Chereads / TWIN’S PET / Chapter 19 - WHY ME?

Chapter 19 - WHY ME?

Seorang pria dengan perawakan kecil dan tubuh jangkung berjalan dengan riang. Rambutnya yang lurus dan kaku berwarna hijau terang. Mulutnya terus sibuk mengunyah permen karet. Sesekali ia meniup permen karetnya membentuk balon kecil, lalu kembali mengunyahnya saat balon kecil itu meletus.

"Akhirnya ada tugas untukku, Tuan," tukasnya sesaat setelah memasuki salah satu ruangan gelap pada sebuah mansion milik tuannya.

"Kemarilah, Dom." Tangan kurus yang penuh dengan urat nadi memanggilnya, tangannya terlihat begitu pucat. Dominic datang dan mencium tangan itu.

"Kepala siapa yang anda inginkan kali ini, Tuan?" Dominic mengangkat wajahnya, matanya yang sipit terlihat tajam karena cahaya api dari obor.

"Gin's son."

"Sadewa?" Dominic bertanya pada bossnya.

"Aku tidak tahu siapa, tapi dia telah membunuh Aska. Kita harus membereskannya demi tujuanku dan sekaligus membalaskan dendam Aska." Tangan pucat itu mengepal dan memukul sandaran lengan pada kursinya.

"Sure, Tuan. Bila perlu aku akan membunuh Gin untuk anda." Dominic bangkit dari tempatnya berlutut.

"Cukup anaknya, Dom. Jangan biarkan mereka mencari tahu lebih dalam lagi. Project kita belum selesai dan aku tak ingin mengacaukannya."

"Baik, Tuan."

"Sebentar lagi gerhana bulan, ajaklah Shiera, Dom. Sepertinya anak Gin tidak bisa kita anggap remeh."

"As you wish, My Lord." Dominic pamit undur diri setelah kembali mencium punggung tangan Alphanya itu.

oooooOooooo

Sudah hampir 2 hari ini Liffi merasa paranoid. Ia takut akan bayangan kuku tajam yang keluar pada ujung jari-jari Nakula. Sekuat apa pun Liffi mencoba untuk menghilangkan bayangannya, pada kenyataannya gadis itu malah semakin mengingatnya.

Liffi menyelusuri jalanan di pusat kota menuju ke kampus. Jalanan cukup ramai dan matahari pagi pun bersinar cukup terik. Semua orang telah bangun dan melakukan rutinitas harian mereka. Bekerja, sekolah, jogging, dan lainnya. Liffi memilih untuk berjalan kaki dari pada bus umum. Dia ingin mampir ke gereja untuk berdoa dan memenangkan hati.

"Liffi!!" Panggil Nakula. Walau pun wajah tampannya tertutup masker, Liffi masih bisa mengenali Nakula dari nada suaranya yang khas. Jernih namun sedikit berat.

....

Liffi tak menjawab, ia berbalik arah dan berlari kecil, menghindari pria itu.

"Hei, Girl, kenapa kau menghindariku?" Secepat kilat Nakula sudah berhasil menyusul Liffi di sampingnya.

"Jangan mendekat, Black!!"

"Naku, Liffi, Naku!" Nakula ingin Liffi memanggil nama aslinya, bukan Black, nama panggung yang didapatkannya saat menolak mengakui jati dirinya sebagai seorang werewolf.

"Na—Naku, tolong pergilah! Dagingku tidak enak, aku kurus dan kurang berlemak. Please jangan makan aku!" Liffi tetap berjalan, matanya menghindari tatapan Nakula. Ia bergegas memasuki keramaian berharap Nakula tak bisa menerkamnya.

"Hahahaha!! Siapa yang mau memakanmu??" Nakula geli sekaligus sebal, Liffi masih mengira werewolf memakan manusia.

"Pokoknya tolong jauhi aku." Liffi memohon, ia berbelok pada gedung gereja dan masuk ke dalam.

"Kau tahu aku tidak bisa, Liffi, kau mate-ku, dan kita ditakdirkan bersama." Nakula ikut masuk ke dalam gereja.

Liffi mengambil holy water dan membuat tanda salib pada dahi, dada beserta kedua pundaknya. Lalu memandang Nakula sebentar dan memercikan holy water itu ke wajah tampannya. Nakula kaget, ia mundur sedikit, keheranan dengan tindakan Liffi barusan. Holy water? Yang benar saja?

"Kenapa?"

"Apa?"

"Kenapa nggak mempan?" Liffi kembali mengambil holy water dan memercikkannya pada Nakula, kali ini lebih banyak.

"Liffi apa menurutmu holy water bisa mengusirku?" Nakula terkikih dengan kelakuan polos Liffi.

"Er ... nggak ada salahnyakan dicoba?" Liffi meninggalkan Nakula dengan wajah memerah. Ia duduk di deretan tengah, mulai melipat tangannya dan berdoa.

