Aku berdiri di balkon bertemakan awan itu. Di sana banyak sekali aksesoris berbentuk awan. Aku menghirup udara sore ini dengan tenang. Aku suka kesunyian. Terlebih lagi di saat sedang sendirian.
Aku benci senja. Dia tenggelam bersama kenangan dulu. Dia tenggelam bersamaan dengan dirinya yang aku sayang. Dulu aku memang menyukai senja. Tapi takdir mengubahnya.
"Senja itu indah. Aku sangat menyukai senja."
Kira-kira begitu ucapnya. Hingga sekarangpun ucapnya masih terngiang di kepala. Sekali lagi aku membuang nafas kasar.
"Bagi para penikmatnya, senja itu baik. Walaupun hari ini dia pergi, besok akan kembali meski warnanya tak sama lagi."
Kalau begitu aku bertanya padamu. Bisakah kamu seperti senja? Yang pergi untuk kembali meski cahya nya tak sama lagi.
"Aku harap kita tidak seperti pelangi yang datang sesaaat lalu pergi tak kembali. Aku hanya ingin kita berdua bisa bersama dan saling mencinta sehidup semati."
Aku juga berharap sama. Aku ingin kita bersama. Tertawa kembali mengingat betapa konyol nya kita. Tertawa kembali mengingat betapa absurd nya kita.
"Tapi tidak semua orang seperti senja yang datang untuk kembali. Ada yang harus pergi dan tak kembali hingga nanti."
Semoga ucapanmu kala itu tidak menjadi kenyataan. Karena jika menjadi kenyataan maka aku tidak akan segan-segan mencarimu hingga ujung dunia.
"Ada yang harus kembali ke pelukan ilahi. Jika suatu saat nanti aku mati, percayalah aku masih ada di hati."
Tentu saja. Kamu memang akan selalu di hati. Aku mencintaimu sehidup semati.
"Tak perlu khawatir. Kita masih bisa bertemu di alam mimpi meskipun nanti saat kamu kembali ke dunia nyata, aku tak ada lagi di sisi."
Mengapa? Mengapa kamu menyiksaku seperti ini? Apa kesalahanku sefatal itu? Apa luka di hatimu sedalam itu?
Bisakah aku meminta maaf secara langsung? Bisakah aku bertemu denganmu? Memeluk dan Merengkuh dalam waktu lama?
Tolong ajari aku cara mengikhlaskan semuanya. Di sini, di bawah senja, aku masih mengingat dirimu. Aku tak akan pernah bisa mengikhlaskan dirimu, Candy ku.