08.00
Di ruangan bernuansa serba putih ada dua orang insan yang sedang dilanda kebingungan. Pasalnya Ferdi harus ke kampus sekitar jam 9 pagian. Namun dia tidak tega bila harus meninggalkan Dias seorang Diri.
Harusnya Deli sudah tiba sejak 20 menit yang lalu untuk menggantikan posisi Ferdi. Siapa sangka Deli akan mendapatkan kendala Izin dari amih.
" Kalo misalnya 30 menit lagi Deli belum dateng AA pergi aja gapapa. Lagian disini jugakan banyak perawatnya " Dias mulai tidak enak
" Udah gapapa, masih lama ko ke jam 9 nya " padahal di dalam hatinya sudah ketar ketir takut terkena hukuman.
Sedangkan Bima? Bima sudah pulang lebih dulu pada pukul 06.00 karena tidak membawa seragam dan peralatan sekolah lainnya. Alhasil dia harus ke rumah terlebih dulu sebelum ke sekolah.
" AA ga akan man- mandi dulu? " pertanyaan yang sejak tadi ingin Dias tanyakan, namun dia sangat malu.
" Oh iya ya belum mandi, astagfirullah " Ferdi langsung berlari ke kamar mandi hingga melupakan bajunya di dalam tas. Untung beberapa detik kemudian dia menyadarinya dan keluar lagi dari kamar mandi.
Dias hanya bisa tersenyum, antara merasa lucu dan kasihan.
" Assalamualaikum " nah ini dia yang ditunggu tunggu sudah tiba.
" Waalaikumsalam, ko baru dateng sih Del? "
" Biasalah amih suka susah " Delira menyimpan barang bawaannya ke dalam laci.
" Eh mang Ferdi mana? " lanjutnya.
Dias hanya menunjuk pintu kamar mandi menggunakan Dagunya.
" Kamu udah makan? " -Deli
" Udah, tapi A Ferdi belum makan? " seketika Deli berhenti dari aktivitasnya saat mendengar kata A.
" Manggilnya apa tadi? " Delira memastikan bahwa pendengarannya masih sehat.
" AA " -Dias.
Lalu terdengarlah tawa Deli yang menggelegar.
" Del del, baru dateng udah ketawa jiganu kasurupan " Ferdi baru keluar dari kamar mandi.
" Iya maaf AA " Deli menekankan kata AA. yang mengakibatkan sebuah cubitan mendarat di perutnya.
" ahh ahh iya iya ampun " Deli sedikit melepas paksa tangan Dias.
" Kenapa sih? " -Ferdi
" Enggak apa apa mang, eh iya ini tadi Deli beli bubur di depan. Amang belum makan kan? "
" Nah kebeneran. Mana sini, nanti amang makan di kampus aja " Ferdi mengambil buburnya lalu menyodorkan tangan pada Deli.
Mungkin bagi Deli itu sudah biasa, tapi Dias sangat tidak percaya jika Ferdi juga menyodorkan tangan padanya.
" Heh! Itu ga akan salim ke AA " lagi lagi Delira membuat nada manja pada bagian AA.
Seperti tersadar karena perkataan Delira, akhirnya Diaspun menyalimi tangan Ferdi dengan cepat kilat.
Sebelum Ferdi keluar dia sempat membisikan sesuatu pada telinga Deli " tunggu pembalasan amang ".
Bukannya takut Delira malah menjulurkan lidahnya, dan mungkin sekarang Delira menyesali hal itu, karena disaat yang bersamaan juga seorang dokter yang semalam datang ke rumahnya tiba tiba masuk bersama dua orang perawat.
Ya, mungkin Ardi melihat saat Deli menjulurkan lidahnya.
Delira yang kagetpun akhirnya sedikit menjauh dari blankar, agar tidak menghalangi proses pemeriksaan.
Deli pov.
Entahlah apa yang ku pikirkan. Sejak tadi tatapanku lurus pada wajah dokter Ardi yang memiliki nilai estetika begitu tinggi. Hidungnya, mata indahnya, namu sayang. Bibirnya jarang ia gunakan untuk tersenyum, apa lagi padaku.
Ya Ampun kenapa aku jadi begini? Jangan berfikir yang macam macam Del!!
" hstt.. Del! "
" Iya kenapa? " seolah baru tersadar dari lamunan.
" dokter Ardi ngomong dari tadi gak kamu dengerin? " Dias seperti keheranan.
" Ah i- iya itu tadi lagi kurang fokus. Emang ada apa ya? " entahlah akan ku taruh di mana wajahku saat ini.
"Katanya ada obat yang harus di tebus di luar"-Dias.
Aku hanya mengangguk kecil.
" Kalo bisa di ambilnya pagi ini, biar bisa langsung di minum " hanya itu yang dia ucapkan, lalu pergi bersama para perawat. Huftt, memangnya apa yang aku harapkan?
Bukannya tugasnya sebagai seorang dokter hanya itu? Tapi apa itu tidak terlalu cuek bagi orang yang mengaku ngaku sebagai pacarku saat di telfon?.
Berarti memang kang Azka yang salah dengar mungkin. Sudahlah, nanti akan ku sarankan kang Azka agar pergi ke THT.
" Eh Del kenapa sih dari tadi ngelamun mulu? Ada masalah? " Dias menyadari moodku yang kurang baik mungkin.
" Enggak ko, udah ah mana sini resepnya? biar obatnya bisa langsung di minum ".
" Cerita dulu ah " Dias menyembunyikan resepnya di belakang badan.
" Ish cerita apaan? udah mana? " aku mencoba merebutnya, tapi nihil.
" Gak! ga! enggak!! ".
" Diasmah nyebelin ah " dengan terpaksa aku mengurungkan niatku untuk pergi dan kembali duduk dipinggiran blankar Dias.
" Yaudah cepet, makin lama kamu ga cerita makin lama juga kamu ngambil obatnya, dan makin lama juga aku minum obatnya, kalo kelamaan aku mati nih, nih nih " Dias yang konyol mulai membuat ekspresi seolah tercekik.
Ya, She is the real Diasyaputri.
" Ck, yaudah iya ".
" Gimana gimana? "
" Sebernyasih ga ada yang spesial atau yang aneh aneh. Hmm gimana ya ".
" Apasih Deli ga jelas, to the point aja kali ".
Aku menghela nafas terlebih dulu lalu " Jadi semalem tuh hp ku ketinggalan di mobilnya dokter Ardi, terus gak lama dia nganterin ke rumah, soalnya ada yang nelfonin terus. Nah dia juga sempet ngangkat telfonya ". Aku menggangtuk kalimat.
" Terus? ".
" Tadi pagi kang Azka ke rumah, jadi yg semalem nelfon itu kang Azka nanyain soal absen. Nah kang Azka bilang orang yang ngangkat telfon itu ngakunya pacar aku ".
Dias diam dan sedikit melamun.
" Ko diem sih? "
" Ya ampun ga nyangka, seorang Delira mulai merasakan Cinta "dia membentuk tangannya seperti hati.
" apa sih ah ". Ini kesempatan yang bagus untuk merebut resepnya, dan yap, I got it.
Aku pun langsung pergi keluar, dan saat sudah di luar aku berpapasan dengan dia lagi. Ya, dokter Ardi. Namun seolah seperti bencana, Dias berteriak dengan kencang dari dalam kamar.
" Cie Delira suka sama dokter Ardi!!! " yang ku lakukan? Hanya berlari untuk menghindari dokter Ardi yang membeku saat mendengar teriakan Dias.
□□□
Di tempat lain
Ada dua orang insan yang tengah berbincang hangat di depan teras sebuah rumah.
" Apih serius ga akan ngasih tau anak anak? "
" Percaya sama apih mih, semuanya akan berjalan dengan lancar dan semestinya " seulas senyum ia terbitkan untuk istri tercintanya.
" Tapi amih takut pih, takut anak anak nyalahin amih dan nganggep kalo kita itu kurang adil karena gak ngasih tau ini ke mereka " mulai menundukan kepala dengan mata yang berkaca kaca.
" Anak anak kita itu anak yang sangat cerdas, berhati mulya, dan sholeh sholehah. Mereka gak akan mungkin nyalahin seorang bidadari yang udah ngelahirin mereka ke dunia ini " apih mengangkat dagu amih secara perlahan dan membawanya ke dalam dekapan.
" Stttt jangan nangis, nanti hati apih jadi mendung ".
Amih menghapus air matanya, dan mencoba memberikan senyum terbaiknya.
" Amih gak tau mau jadi apa amih dulu kalo gak dijodohin sama apih " mengusap tangan apih dengan sayang.
" Mau dijodohin ataupun enggak, kita pasti bakal ketemu mih. Karena kita jodoh, perjodohan itu cuma cara Allah untuk mempermudah perjuangan apih buat dapetin amih ".
Amih tersenyum lagi pada apih, namun kali ini lebih tulus.
" Yaudah gih, katanya mau ke Rumah Sakit, kasian Deli sama Dias nungguin ".
" Apih yakin? "
Apih hanya mengangguk tegas.
" Yaudah amih siap siap dulu ".
Dan Bagus?
Sekarang dia sedang berada di Bali. Setelah kejadian hari itu pihak sekolah kedatangan polisi, banyak orang tua yang menuntut atas terlukanya putra putri mereka.
Para pemberontakpun turut di seret pada kasus ini. Terlebih lagi Bagus. Namun karena mama Bagus yang memiliki peran penting di kota ini, maka kasus ini berakhir dengan cara diselesaikan secara kekeluargaan.
Dan yang menyarankan Bagus dan mamanya berlibur adalah bu Tantri. Bu Tantri adalah guru Bimbingan Konseling di Gema Nusa. Berkat sarannya sekarang Bagus dan sang mama tengah menikmati sunset di pantai Kuta.
" Mau sampe kapan kamu diemin mama? "
Bagus tetap diam dan meneguk minuman kalengnya.
" Mama tau mama salah, tapi asal kamu tau Gus. Jalanin perusahaan papa itu gak gampang. Gak segampang kamu bikin masalah di sekolah, enggak Gus! ".
" Bagus gak pernah minta mama jalanin perusahaan ". Bagus menjawab dengan nada datar.
" Emangnya kamu pikir motor sport kamu kamu beli dari mana? Biaya sekolah kamu kamu bayar pake apa? "
Bagus bangkit dari duduknya dan membuang kaleng minumannya dengan kasar.
" Apa Bagus pernah minta sesuatu sama mama? Apa semenjak papa meninggal 12 tahun lalu Bagus pernah minta dibeliin barang mewah sama mama? Gak! kan?
Bagus cuma mau mama ada waktu seperti ibu pada umumnya ".
" Terus sekarang apa? Mama udah relain gak ikut rapat besok cuma demi ngikutin saran bu Tantri, demi kamu Gus, demi kamu!! Demi keluarga kecil kita ". Cairan bening mulai membasahi pipi
" Telat mah, Bagus udah kehilangan masa kecil Bagus yang kelewat gitu aja. Yang kelewat tanpa ada hadirnya peran mama yang udah terganti sama pegawai pegawai di rumah ".
" Asal kamu tau, mama juga nyesel Gus. Makin lama rasa penyesalan mama berubah jadi rasa takut. Takut kamu membenci mama, bahkan takut kalo kamu udah gak ngakuin mama. Apa mama masih pantas di sebut seorang Ibu untuk kamu Gus? ".
Bagus sudah tidak bisa menahan air matanya, namun gengsinya tidak akan membiarkan dia untuk menangis di depan banyak orang. Dia memutuskan menjauh dari pantai dan meninggalkan mamanya.
" Mama sayang sama kamu Baguss !! " Bagus masih bisa mendengar teriakan itu sebenarnya. Dan jujur itu sangat menyayat hatinya.