Chereads / TWIN’S PET / Chapter 44 - H-2 BLINKS CONCERT

Chapter 44 - H-2 BLINKS CONCERT

A painful roar.

From the mighty lion.

Losing from a smart wolf.

You are the wolf, and I am the lion.

Bow before you.

Give in to you, beg for a love!!

Give me your love!!

Give me your love!!

Intoxicating love!! Killing me slowly

(Auman menyakitkan, dari singa yang perkasa, kalah dari serigala yang pintar, kau serigala sedangkan aku sang singa. Berlutut di depanmu, menyerah demi cintamu. Berikan aku cintamu, berikan aku cintamu. Cinta yang memabukkan ini membunuhku pelan-pelan)

Suara berat Jane yang khas dan merdu membahana. Menyanyikan lagu BLINK berjudul 'Mighty Lion'. Grey menggebuk drumnya dengan penuh semangat. Begitu pula Red dan juga Black, jemari mereka menari di atas senar dengan cepat dan lincah.

Mereka adalah band bergenre heavy metal, beat lagunya cepat dan keras, penuh hentakan dan juga teriakan. Power dari suara Jane memang besar, gadis itu adalah seorang werewolf, tenggorokkannya tak akan sakit walau ia berteriak sekencang mungkin.

"Good, Jane!!" seru produser. Para promotor dan juga kru ikut bertepuk tangan dengan performa BLINK.

"Tiket terjual habis, ludes tanpa sisa. Antusiasme penggemar masih tinggi. Sangat disayangkan kalian bubar." Pihak promotor menyalami Jane, Black, Red, Grey menyusul kemudian.

"Kami tak pernah bubar, Tuan. Secara harafiah Band kami memang bubar, tapi secara fisik kami tetaplah satu tim!" Red merangkul pundak Black dan juga Jane. Jane menyikut perut Red sampai pria itu meringis, menyebalkan saat melihat Red dengan sikap sok manisnya.

"Benar, kalian memang masih satu tim dan juga kompak." Pria bertubuh gendut itu menepuk pundak Black. Black menepisnya, basa-basi yang memuakkan, tentu saja mereka kompak, Black telah mengancam mereka sebelumnya. Kalau tidak, sudah pasti Grey, Red, dan Jane akan bertengkar untuk memperebutkan ide siapa yang akan dipakai.

"Ck, Black, kau tak banyak berubah, tetap kasar dan menyebalkan." seru pria itu lalu berlalu pergi. Grey dan Red mengacungkan jari tengah mereka diam-diam.

"Kalian beristirahatlah, besok jadwal kita akan sangat padat. Jane jangan lupa minum banyak air!!" Manager BLINK memberi wejangan.

"Oke." Angguk mereka.

Hanya Black yang terdiam, lengannya berdenyut pelan. Apakah berasal dari rasa sakit sisa pertarungannya semalam? Apa lukanya belum sepenuhnya pulih? Atau dia terlalu memaksakan diri untuk bermain dengan gitarnya?

oooooOooooo

Nakula menatap langit malam yang berhiaskan bintang. Awal musim gugur, udara juga semakin dingin dan curah hujan semakin besar. Melihat indahnya langit malam sama seperti melihat bola mata Liffi yang bulat dan hitam. Baru berpisah pagi ini, dan Nakula sudah merindukan Liffi.

Apa yang sedang Liffi lakukan sekarang? Siapa pacarnya? Apa dia lebih baik dariku sampai tak bisa menjadikanku metenya?? Kenapa Liffi terlihat tulus mencintaiku, tapi juga masih mencintai pria itu?! Nakula melamunkan gadisnya, berbagai pertanyaan berkecambuk dalam benak Nakula.

Liffi tengah makan malam berdua dengan Sadewa, menikmati daging steak yang lembut dan juga wine merah. Sadewa sengaja memasaknya sendiri malam ini. Ia mengajak Liffi menginap di pondoknya. Pondok tempat mereka pertama kali bersatu, tempat Liffi memberikan kekuatannya pada Sadewa, merubah Sadewa menjadi werewolf sejati.

"Enak?" tanya Sadewa.

"Enak, aku tak menyangka kau pintar memasak, Dewa," puji Liffi, dua jempolnya terangkat.

"Aku tak bisa memasak, tapi aku rela belajar untuk memuaskanmu." Sadewa duduk di depan Liffi, menikmati wine sembari menatap manisnya wajah sang kekasih.

"Kau tidak makan?" tanya Liffi.

"Aku kenyang, Liffi. Tiap kali memasak aku menyicipinya, tak berhenti sampai mendapatkan tekstur dan tingkat kematangan yang sempurna. Kau tahu betapa banyaknya daging yang masuk ke perutku?! Hampir tiga kilo!!" Sadewa terkikih, Liffi ikut terkikih.

"Aku harus melatih tubuhku untuk mencernanya menjadi otot." Sadewa meletakkan gelas wine dan mengambil alih pisau garpu dari tangan Liffi. Pria itu dengan cekatan mengiris daging agar Liffi mudah memakannya.

"Dulu aku sangat membencimu, Sadewa. Aku kira kau pria kejam dan arogan. Kau menghentikan meeting Mr. Hans begitu saja." Liffi menyangga kepalanya menatap Sadewa.

"Itu karena aku tak tahan dengan pesonamu, Liffi. Aromamu membuatku mabuk. Lebih memabukkan dibading wine ini." Sadewa memutar gelas winenya, meneguk isinya sampai habis.

"Saat itu aku salah, ternyata kau adalah pria yang sangat lembut dan pengertian." Liffi melangkah mendekati Sadewa, berdiri di antara kedua paha pria itu, berpegangan pada pundak Sadewa. Sadewa menangkup pinggang Liffi, mereka saling mendekap erat. Sadewa menikmati aroma hibicus yang mulai merebak, menggelitik hasrat melalui indra penciumannya.

"Saat ini aku sadar kalau ternyata aku tak banyak mengenalmu. Ceritakan padaku tentang dirimu juga keluargamu, Sadewa." Liffi menyatukan pandangan, menatap jauh menembus iris mata Sadewa dengan kelembutan.

"Apa yang ingin kau tahu, Liffi!?"

"Nakula, bukankah kau punya kembaran bernama Nakula? Kenapa kau tak pernah menceritakan apapun tentang dirinya kepadaku?" Liffi menyelidik, benar saja, Liffi penasaran dengan hubungan kedua kakak beradik ini.

Keduanya adalah Mate dari Liffi, agar tidak bentrok dan saling bertarung Liffi harus mempelajari sifat keduanya, dan sebaik apa hubungan mereka saat ini. Sampai suatu saat Liffi bisa menjelaskan pada keduanya tentang hubungan segitiga mereka. Berbagi waktu, berbagi tubuh, berbagi jiwa.

"Nakula??"

"Iya, Nakula."

"Tak ada yang istimewa dari hubungan kami. Kami memang kembar, tapi terpisah cukup lama. Well, Ayah dan Ibu kami berpisah, Ayah membawaku, Ibu membawa Nakula. Saat remaja Ibu pamit pada Nakula untuk mencari Ayah, namun ia tak pernah kembali. Dan saat itulah Nakula kembali masuk ke dalam keluarga kami." Sadewa bercerita. Liffi menunduk, pasti Nakula saat itu sangat sedih dan ketakutan. Seorang diri menunggun kepulangan Ibunya.

"Berbeda denganku. Nakula berperangian kasar dan juga menyebalkan. Ayah selalu menghukumnya. Tapi Nakula tak pernah kapok. Dia bahkan tak mau bergabung dalam pack. Nakula sempat mengira bahwa gara-gara Ayah, Ibu selalu menyiksanya. Jadi Nakula pun membenci Ayah." Sadewa tersenyum sumbang.

"Kasihan, Naku," lirih Liffi.

"Nakula memilih untuk memberontak dari Ayah dan keluar dari mansion untuk menjadi lonely wolf. Ia bergabung dengan teman-temannya membentuk sebuah band bernama BLINK." Sadewa meneruskn ceritanya, Liffi mendengarkan dengan antusias.

"Apa kalian tak pernah bertengkar?" tanya Liffi.

"Kami memang seperti orang lain dibandingkan saudara, Liffi. Kami tak saling bertemu selama bertahun-tahun, dan begitu bertemu kami hanya diam dan enggan untuk menatap wajah masing-masing. Rasanya aneh sekali, ada orang yang menatap tajam padamu dengan wajahmu sendiri. Itu terjadi, karena kami kembar identik." Sadewa tertawa dengan kenangan masa remajanya bersama Nakula.

"Nakula iri padamu, bukan? Karena hidupmu lebih baik darinya?" Liffi bertanya. Tentu saja Nakula selalu menatap Sadewa dengan iri. Sadewa punya segalanya, Nakula pikir ia tak pernah mendapatkan cinta dari Ibu dan Ayahnya sama seperti Sadewa.

