Amel menatap pemandangan halaman belakangnya dari jendela ruang keluarga. Sorot matanya sendu, matanya sayu dan tidak ada semangat.
Amel begitu merindukan pelukannya. Amel memejamkan matanya, mengingat kembali kejadian itu. Kejadian dimana dia harus kehilangan sosok yang berperan penting dalam hidupnya.
—FLASHBACK—
"AMEL!!!!" Amel merasakan pelukan ibunya mengendur. Amel berbalik lalu menutup mulutnya melihat ibunya menusuk lehernya dengan pecahan beling.
"IBU!!!" Amel meluruh dan memgang kepala ibunya. Seolah ga percaya, seolah semuanya mimpi. Amel menggelengkan kepalanya, bagaimana pun ibunya, dia tetep orang yang merawatnya, kesalahan dulu mungkin ibunya syok karena anak kandungnya meninggal, dan Amel sudah memaafkannya.
Karly sosok ibu yang selalu menuruti keinginan anaknya. Karly ibu yang luar biasa baiknya. Gavin menarik lengan Amel untuk berdiri. Amel terisak dengan pilu, bajunya penuh dara Karly.
"Udah Mel," ucap Gavin. Gavin berusaha kuat untuk Amel. Gavin juga tau kalau Karly adalah orang yang baik, bahkan sangat sangat baik.
Gavin bisa merasakan sosok ibu yang hilang dalam dirinya.
Gavin berhasil membantu Amel berdiri, lalu segera memeluknya. Gavin mengeratkam pelukannya. Gavin mencoba memberikan pelukan hangatnya untuk Amel.
Hujan turun dengan deras, Gavin segera masuk ke dalam rumah, dan kebetulan ambulan sudah datang. Gavin meminta tolong Sinta untuk mengganti pakaian Amel di dalam kamar tamu.
Gavin keluar dan memilih menemui Akbar dan terduduk di ruang keluarga. Gavin menepuk pundak Akbar, Gavin tau ini juga berat bagi Akbar.
"Dulu, waktu bokap sama nyokap gua cerai dan hampir lepas dari pergaulan bebas, Tante Karly yang nolong gua," ucap Akbar tiba tiba. Gavin tersenyum dan menatap Akbar.
"Lo boleh nangis, lo boleh ngerasa kehilangan, tapi jangan berlebihan. Ikhlasin Bar, Tante Karly ga suka liat lo nangis kayak anak cengeng gini. Inget ya Akbar, lo udah mau jadi bapak anjirrr!" Nasihat Gavin. Akbar tertawa dan memeluk Gavin ala pria.
"Makasih ya," ucap Akbar dengan tulus. Gavin mengangguk anggukan kepalanya.
"GAVIN!!" Teriakan dari kamar tamu membuat Gavin dan Akbar berlari ke arah kamar tamu. Gavin dan Akbar terbelalak melihat Amel tergeletak tak berdaya dengan wajah yang sangat pucat.
"Amel!" Gavin mengangkat Amel ala bridal style dan memasukannya kedalam mobil yang diikuti oleh Akbar.
—FLASHBACK—
Semenjak masuk rumah sakit, Amel merasa bersalah. Amel drop karena terlalu lelah dan tidak memiliki tenaga. Amel sesekali menangis tidak henti henti sampai Gavin bisa menenangkannya.
"Sayang." Amel mengelap air matanya yang turun tanpa izin dari matanya.
"Iya kenapa?" Jawab Amel. Gavin menghela nafas lalu tersenyum. "Kamu udah makan?" Tanya gavin. Amel tersenyum lalu mengangguk. "Udah kok, tadi sama mama disuapin," balas Amel.
Gavin tersenyum lalu mendorong kursi roda Amel ke halaman belakang rumah mereka. Amel menutup matanya ketika angin berhembus menerpa wajahnya.
"Hah... Sejuk ya?" Tanya Gavin. Amel mengangguk dan tersenyum lebar. "Aku bisa ngerasain kehadiran ibu disini," ucap Amel sambil memeluk dirinya sendiri. Gavin ikut memeluk Amel dari belakang sambil mengecup kepala Amel dengan sayang.
"Kamu selalu bisa merasakan kehadiran ibu." Amel mengangguk.
"Iya, aku selalu bisa ngerasain kehadirannya, disini." Amel meletakan tangannya di dadanya. Amel membuka matanya sambil menatap langit.
"Aku ikhlas ibu pergi, mungkin udah jalannya ibu, dan mungkin ibu udah senang karena bisa pergi dengan tenang." Gavin tersenyum.
"Ibu pasti seneng karena kamu udah mulai ikhlas." Amel menatap Gavin yang sekarang sudah ada didepannya. Matanya berkaca kaca, dan akan segera meneteskan air mata.
"Aku ikhlas ibu pergi," ucap Amel. Gavin tersenyum dan memeluk Amel dengan erat. Amel menangis dengan kencang seolah ini tangisan terakhir untuk melepas kepergian ibunya.
Pada dasarnya, yang hidup akan kembali pada pencipta. Tuhan terlalu menyayangi Ibunya, sehingga ibunya diambil lebih dulu, meskipun lewat bunuh diri.
Amel tidak tau apa yang menyebabkan ibunya seperti itu. Yang pasti, Amel selalu berharap, Ibunya bahagia disana, dan Amel yakin akan hal itu.
***
Akbar memeluk Ana yang sedang melamun di depan jendela kamarnya. Akbar mencium harum shampo yang dipakai oleh Ana. Akbar menyukai aroma rambut Ana yang berwangi coklat.
"Are you cry?" Tanya Akbar dengan suara rendahnya. Ana mengelap pipinya dengan cepat.
"No," jawab Ana. Akbar melepaskan pelukan mereka dan membalikan tubuh Ana.
"Kamu boleh nangis, gausah ditahan," ucap Akbar sambil memundurkan tubuhnya dan merentangkan tangannya. Ana tersenyum dan berlari kecil untuk memeluk Akbar.
"Aku sayang sama kamu," ucap Akbar. Ana mengangguk sambil menarik cairan yang hampir turun lewat hidungnya.
"A-ku juga sayang sama kamu," balas Ana.
Akbar membawa Ana untuk tidur didalam pelukannya. Akbar suka disaat saat seperti ini. Akbar merasa dekat dengan buah hatinya, dan tentunya Ana.
Ana itu pusat hidupnya. Akbar akan kehilangan arah ketika Ana tidak ada. Berlebihan memang, tapi itu definisi Ana dimata Akbar. Ana perempyan unik yang Akbar temukan. Membuat jatuh cinta hanya sekali ucapan.
"Yeh, gua tau lo didemenin satu sekolah, tapi terkecuali gua sama Amel!"
Itu ucapan Ana saat mereka masih duduk di bangku SMP. Akbar akhirnya menemukan seseorang yang tidak memandang dirinya dari fisik dan materi.
Akbar kembali jatuh cinta oleh Ana, hanya lewat nasihat.
"Hey! Semuanya itu ga instan. Kalo lo mau berhasil, ya usaha. Mungkin saat itu usaha lo kurang keras, atau do'a lo kurang. Inget ya, kalau mau berhasil do'a dan usaha itu harus seimbang."
Akbar tersenyum ketika mendengar nasihat Ana pada saat itu. Akbar sampai sekarang kagum pada Ana. Mungkin Ana terlanjur jelek dimata orang. Akbar menyadari suatu hal yang hanya dia yang paham.
Hanya Akbar yang tau betapa baiknya sosok Ana.
Hanya Akbar yang mengerti alasan apa Ana melakukan itu, dan Akbar salut akan semua keputusan Ana. Walaupun keputusan Ana salah, tapi dia rela bertaruh nama baiknya hanya untuk membantu orang yang dia cintai.
"Kamu kenapa?" Tanya Ana tiba tiba. Akbar menatap Ana lalu tersenyum.
"Engga sayang," jawab Akbar dengan senyum tampannya. Ana mengangguk dan menyembunyikan lagi kepalanya di dada bidang Akbar.
Akbar menikmati masa masa ini. Masa dimana, dia merasakan jatuh cinta yang mungkin tidak akan habis untuk seorang Ana. Akbar rasa seperti itu.
Akbar selalu bersyukur, dia masih bisa merasakan pelukan ini, bahkan memilikinya. Wanita yang dulu dikagumi sekarang miliknya, hanya miliknya.
***
Gavin menyuapi Amel yang sedang makan. Gavin sudah makan, makanya dia menyuapi Amel, Amel sedang menonton film kartun kesukaanya.
Amel menatap angka angka di remot televisinya. Amel mengerutkan keningnya dengan heran. Amel melirik Gavin yang sedang menatap televisi. Amel buru buru mengambil pulpen yang ada didepan meja dan mencatat apa yang dia lihat di remot itu.
7859
***