Suasana pagi ini terlihat cukup khusuk dan tenang, kebanyakkan didominasi oleh para lansia yang datang hanya untuk sekedar duduk dan menikmati doa pagi mereka. Bangku-bangku panjang dari kayu oak juga terlihat banyak yang kosong, tidak seramai seperti saat hari Minggu.

"Kau berdoa padanya?" Naku menyilangkan kakinya, memandang ke arah salib.

"Sssttt ...!" Liffi memberi kode dengan menaruh telunjuk di depan mulutnya.

"Apa yang kau minta, Liffi?" Nakula penasaran dengan isi doa Liffi.

"M-E-N-J-A-U-H-I-M-U!!" Liffi menyepel lirih kata-kata dalam benaknya.

"Oh ... sayangnya itu tak akan pernah terjadi, aku akan terus menempel padamu." Nakula terkikih, rasanya senang menggoda Liffi.

"Kenapa kau tidak terbakar? Tidak merasa panas? Melepuh? Padahal kau sudah terpercik holy water!" Liffi penasaran, kenapa tidak seperti di film-film? Padahal vampir dan werewolf takut dengan holy water.

"Jyahahahaha!!!" Nakula tertawa lantang, membuat semua orang memalingkan wajah mereka untuk melihatnya. Melihat siapa orang yang tak punya sopan santun, berteriak dan tertawa di dalam gereja.

"Sorry sorry ...!" Liffi bangkit dan membungkukkan badannya meminta maaf. Menggantikan Nakula.

"Kenapa kau membungkuk pada mereka? Mereka manusia, lebih rendah dari kita." Nakula menahan pergelangan tangan Liffi.

"Lepasin, Naku!! Apa kau lupa kalau aku juga manusia?" Liffi menarik tangannya dan bangkit meninggalkan Nakula.

"Aku pikir mungkin kau juga werewolf, Liffi, aku bisa menciumnya, merasakannya, kau mate-ku." Nakula mengikuti Liffi di belakang, memasukkan tangannya pada saku celana.

"Aku manusia, Naku, percayalah!! 100% aku adalah manusia." Liffi mengambil lagi holy water dan membuat tanda salib, selepas itu ia memercikkan sedikit pada wajah Nakula.

"Kau masih melakukannya? Padahal tahu itu tidak mempan." Naku masih keheranan dengan kekonyolan gadisnya ini, bingung antara terlalu bodoh atau terlalu polos.

"Lalu apa yang mempan untukmu? Apa yang bisa melukaimu?"

"Kehilanganmu, Liffi, kehilanganmu akan melukaiku sangat dalam, terutama di bagian ini." Nakula mengambil tangan Liffi dan menaruhnya di atas dada. Wajah Liffi memerah saat merasakan telapak tangannya menyentuh dada Nakula. Detak jantung Liffi sama cepatnya, sama tak beraturannya dengan jantung Nakula saat ini.

"Aku harus pergi!" Liffi menarik tangannya dari gengganman Nakula.

"Tunggu, Liffi, tolong jangan menghindariku! Aku akan membuktikannya, membuktikan kalau aku mencintaimu, kalau kau benar adalah mate-ku." Nakula memandang wajah Liffi, membuat Liffi pun terpaku memandang wajah tampannya.

Kenapa aku malah jadi mengingat ciuman itu?? Liffi menunduk malu, hati kecilnya tak memungkiri kalau dia juga menginginkan Nakula, sama seperti dia menginginkan dekapan hangat dari Sadewa.

"Kenapa mesti aku, Naku? Kenapa mesti manusia sepertiku?"

"Aku juga heran, Liffi. Akupun sering bertanya pada Moon Goddess. Kenapa memberikan seorang manusia sebagai mateku?" jawab Nakula.

"Moon Goddess?? Kalian menyembah bulan?"

"Huum."

"Ya Tuhan!"

"Apa itu salah?"

"Nggak, nggak ada yang salah."

"Lalu bagaimana?"

"Apanya?"

"Mendekatimu? Bolehkah?" Nakula masih mengejar langkah Liffi yang terus melebar.

"Terserah!! Tolong tinggalkan aku, Naku!! Aku harus pergi ke kampus," kata Liffi, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju ke area kampus.

"Oke. See you, Girl." Nakula menarik tangan Liffi dan mengecup bibirnya.

"Ach!!" Liffi terkejut karena serangan mendadak dari Nakula, ia tak bisa melindungi bibirnya dari kecupan manis itu.

"Thanks, for the kiss." Senyum Nakula, ia mengedipkan sebelah matanya sesaat sebelum berlari meninggalkan Liffi.

"Dasar brengsek!!" umpat Liffi, wajahnya merona sangat merah.

oooooOooooo

Hallo, Bellecious

Jangan lupa vote ya 💋💋

Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️

Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana