Rita, ibunya Mia, berjalan mendekati Mia yang berdiri di depan kue ulang tahunnya. Mia sedang merayakan acara ulang tahunnya yang kedelapan belas. Wajah Rita tampak tidak bahagia, seperti menyimpan sesuatu yang berat untuk diutarakan pada putrinya sendiri. Tidak seperti biasa, pasangan ibu dan anak itu biasanya selalu dapat membicarakan apa yang ada dalam benak mereka masing-masing tanpa beban. Namun, hari ini, bahkan, di hari ulang tahun anak semata wayangnya, wajah Rita malah menunjukkan wajah sedih. Seperti ... seperti mereka akan berpisah saja. Ah, mana mungkin. Sudah delapan tahun, berarti, Mia hidup bersama dengan ibunya. Ayah Mia sudah meninggal sebelum Mia dilahirkan di dunia. Ibunya yang membesarkan Mia seorang diri hingga kini usianya delapan tahun.
"Ada apa, Bu?" tanya Mia mengerutkan kedua alisnya. Benar-benar seperti bukan ibu yang dia kenal. Biasanya, ibunya selalu ceria. Biasanya, ibunya yang selalu banyak bicara dibanding dirinya. Biasanya, ibunya yang selalu menanyakan "ada masalah apa" padanya. Kini, sepertinya ibunya yang memiliki masalah. "Ada masalah apa, Bu?"
Rita berdiri di depan Mia. Acara ulang tahun yang semula ramai, dipenuhi dengan kasak-kusuk suara berisik menyerupai suara tawon berdengung, berubah senyap. Semua teman-teman Mia, termasuk tiga sahabat Mia, membisu, memperhatikan wajah wanita paruh baya yang kini mengulurkan tangan, memegang tangan putri satu-satunya. Air mata menetes perlahan, membasahi kedua pipi orang tua yang berwajah paling awet muda yang pernah Mia kenal. Rita menelan ludahnya. Bibirnya gemetar. Mia melongok, tangannya diremas kuat oleh ibunya. Tangan halus Mia terkena tetesan air mata sang ibu.
"Ada apa, Bu?" tanyanya lagi dengan nada cemas, "ibu baik-baik saja?"
Ibunya menganggukan kepada pada detik pertama, menanggapi pertanyaan Mia, namun, detik berikutnya, dia menggeleng kencang. Suara tangis pecah dari mulut ibunya. Mia merangkul sang ibu, memeluknya dengan erat. Air matanya tak kuasa untuk terus ditahan. Mia menangis bersama ibunya. "Ada apa, Bu? Ada apa, Bu?" isaknya yang membuat ketiga sahabat Mia maju mendekati sahabatnya yang sedang merayakan ulang tahunnya.
Tidak ada suara dari sang ibu, hanya ada suara isak tangis yang terus-menerus memenuhi tempat itu.
Santi, yang paling dekat dengan speaker aktif yang digunakan sebagai pengeras suara, segera menekan tombol off yang terletak di atas benda persegi panjang itu. Jujur saja, dia juga terkejut dengan kejadian yang menarik perhatian teman sekelas Mia saat ini.
Ketika suasana di rumah Mia berubah lebih menyerupai gang sepi tengah malam, hingga suara tangis dua orang perempuan sangat jelas terdengar di tiap indera pendengaran yang menghadiri pesta ulang tahun itu, pintu pagar rumah Mia terbuka. Tampak beberapa kumpulan orang berada di sana. Berseru memanggil nama ibunya Mia. Rita, yang mendengar namanya disebut, semakin menguatkan pelukannya pada Mia. Saat ini dia hanya tidak ingin berpisah dari anak gadisnya.
"Mia! Mia!" tangan Rita melingkar di leher Mia, memeluk putrinya dengan erat.
"Ibu." Mia menggoyang-goyangkan ibunya. Panik. Ada apa dengan ibunya. Dia ada di depan ibunya sekarang. Tentu saja, ibunya tidak perlu berteriak. "Ada apa?"
Vava dan kedua temannya yang lain, menyadari kehadiran seseorang di depan sana. Mia mendongakkan kepalanya, bergerak ke kanan dan kiri, menangkap bayangan seseorang yang berada di sana.
Rita menyadari sudah waktunya Mia untuk pergi ke tempat Mia seharusnya berada. Dia saja yang selama ini tidak mengizinkan pihak keluarga ayahnya Mia untuk membawa Mia ke istana, tempat kediaman keluarga ayah Mia. Rita perlahan melepaskan kedua tangannya yang memeluk leher Mia. Wanita paruh baya itu mengelap air matanya dengan kasar, berjalan mundur sedikit ke belakang, agar keduanya dapat meraup udara sebanyak mungkin ke paru-paru. Menunggu pikiran mereka yang semula bertualang, kembali pada tempatnya semula. Kedua tangan Rita menggenggam erat tangan Mia, kali ini tidak ada isak tangis. Rita menghela napas panjang dan berat. Mia sudah harus tahu tentang ini. Rita tampak menggigit bibir bawahnya. Wajahnya menunduk.
"Mi, su--sudah waktunya kamu tahu yang sebenarnya." Rita menelan ludahnya, memberi jeda pada kalimatnya, sempat menegok ke arah ruang tamu yang kini sudah dipenuhi oleh beberapa lelaki yang berpakaian sangat formal--ehm, sangat formal dipakai pada malam hari, maksudnya. Empat orang lelaki itu menunggu di depan, mereka tidak masuk ke dalam.
"Siapa mereka, Bu?" tanya Mia menoleh ke arah empat lelaki dan ibunya secara bergantian.
Ruangan terlalu senyap, suara keduanya dapat terdengar sangat jelas pada indera pendengaran mereka. Antara kasihan karena melihat orang tua Mia menangis tersedu-sedu, dan juga penasaran, mereka yang ada di sana benar-benar memperhatikan keduanya dengan seksama.
"Mereka adalah perwakilan dari kerajaan." Bu Rita tampak bergidik ngeri, mengatakan kata kerajaan. Seakan sesuatu yang telah dikubur rapat-rapat terkuak kembali, menyayat luka yang masih perih. Bibirnya lagi-lagi gemetar. "Mereka datang ke sini diminta oleh nenekmu, untuk menjemputmu ke kerajaan."
Astaga, Mia tampak seperti orang bodoh saat ini. Matanya mengerjap satu kali. Dua kali. Hingga kali ketiga, tawanya tak dapat ditahan lagi. Benar-benar konyol. Baiklah, ini adalah kado ulang tahun yang paling mengejutkan bagi Mia.
Melihat Mia membungkukkan badannya, menahan tawanya yang terpingkal-pingkal, ruangan yang semula senyap berubah seru dan menyenangkan kembali. Suara tawa menyeruak ke setiap sudut rumah yang tidak terlalu luas, yang kini dipakai sebagai tempat merayakan ulang tahun Mia.
"Ah, Ibu ... Ibu!" seru Mia masih tak dapat menahan gelinya lelucon konyol yang sedang dimainkan oleh ibunya. "Oke, baik. Ibu menang. Satu kosong, oke." Mia memegangi tangan ibunya.
Rita menggaruk leher belakangnya yang tidak gatal, mengedarkan pandangannya ke seluruh teman-teman Mia yang turut tertawa terpingkal-pingkal mendengar apa yang baru sja diucapkannya. Bagaimana untuk mengatakan pada anaknya dengan nada yang lebih serius? Ah, Mia dan ibunya memang tidak pernah serius selama ini.
"Mia," ucap ibunya pelan, memegang pundak Mia agar mereka dapat berbicara dengan serius. "Mia, Ibu pernah cerita ke kamu kalau ayahmu memiliki ibu yang sangat kaya raya, bukan?"
Mia mengangguk. Dia mengipasi wajahnya yang merah padam. "Ya. Ya. Ibu memang pernah berkata seperti itu. Tapi ... kita bahkan belum pernah menemui ... ehm ... nenek," jawab Mia menenangkan dirinya sendiri.
"Ya. Karena itulah perjanjian antara ibu dengan nenekmu. Ibu tidak mau membiarkanmu bersama dengan mons--" Rita menengok ke arah empat pengawal kerajaan, tersenyum meringis pada mereka. "Oh, kau tahu, maksudku Ratu negara Queengrand." Kali ini terdengar suara tawa yang aneh yang keluar dari bibir Rita.
Lihat, bahkan, mereka para pengawal itu tidak tersenyum sama sekali! Dasar monster, batin Rita dalam hati.
Lutut Mia mendadak lemas, sepertinya pemikiran waras mulai menghinggapinya. "Tunggu--nenekku seorang ratu?" tanya Mia dengan wajah melongok. "Lalu, mengapa mereka ada di rumah kita sekarang?" Tangan Mia bergetar, menunjuk keempat pengawal berpakaian hitam-hitam dengan kaca mata hitam, tunggu, di malam hari? Yang benar saja.
Rita mengangguk pelan, seakan membenarkan pikiran waras Mia. "Ya. Mereka hendak menjemputmu, ke kerajaan nenekmu."
Alih-alih sedih, wajah Mia tersenyum bahagia. "Sungguh?" tanya Mia dengan wajah penuh kemenangan. "Berarti aku adalah seorang putri?" Mia melompat-lompat kegirangan. Ketiga temannya yang masih melihat drama ibu dan anak ini, melongok tidak mempercayai respons gila dari temannya saat ini.
Mia menari-nari, menarik tangan Vava dan Feli secara bersamaan. Sontak, ketiganya ikut melonjak kegirangan bersama Mia.
"Hey!!!" teriak Rita yang tak menyangka tanggapan Mia. "Sikap macam apa yang kau tunjukkan pada ibumu, huh?!"
Mia cengar-cengir menatap ibunya yang tampak kesal dengan dirinya. "Ibu ... kenapa Ibu tidak memberi tahu kalau kita itu sangat kaya raya?" Kali ini, Mia ikut menarik tangan ibunya untuk melonjak kegirangan bersama dengannya. Ternyata, tak cuma keempat orang itu saja yang diajak Mia untuk melonjak bersama dengannya di hari ulang tahunnya. Ternyata Mia juga mengajak semua teman-temannya yang ada di ruangan itu, untuk ikut bergembira bersamanya.
Suasana begitu meriah. Gegap gempita penuh kebahagian tersirat di wajah mereka semua yang ada di ruangan itu, termasuk empat pengawal berpakaian hitam-hitam. Juga kacamata hitam.