Satu kata untukmu,
HEBAT!
***
1. PROLOG
Mendapatkan Wildan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Shalsa akui itu. Sudah dua bulan ia terus mengejar cowok yang menyandang jabatan sebagai seniornya.
Cowok itu sedingin es kutub utara. Tapi, mendapatkan berbagai pujian dari beberapa murid. Ketika masih betah mendengarkan ocehan serta teriakan Shalsa setiap hari.
"KAK WILDAN!!!"
Sama seperti kemarin. Shalsa berjalan ke kelas dua belas IPS empat untuk menemui Wildan. Berteriak karena melihat Wildan keluar dari kelas, berjalan di lorong yang akan membawanya ke kantin.
"Tungguin!!" Shalsa melangkahkan kakinya untuk mengejar Wildan yang sudah jauh di depan sana. "Nah, dapet."
Betapa bahagianya Shalsa ketika berhasil meraih tangan milik Wildan. Membuat cowok itu tanpa berpikir panjang langsung menepis tangan yang bersarang di lengannya.
"Sekarang apa?!" Sedikit terdengar seperti bentakan, tapi tidak sama sekali membuat Shalsa diam. Malah cewek itu cengengesan di depannya.
"Mau ke kantin, ya? Barengan, yuk?" Shalsa masih setia memasang senyumnya. Sedangkan Wildan mengusap wajah gusar, menarik rambut frustasi.
"Gue mau ngomong." Wildan menarik tangan Shalsa. Menjauh dari kawasan kelasnya. Ia tidak suka diperhatikan apalagi kalau bersama cewek barbar kaya Shalsa.
*****
"Shalsa ada, gak?" Angga berdiri di samping jendela kelas sebelas IPA enam. Mencari Shalsa dan berniat untuk mengajaknya makan di kantin.
"Tadi udah keluar, Kak. Mau ke kantin katanya." Murid perempuan itu masuk setelah menjawab pertanyaan. Meninggalkan Angga yang sekarang merogoh sakunya. Mencari benda pipih dan mencari kontak Shalsa.
"Kak Angga!"
"Astagfirullah." Angga mengusap dadanya pelan. Kaget dengan kehadiran gadis manis yang kini berada di depannya. Tertawa kecil karena rencananya berhasil membuat cowok tersebut terlonjak kaget di tempatnya.
"Cari Shalsa, ya, Kak?" Dara tahu sifat seniornya ini. Untuk apalagi Angga ke kelasnya jika tidak mencari Shalsa. Cewek yang sudah di anggap adik oleh Angga sendiri.
"Iya. Tapi, katanya udah ke kantin."
"Halah. Dusta itu mah.." Dara mulai berbicara. "Pasti dia ke kelasnya si es kutub."
Angga menaikkan satu alisnya. Bingung. Siapa si es kutub ini? "Siapa itu, Ra?"
"Shalsa gak pernah cerita?!" Dara jadi histeris sendiri. Kaget ketika respon Angga malah bertanya padanya. "Serius gak tau?"
Angga menggeleng. "Nggak."
"Es kutub itu- Shalsa!" Dara tidak melanjutkan kalimatnya. Matanya lebih dulu menangkap sosok sahabatnya yang berjalan dengan lemas ke arah kelas.
Angga berbalik. Matanya juga menangkap gadis itu. Tidak ada teriakan dari mulut mungil tersebut. Wajahnya kini murung. Bahkan matanya sembab. Apakah Shalsa baru saja menangis?
"Sa! Lo kenapa?!" Dara tentu khawatir. Keadaan temannya itu bisa dibilang langka. Tidak ada yang pernah melihat raut wajah itu. Dara bergerak mengusap punggung Shalsa.
"Gue mau masuk. Kalau mau ke kantin, gue titip." Tidak ada semangat. Suaranya lemas. Dan berhasil menimbulkan jutaan pertanyaan di hati Angga.
"Dek." Angga berusaha memanggil cewek itu. Mengajaknya ke kantin mungkin bisa membuat gadis itu membaik. "Ke kantin, yuk?"
Shalsa tersenyum lalu menggeleng. "Kak. Pulang sekolah bisa ngobrol bentar, gak?"
"Kenapa bukan sekarang?"
"Kode tuh, Kak," celetuk Dara. Tersenyum jahil pada Shalsa. Membuat Shalsa menatapnya sinis.
"Bentar aja, Kak. Pulang sekolah." Beralih menatap ke Angga. Dijawab anggukan oleh cowok yang menyandang sebagai ketua OSIS itu.
"Lo sangar banget, Sa. Bilang aja lo mau ajak Kak Angga nge-date kan?" Dara menyenggol Shalsa. Membuat gadis itu tersenyum dan langsung meninggalkan kedua orang yang sekarang tertawa.
Ralat. Angga tidak tertawa seperti Dara. Ia tersenyum. Bagai ada seseuatu yang membahagiakan hatinya. Apa Shalsa baper? Apa gadis itu malu padanya karena godaan Dara?
"Yeeee, senyum-senyum sendiri. Seneng, kan?" Beralih menggoda cowok tampan milik sekolahnya. Cowok kebanggan seluruh guru dan juga murid.
"Gue duluan ya, Ra. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam." Dara melihat Angga pergi dari hadapannya. Mengukir senyum jahil sekali lagi. "Kak Angga! Dapat salam dari Shalsa tuh!"
*****
Jam pulang telah berbunyi. Jam yang menjadi alarm surga bagi para murid. Yang paling ditunggu. Yang membuat hati berbunga-bunga.
Hanya butuh lima belas menit, sekolah di landa kesepian. Hanya ada angin lewat, suara pohon yang bergoyang karena arus angin. Begitu sepi tapi menenangkan.
Shalsa pun hanya terdiam di tempatnya. Ia menjatuhkan kepalanya di atas meja. Matanya tertuju pada lapangan. Menampakkan sepasang insan yang tengah tertawa bahagia.
"Gue mau ngomong. Lo jauhin gue, Sa."
Shalsa memejamkan matanya. Ia kembali teringat ketika jam istirahat tadi. Ketika Wildan mengajaknya di lorong sekolah. Bagaikan mimpi buruk yang memaksa Shalsa agar segera terbangun.
Shalsa tertegun di tempatnya. Wildan yang duduk di samping Shalsa hanya menatap ke sepatu hitam yang ia kenakan.
"Kak Wildan mau ngomong apa?" Shalsa tampak serius. Tapi, wajah serius itu ia sertakan dengan senyuman. Agar keadaan tegang menjadi santai.
"Lo jauhin gue, Sa." Terdengar helaan nafas. Wildan bingung harus mengatakannya bagaimana. Setidaknya tidak sampai menyakiti gadis itu.
"Kenapa, Kak?" Kedua alis Shalsa tertaut. Bingung dengan maksud perkataan Wildan. Bagaimana mungkin ia menjauh semudah itu? Apa Wildan mengira menjauh itu semudah yang ia katakan? Mengubah perasaan semudah menekan on off?
"Cewek gue entar cemburu, Sa."
Darah Shalsa berdesir hebat. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia salah dengar. "Cewek?"
"Iya." Wildan menjawab dengan enteng. Walau hatinya sangat berat mengatakannya. Tapi, ia menyembunyikannya dengan menampakkan raut wajah dinginnya.
"Kenapa bisa? Maksudku, sejak kapan?" Mata Shalsa mulai terasa panas. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya pun mulai dingin.
"Baru beberapa hari."
"Kenapa bisa, Kak?"
"Gue emang gak ada rasa sama lo sejak dulu, Sa."
Shalsa terdiam. Sekali kedip kemungkinan besar air matanya akan turun. Tapi mau bagaimana lagi, Shalsa lemah. Ia tidak kuat menerima kenyataan itu. "Selamat."
"Terima kasih." Wildan tidak bisa berlama-lama di samping Shalsa. Bisa saja ia merasa tidak enak.
Jawaban yang berhasil membuat Shalsa sesak. Seharusnya Wildan peka akan ucapan selamat yang diucapkan Shalsa. Begitu bercampur dengan rasa cemburu.
Antara pura-pura peka atau memang Wildan tidak peka sama sekali. Shalsa tidak peduli. Ia sudah terlanjur sakit akan perkataan Wildan padanya.
"Gue duluan, Sa."
Shalsa mengangguk. Tidak mengangkat kepalanya hanya untuk melihat Wildan pergi. Dan juga tidak mau menampakkan wajahnya yang mulai kacau.
"Hati-hati." Tidak ada jawaban. Hanya ada suara langkah kaki yang sebentar lagi akan menghilang karena sudah jauh.
Di tengah sepinya lorong, Shalsa menangis dalam diam. Suaranya pun tidak bakal kedengaran sampai lorong depan. Tempat ini bagai tertelan karena jarang digunakan sebagai tempat lewatnya para murid.
"Sa?" Angga mengusap lembut rambut gadis itu. Hatinya ikut sesak ketika hanya mendengar suara isak tangis kesendirian Shalsa.
"Astagfirullah." Shalsa mengangkat kepalanya. Mengusap dengan cepat air matanya. "Maaf, Kak."
"Udah. Gak papa." Angga duduk di bangku yang berada di depan bangku tempat Shalsa duduk. "Kenapa nangis, Dek?"
Hati Shalsa luluh. Sumpah. Suara berat milik Angga yang memanggilnya adek seperti merasakan dirinya spesial. Walau Shalsa tahu jika Angga memanggil semua adik kelasnya seperti itu. Atau nama untuk membuat suasana tidak canggung.
"Bicara di sini aja ya, Kak. Aku capek banget." Shalsa memasang wajah memelas. Niatnya mengajak Angga ke cafe jadi terhambat karena kemalasannya untuk bergerak dari tempatnya.
Angga tentu mengangguk. Menyetujui dengan senang hati ucapan cewek itu.
"Gini toh, Kak." Shalsa memulai ceritanya. Menceritakannya dari awal. Bahkan air matanya mengalir karena kembali dilanda rasa sesak.
Tanpa sadar, Shalsa sudah menyakiti hati cowok tampan, ramah, dan sebaik Angga. Tapi, sesakit hati bagaimanapun Angga ia akan punya waktu untuk mengatakan pendapatnya.
"Menurut Kakak, Wildan tuh gimana?" Sudah tidak ada lagi kata Kak sebelum nama Wildan. Shalsa sudah lupa bagaimana menghormati cowok itu. "Sakit banget, Kak."
Angga mengangguk. "Sakitnya kaya pas tau kamu suka ama Wildan."
"Hah?" Shalsa seperti orang linglung. Apa ia tidak salah dengar? Apa itu sebuah kode?
"Gak papa."
"Kak Angga suka aku?" Shalsa menunjuk dirinya. Ia tidak mau salah paham. Shalsa harus meluruskan hal ini. Takut jika ia melanjutkan ceritanya dan benar jika Angga suka padanya, maka cowok itu akan sakit hati.
"Emm.." Angga malah diam. Antara malu atau tidak berani.
"Jawab Kak." Shalsa mendesak cowok itu. Semakin penasaran. Lupa dengan sakit hatinya. Ia dilanda kebingungan karena seniornya ini.
Angga memejamkan matanya. Mengumpulkan keberanian untuk mengucapkannya. "Menurut kamu selama ini aku gimana?"
Canggung. Shalsa tidak bisa menjawab. Keadaannya memaksa agar Shalsa diam. Sempat berpikir bagaimana kelakuan Angga kepadanya.
"Gak tau." Shalsa malah menggeleng. Ia tidak suka basa-basi. Ia ingin langsung. Angga membuatnya greget, membuatnya penasaran setengah mati.
"Iya." Angga menjawab dengan yakin. Berhasil membuat Shalsa kaget. Terkejut akan jawaban yang tidak pernah ia kira.
"Kakak hebat."
*****
"SHALSA! BUKA PINTUNYA!"
Shalsa sedang cari ribut dengan kakaknya. Ia ketahuan mengambil paket internetan Rizal di kamar cowok itu.
Dengan cepat ia berlari, menaiki tangga. Bahkan membanting pintu dan menguncinya. Sekarang pintunya di gedor-gedor oleh Rizal. Cowok itu mengamuk.
"Kasian knop pintu gue. Sabar, ya." Shalsa mengelus dengan pelan pegangan pintu miliknya. Menatap prihatin pegangan yang sepertinya sebentar lagi aka copot dari tempatnya.
"SHALSA! KEMBALIIN KOUTA KAKAK!"
"KOUTA GUE HABIS, KAK!"
"MAKANYA BELI, SHALSA!"
"KAKAK GAK MAU BELIIN TADI! MAKANYA GUE AMBIL KOUTA KAKAK!"
"KOK NYALAHIN KAKAK SIH, SA?!"
"EMANG KAKAK SALAH!"
"JANGAN BERUSAHA JADI KORBAN, SHALSA!"
"KALIAN BERDUA!"
Lebih besar dari suara toa milik Rizal dan Shalsa. Suara berat, tegas, dengan nada marah itu berhasil membuat keduanya terdiam.
"Ribut-ribut di malam gini buat apaan?! Bikin malu aja." Radit berdiri dengan tegas di depan Rizal. "Keluar kamu, Shalsa!"
Pintu terbuka. Menampakkan Shalsa yang kini berdiri dengan kepala tertunduk di depan Ayahnya. Kemudian melirik ke arah Rizal.
"Sekarang jelasin. Kenapa kalian teriak-teriak?" Tentu Radit menuntut. Masalah tidak akan selesai jika ia tidak ikut campur di masalah kedua anaknya itu.
"Shalsa ambil kouta Rizal, Yah." Rizal mengadu. Tersenyum penuh kemenangan kepada adiknya.
Sialan lo, Kak. Shalsa mengepalkam tangannya kuat-kuat. Sorot matanya menandakan jika ia ingin memakan Rizal hidup-hidup. Karena geram, Shalsa malah menginjak kaki Rizal. Membuat sang pemilik kaki besar itu memekik.
"Kak Rizal, Yah. Shalsa gak mungkin keluar malam-malam untuk beli kouta. Lagian Kak Rizal juga mau keluar, bisa beli kouta nanti."
Radit memijit keningnya. "Kan bisa besok, Shalsa, beli koutanya."
"Oh, tidak bisa Yahhhh. Shalsa butuh kouta setiap detik."
"Punya pacar nih, Yah." Rizal mulai curiga. Shalsa tidak mungkin butuh kouta itu sekarang. Lagian kalau kouta adiknya habis, malahan hanya baca wattpad atau nimbrung di kamarnya.
"Yeee enak aja. Shalsa belum punya pacar kali."
"Tapi gebetan ada, kan?"
Shalsa mendekat. Membisik di telinga kakaknya. "Tentu."
Keduanya tertawa. Membuat Radit melipat tangan di depan dada, menunggu kedua anaknya itu berhenti bercanda kala ia di tengah keadaan serius.
"Belajar dulu. Pacaran nanti." Radit memberi saran. Ia tidak mau pendidikan anak-anaknya terganggu karena hubungan yang tidak jelas.
"Kak Rizal, Yah. Katanya mau nikah," celetuk Shalsa. Dirinya terkekeh ketika melihat raut wajah Rizal yang kaget karena ucapannya.
"Rizal!"
"Siap, Yah!" Rizal berdiri tegap. Rahangnya mengeras. Tangannya bergerak memberi hormat.
"Laki itu?"
"Yang menghindari pacaran! Langsung mendekati ta'aruf!"
"Pintar. Kapan kamu mau nikah?" Radit ikut menggoda anak tertuanya. Dirinya tertawa ketika wajah anaknya itu menatap sinis ke arahnya.
"Gak ada yang mau sama Kak Rizal, Yah." Shalsa berucap. Membuat keduanya menatap gadis pemilik mata coklat itu.
"Kenapa, Shalsa? Kakak kamu ini ganteng, loh."
"Soalnya, KAK RIZALNYA GAK ROMANTIS!"
BRUKK.
Rizal kejedot pintu. Shalsa memang adik sialan. Mengatainya di depan Radit lagi. Jiwa laki-lakinya merasa diinjak-injak.
Sedangkan Radit tertawa lalu pergi. Meninggalkan kedua anaknya. Masalah sudah selesai. Ia tidak mau ikut campur tentang privasi anaknya.
"SHALSA! BUKA PINTUNYA!"
"DARI TADI BUKA PINTU MULU! BUKA HATINYA KAPAN, KAK?!"
"BUCIN TEROSSS!"
"IRI BILANG BOSSSS!"
*****
Kak Angga
Assalamualaikum
Wa'alaikumsalam
Hai
Hai, Kak
Ngapain?
Kerja sayang
Shalsa bersemu di tempatnya. Kakinya mengambang di udara, menendang-nendang tidak tentu arah.
Shalsa baper.
Udah makan?
Udah
Kamu?
Belum
Kenapa?
Gak mood aja
Udah ya?
Aku mau kerja
Iya, Kak
Semangat!
Makasih
Oke
Assalamu'alaikum
Wa'alaikumsalam
Shalsa melihat jam di ponselnya. Sudah jam setengah sepuluh. Semua tugasnya sudah selesai. Kalau nimbrung di grup chat, ia lagi tidak mood.
Maka kerjaannya sekarang adalah melihat status WhatsApp orang-orang.
Matanya terasa panas ketika melihat status Wildan. Mau gimana lagi, ia lelah menangis. Tapi, air matanya tidak bisa berhenti keluar.
Sakit hatinya tentu masih ada. Mengingat bagaimana perjuangannya. Tapi, ia tidak bisa marah. Menyesal pun rasanya berguna.
Dara cantik bagai Jisoo BP
Wah..... parah si es kutub
Masa iya lo ditikung
Siapa yang tikung?
Tentu Shalsa bingung. Padahal status WhatsApp Wildan hanya sebuah pegangan tangan. Tentu tangannya dengan ceweknya.
Lo belum tau?
Masa, sih?
Gue gak percaya
Serius, Ra.
Gue gak tau
Emang siapa?
Lo belum liat status semua orang?
Udah. Kan Wildan yang terakhir
Parah sihhhhhhh
Berarti dia private nomor lo
Emangnya siapa sih, Ra?
Lo bikin gue penasaran aja.
Gak usah deh
Besok lo juga bakal tau
Dah
Tidur nyenyak, Mak
Woi!!
Dara!!
Yuuuhuuuu
DARA!!
Shalsa mengusap wajah frustasi. Penasaran setengah mati. Siapa yang menikungnya?
Apakah orang terdekatnya?