senyuman. Tubuhnya kecil, kulitnya pucat dan bermata hitam dengan tatapan seperti ikan.
"Ryu, kemarilah. Kita akan pulang," ucap ibu Yatori begitu melihat anak lelaki kecil itu datang.
Yatori yang sejak tadi asyik memperhatikan anak-anak kecil bermain langsung membelalak tak percaya.
"Tunggu, dia laki-laki?" tanyanya pada sang ibu.
Ibunya tersenyum, " Ya, apa ibu belum bilang sama kamu?" lanjutnya sembari mendekati anak lelaki yang dipanggil Ryu tadi.
Yatori menepuk jidatnya sendiri, lantas menghembuskan napas perlahan. Hilang sudah impiannya untuk punya adik perempuan berpenampilan loli.