"Bisa jadi." Sadewa tersenyum kecut. "Tapi sungguh, darah lebih kental daripada air, saat dia sakit aku pun merasa sakit. Saat salah satu dari kami terluka, kami bisa saling merasakan," ujar Sadewa.

Liffi menggigit bibirnya, matanya mulai berair mendengar penuturan Sadewa. Cerita pilu akan masa lalu Nakula membuat hati Liffi sakit. Bukankah Nakula dan Sadewa adalah matenya? Mereka berhak atas waktu dan kasih sayang yang sama besarnya.

"Apa Nakula sudah berhasil berubah wujud?" tanya Liffi ragu.

"Tidak, dia belum berubah dengan sempurna. Sepertinya dia belum bertemu dengan matenya." Sadewa memeluk Liffi. Wajah Liffi terperangah, bukankah mereka sudah bersatu?! Kenapa Nakula tidak berubah?!

"Lupakan Nakula, malam ini kita nikmati berdua, Liffi."

Sadewa mengecup cerukan leher Liffi, menghirup aroma bunga hibicus. Sadewa mulai meraba pinggul dan naik ke atas, menangkup sambil menggoyangkan pelan dua buah dadanya.

"Tidak, Sadewa. Aku harus pergi!! Maafkan aku." Liffi tak tahan, ia melingsut dari cumbuan Sadewa.

Tanpa mempedulikan wajah Sadewa yang mengeryit bingung, ia menyahut tas dan beranjak meninggalkan pondok itu.

"Liffi!! Kau mau kemana?" Sadewa kaget, tak biasanya Liffi menolak cumbuan Sadewa. Bukankah mereka mate?! Tak ada mate yang saling menolak.

"Aku harus pergi ke suatu tempat, Sadewa. Tolong lepaskan aku!! Aku akan menemuimu besok!!" Liffi menghempaskan tangan Sadewa.

"Hei, kenapa tiba-tiba kau berubah? Kenapa tiba-tiba gusar? Apa aku membuatmu marah?" Sadewa mengejar Liffi sampai ke tepi jalan raya.

"Tidak, Sadewa, aku hanya teringat sesuatu yang penting." Liffi nekat, rambut hitam sebahunya melambai karena terpaan angin.

"Biarkan aku mengantarmu, atau setidaknya biarkan aku tahu di mana tujuanmu?!"

"Maaf, ada baiknya kau tidak tahu."

"Liffi!!"

"Aku pergi!!"

"Liffi!!!"

"Dan jangan coba-coba mengikutiku atau kita putus!" ucapan Liffi membuat Sadewa tersentak. Bahu Liffi naik turun menahan rasa sakit, sakit karena membentak Sadewa, sakit karena merasakan rasa sakit Nakula.

Setelah memastikan Sadewa tak mengikutinya, Liffi menghentikan sebuah taxi dan pergi menuju ke suatu tempat.

TING TONG!!!

Nakula masih melamun, masih berdiri di depan jendela besar penthousenya saat sebuah suara bel pintu membuyarkan bayangan tentang Liffi.

"Liffi?" Nakula bergegas memutar tubuh, bau bunga fresia yang menusuk hidung menandakan kehadiran gadis itu di depan apartemennya.

Pintu terbuka, benar saja, Liffi dengan mata sembabnya menghambur masuk dalam dekapan Nakula. Nakula bingung, kenapa Liffi tiba-tiba saja bersikap melankolis? Apa ada yang mengganggunya? Atau lelaki lain itu mencoba menyakiti hatinya?

"Hei, Hei, kau kenapa, Girl?" Nakula mencoba bertanya, Liffi hanya bergeleng sambil mempererat pelukkannya.

"Aku hanya ingin segera mengatakannya padamu, Naku. Aku ingin kau tahu kalau aku mencintaimu, aku menyayangimu, aku sayang, sayang, sangat sayang padamu!!!" Liffi menangis, memeluk Nakula.

"Hei, jangan menangis, aku tahu itu, Girl!!" Nakula tersenyum, mengelus pipi mulus Liffi dan menghapus air matanya.

"Aku tahu, karena aku juga mencintaimu." Nakula mengecup pelan bibir Liffi.

"Naku." Liffi memeluk lagi Nakula, menyalurkan rasa sayang sebagai seorang mate.

ooooOoooo

Hallo, Bellecious

Jangan lupa vote ya 💋💋

Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️

Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana