"Ngi, tamu nya udah datang. Ayo." Ucap Ibu dari balik pintu yang terbuka.
Gue refleks menempelkan jari telunjuk ke bibir, memberi isyarat supaya ibu tidak bicara terlalu keras karena Bita baru saja tertidur. Gue menaruh beberapa bantal dan guling di pinggir tubuh kecil Bita yang tertidur lelap itu, takut-takut dia terjatuh. Setelah itu turun untuk menemui tamu Ibu dan Ayah, lalu yang gue nanti-nanti adalah waktu makan bersama. Karena kini perut gua sudah tidak bisa di ajak toleransi.
•••
Gue menuruni anak tangga, suara percakapan di ruang tamu terdengar sampai ke telinga gue. Mengintip sedikit dari balik dinding adalah ide paling konyol yang gue lakukan, karena jelas-jelas langsung ketahuan. Sebenarnya, gue ke bawah cuma mau cari ponsel doang karena lupa naro terus balik lagi deh ke kamar nemenin Bita gembul bobok. Soal perut gue yang lapar mah bodo amat kan gue juga ada sedia camilan di kamar nanti makanan berat nya tinggal delivery aja daripada harus terjebak obrolan membosankan di tengah makan bersama nanti atau di ruang tamu sekarang ini.
"Ngi, kamu ngapain disitu. Sini!" Titah Ibu. Haduuu ini kenapa ibu malah sengaja manggil gue segala sih.
Gue berjalan dengan perasaan canggung, mana penampilan gue nggak terlalu rapi untuk menyambut tamu lagi, jangan lupakan rambut gue juga cuma di cepol ngasal biar nggak gerah dan rambutnya nggak ke gerai kemana-mana doang. Fix, lebih mirip pembantu daripada tuan rumah.
Ibu mengusap punggung gue pelan, dan gue langsung menyalami wanita dan pria paruh baya terlihat seumuran ayah dan ibu sembari tersenyum formalitas yang lebih cocok disebut ringisan, kalau mereka sadar sih. Tapi kayak nya nggak deh. Di samping keduanya ada satu laki-laki, dia pakai atasan kaus polo yang dibalut jaket bawahan nya levis panjang tapi nggak skinny, meski nggak formal tetap sopan lah. Dia menatap ke arah gue, dan gue pun begitu. pandangan kami sama-sama bertemu, namun sepersekian detik langsung gue putus karena pandangan gue terarah lagi pada wanita dan pria paruh baya yang tersenyum lembut ke arah gue.
"Cantik ya, Jeng. Anak mu memang bibit unggul semua."
gue tersenyum masam, iya itu memang terdengar sekali memuji tapi bagi gue? Mana ada punya tubuh semungil gue di bilang bibit unggul?
gue sebisa mungkin mengatur ekspresi wajah, biar tetap terlihat sopan. Nggak mungkin kan gue memutar bola mata malas atau sambil julid di depan orang tua? Bisa-bisa gue di depak dari rumah kalau ketahuan ayah dan ibu
"Anak mu juga tuh, rupawan semua, yang satu nya nggak ikut?" Tanya Ibu. Kami duduk di ruang tamu bersama tamu ibu juga.
"Masih di luar negri, betah dan semangat dia melanjutkan studi nya. Tapi nanti menjelang hari-H juga dia pulang." Jelas teman Ibu
"Bagaimana perusahaan mu? Mengalami peningkatan kan, khususnya di bagian saham." Tanya ayah, gue hanya mendengarkan obrolan mereka. Berusaha memahami namun tetap saja otak bebal ini tidak juga mau mengerti.
Yang gue tau adalah, mereka ini- maksud gue yang gue sebut tamu ibu adalah keluarga Pramatya dengan bermacam bisnis yang tersebar dimana-mana seperti benih tanaman. Mereka membuka cabang usaha dimana-mana dan di berbagai macam bidang. Ada bidang properti, peternakan, makanan, bahkan ke ranah fashion pun ada. Gue terlalu takjub saat ibu menceritakan nya semalam tadi. Kini gue tidak heran bahwa yang ayah dan Pak Pram bicarakan adalah persoalan saham. Gue pernah di jelaskan sedikit mengenai hal tersebut oleh Bang Intang dan sempat mencari tahu nya sendiri lewat google dan membaca buku referensi tentang saham, tidak heran kalau bentuk kediaman keluarga Pramatya seperti istana karena mereka berani memainkan saham dan mendapatkan banyak keuntungan.
Gue benar-benar mulai bosan dan merasa sangat lapar. Bete banget sih asli, ponsel gue juga belum ketemu lagi. Lupa banget naro dimana, gue melirik ke arah Bang Intang yang berada di dekat Kak Gita. Bang Intang mengisyaratkan gue untuk tetap menampilkan senyum dengan jari jempol dan telunjuknya yang di gunakan untuk menarik ke dua sudut bibirnya. Sumpah, receh banget. Bukan cuma senyum yang ada gue malah pengen ketawa ngakak banget. Dasar Bang Intang!
Gue memutar otak, mencari cara untuk dapat melarikan diri dari ruang tamu yang terasa memuakkan ini dan satu ide brillian muncul di otak cerdas gue.
"Permisi, Bu. Angi mau ke belakang, udah di ujung. hehe." Gue bicara dengan sedikit malu-malu sembari meringis, Ibu mengangguk dan membiarkan gue ke toilet. Yes! berhasil.
Gue berlari kecil ke dapur dan ngambil beberapa minuman kaleng, dan membawa nya naik ke atas dengan langkah sepelan mungkin supaya nggak kedengaran ibu ataupun ayah. Gue menutup pintu kamar dan mengunci nya. Bita masih tetap pada posisi nya, bayi gembul itu masih tertidur pulas. Gue duduk di karpet beledu abu sembari menyandarkan punggung di pinggiran ranjang, membuka bungkus ciki yang baru aja gue ambil dari laci meja belajar. Ia laci paling bawah meja belajar gue itu isi nya camilan semua karena gue suka nyemil.
Asyik mengunyah suapan pertama, gue teringat ponsel yang tadi lupa naruh nya dimana. Gue mendengus kesal sembari menggerutu sebal, kenapa sampai lupa nyari sih gue kan mau streaming. Mager kalau harus buka laptop, akhirnya gue lebih memilih menyalakan televisi dengan volume kecil supaya tidak mengganggu tidur nya Bita. Gue memilih merewatch film Black Panther dari hardisk yang tersambung ke TV berukuran 42 inch itu. Puluhan kali, gue mengulang nonton film Black Panther karena secinta itu sama king T'challa.
Film mulai, gue beneran larut menonton sambil menyuapkan snack ke dalam mulut. Gue cukup kaget, waktu lima bungkus ciki berukuran besar nggak kerasa sudah ludes masuk perut menyisakan bungkus nya saja. Ini pasti faktor gue kelaparan. Tepat credits akhir film berjalan, Bita mulai merasa risih dalam tidurnya. Dia mengusak kepala dan pipi nya dengan mata tepejam, lucu sekali. Bibir nya sudah mengeluarkan rengekan khas bayi yang baru terbangun tidurnya.
"Cup, sayang. Ini Kak Angi disini kok, yuk gendong yuk." Beo gue, sembari mencari gendongan bayi tipe samping yang terdapat di dekat kursi lalu mengaitkan nya ke bahu gue.
"Cup sayang, sini nak. Anak baik, senyum yaa. Ketawa nya gimana, ketawa." Bujuk gue, sambil mempuk-puk pantat gembul nya yang di lapisi popok.
"Ciluk, bha. Bita nya Kak Angi, whaa" Canda gue dan sukses membuat Bita berhenti menangis meskipun hanya sebentar dan dia kembali merengek nangis.
Gue mengayunkan Bita dalam gendongan dan membawanya berjalan ke arah balkon, tangis nya memelan meski belum reda sepenuhnya. Kayak nya Bita mau ke Kak Gita deh, tapi kan di bawah masih ada tamu. Bisa ke gap gue kalau sengaja kabur ke kamar, gimana coba kalau ibu sama ayah ngeh dan merasa gue memang menghindar dari tamu pasti di cap nggak sopan dan di kasih wejangan sampai tujuh turunan lamanya. Huaaa, gue nggak mau.
"Bita sayang, udahan ya nangis nya ya anak baik. Kak Angi punya mainan, yuk kita main yuk." Gue kembali masuk ke kamar dengan Bita setia dalam gendongan gue, setelah ngambil bola yang bisa menyala kerlap-kerlip gue mendudukkan Bita di karpet dan bertepatan dengan itu dia malah nangis kejer.
Gue menghela nafas pelan.
"Mau ke Mama beneran ya, sayang. Yuk kita ke bawah, ke Mama Gita. Jangan nangis lagi ya, berhenti dulu cup cup." Bujuk gue, mengusap sayang kepala nya yang di tumbuhi rambut halus lalu membawa Bita kembali ke dalam gendongan gue. Masa bodoh soal Ayah sama Ibu atau Bang Intang yang pasti bakalan kompor soal kaburnya gue ke kamar. Bita bisa gue jadikan sebagai alasan, maafin Kak Angi ya sayang- gumam gue lalu mencium dahi nya.
Langkah gue terhenti di hadapan seorang lelaki tepat di depan pintu kamar gue sendiri, bukan nya dia anak Pak Pram yang tadi ya. Kenapa bisa naik ke atas, ini kan area privasi nya keluarga gue. Khusus nya privasi gue sama Kak Ulan karena kami penghuni lantai dua. Dia menatap gue cukup lama, begitu pun gue. Kami sama-sama tersentak saat suara tangis Bita kembali mengudara
"Ini ponsel kamu." Gue mengernyit bingung, tapi langsung menyambar ponsel itu dari tangan nya.
"Kok lo sampai naik ke lantai dua, ngapain?" Selidik gue.
"Kurang nyaman kalau kita mengobrol dengan bayi yang terus menangis dalam gendongan kamu itu." Ucap dia, gue tersadar dan dengan cepat menuruni anak tangga. Samar-samar gue dengar dia bilang "jangan cepat-cepat, awas jatuh" tapi tidak gue hiraukan.
Apa sih dia, segala bilang kurang nyaman berbicara dengan Bita yang terus menangis. Kalau nggak mau jawab ya sudah, tinggal diam aja. Lagian juga gue ngapain sih nanya begitu, udah tau mukanya datar gitu ya pasti orangnya cuek. Gue berjalan sambil menghentakkan kaki, saking kesalnya.
Lenggang, di ruang tamu tidak ada siapa-siapa dan pasti Ibu, Ayah dan tamu mereka ada di ruang makan. Gue berjalan ke ruang makan dengan wajah di tekuk karena bete dan disambut Kak Gita yang mengambil alih Bita dari dalam gendongan gue.
"Haus ya, Ngi bita nya atau kenapa?" Tanya Kak Gita.
"Dia tadi Angi kasih susu, terus bobok sebentar waktu bangun nangis gitu. padahal udah Angi kasih mainan." Jelas gue. Kak Gita mengangguk.
"Nggak kenapa-napa kan, Kak?" Tanya gue khawatir.
Kak Gita tersenyum menenangkan, "Nggak papa kok, Ngi. Bita memang suka begitu, makasih ya sudah di jagain."
"Nggak usah makasih Kak, Angi senang ko sama Bita." Jujur gue. Karena memang benar, semenyebalkan apapun Bita, gue tetap tidak merasa terbebani bersama dia.
Gue duduk bergabung di meja makan, tepat di sebelah Ibu. Gue baru sadar, ternyata semenjak kedatangan gue dan obrolan bersama Kak Gita tadi cukup menarik perhatian semua orang yang ada di ruang tamu termasuk lelaki tadi yang sudah duduk manis di seberang gue sembari menatap gue seperti tadi.
"Ulan sudah besar ya, dia juga terlihat menyukai anak kecil. Jadi ingin cepat-cepat gendong cucu." Ujar Bu Pram, dengan wajah sumringah nya.
Hah? Ulan? Ini dia beneran mengira gue Kak Ulan? Terus apa tadi? Gendong cucu? Siapapun tolong jelasin ke gue, ini maksud nya apa sih? Dari tadi atau semenjak Ibu bilang keluarga Pramatya mau kesini gue nggak pernah tahu alasan dibalik itu semua. Kalau emang mau ketemu Kak Ulan, terus kenapa tadi kakak sompral gue itu malah cabut mau kongkow sama teman-teman nya?
"Ulan ayu sekali ya, tubuhnya mungil tapi nggak mengurangi kadar ayu nya. Jeng. saya senang sekali lihat nya." Ujar Bu Pram dengan wajah sumringah tak luput dari rasa antusias. Ibu cuma tersenyum kecil.
"Maaf bu, Aku bukan Kak Ulan. Aku Pelangi, adiknya Kak Bulan." Jelas ku, menyela Ibu yang sudah membuka mulut nya berancang untuk bicara.
"Oh, nduk kamu pelangi, toh. Maaf ya, ibu nggak tahu. Dulu terakhir lihat, kamu masih bayi."
gue mengangguk sambil senyum gajelas, menanggapi perminta maafan Bu Pram. Jadi ini mau ngapain sebenarnya? Gue curiga banget, nggak mungkin kan bahas bisnis sampai sekeluarga gini harus terlibat. Gue menunduk, memainkan ponsel. Berusaha menghubungi Kak Ulan via chatting.
To : Kak Bulan
Kak, ini ada apaan sih. Pasti ada yang lo sembunyiin kan, kenapa lo malah kabur pas ada tamu ibu? Dan Ini tamu ibu mengira gue adalah lo. Berarti jelas ya, mereka ada urusan nya sama lo.
Send.
"Aw!" Gue meringis cukup kencang, lalu menutup mulut dengan wajah merah padam karena malu.
gue melirik ke arah Ibu yang memelototi gue sehabis mencubit kecil paha gue. Bibirnya komat-kamit yang dapat gua artikan "Jangan main ponsel." Gue mengangguk sembari mencebik kesal, Bang Intang jelas sekali sedang menyembunyikan tawa nya dengan menutup mulut dengan tangan sebelah kanannya. Awas lo ya, Bang! Habis ini gue cubit abis-abisan.
"Ada apa, Pelangi?" Tanya Pak Pram, gue cuma meringis malu.
"Mm, anu, itu tadi kepentok kursi kaki nya. Maaf." Ucap gue.
Perbincangan berlanjut dan gue belum menemukan jawaban atas apa yang di rencanakan ayah sama ibu dengan keluarga Pramatya. Sialan nya Kak Ulan belum juga membalas pesan gue meski sudah membaca nya. Kak Gita dan Bang Intang sudah hengkang, pamit ke kamar nya. Katanya mau beres-beres karena sore nanti mereka mau pulang lagi ke rumah nya, mereka memang sering menginap setiap weekend. Ibu dan Bu Pram ke dapur dengan alasan membereskan bekas makan, dan ayah juga Pak Pram beralih ke ruang kerja ayah beralasan ada hal sangat penting dan rahasia yang harus dibahas soal pekerjaan.
Di sinilah gue, dalam keheningan ruang makan bersama lelaki yang tidak gue kenali. Tidak ada yang mau memulai percakapan, baik gue ataupun dia, kami sama-sama diam. Gue masih tenggelam bersama banyak pertanyaan yang berputar dalam kepala, masih juga menunggu pesan balasan dari Kak Ulan.
"Sebenarnya..."
lelaki itu menjeda ucapan nya saat mendengar dering pesan masuk dari ponsel gue dan satu pesan balasan dari Kak Ulan adalah suatu hal yang membuat gue merasa di jerat tali dalam tumpukan jerami. Tercekat. Tidak menyangka dan kehilangan kata-kata.