Sudah berapa musim terlewati? Sudah berapa puluh purnama berpendar menghiasi langit malam melintasi atmosfer bumi dan waktu yang akan terus berjalan. Pun sudah berapa lama rasa ini hadir menelusup tak tahu diri, apalagi kata tanpa permisi. Aku sendiri tidak tahu. Namun memang semakin hari detak jantung ini tak pernah bisa terkendali jika berhadapan dengan seseorang paling menyebalkan. Dan itu tentang manusia yang akan kuceritakan pada setiap hembusan angin petang dan jingga yang hadir dipenghujung hari untuk menyambut malam.
Awalnya aku merasa ini hanya sebuah perasaan biasa. Perasaan sayang antar teman setelah naik level menjadi sahabat. Tetapi mengapa ini begitu lain? Setiap senyum dan aura yang ia tunjukkan mampu membuatku seperti terjerembab ke dalam sebuah lubang hitam, lalu terpenjara sendirian. Membuatku menjadi terlalu sibuk mencari jawaban kenapa bisa-bisanya begitu ceroboh membiarkan perasaan yang hadir kelewat kurang ajar itu tumbuh dan berkembang menjadi pengharapan tak masuk akal. Dibandingkan menata masa depan yang sudah banyak orang lain lalukan. Bukan menahan perasaan yang datang tak diundang ini. Namun sayang, seiring berjalannya waktu tak satu pun jawaban ku dapatkan. Melainkan sibuk mati-matian menyembunyikan perasaan.
Celaka tujuh turunan kalau sampai ia tahu aku memiliki sesuatu yang lain untuknya. Bisa-bisa aku mendadak dipecat permanen olehnya. Oleh laki-laki berusia dua puluh empat tahun bernama Abimana Pratama Nugraha.
Sedang ku memikirkan pria tak tahu aturan itu. Sebuah ketukan bertalu menarik atensiku dari lamunan luar biasa. Dari nadanya saja aku sudah tahu siapa? Tanpa sedikitpun berniat mengangkat kaki untuk sekedar membuka papan datar bercat kecoklatan itu. Aku lebih suka berteriak lepas sampai-sampai ia, sang pelaku utama memunculkan wajahnya.
"Hello, Princess," sapanya setelah puas mengetuk daun pintu.
Aku memutar bola mata mendengar seruannya. Sebab apa? Kalau dia sudah manis begitu sudah pasti ada maunya.
"Katakan ada apa?" Tanyaku tanpa berbasa-basi seraya mengoleskan krim malam ke wajah.
Abi masih berdiri di ambang pintu yang setengah terbuka. Dapat terlihat dari pantulan kaca bagaimana senyum hangat bercampur menyebalkan itu ia tunjukkan.
"Aku mau mengajakmu makan malam," ucapnya.
Aku mengernyitkan kening seraya memutar tubuh sambil melawan tatap Abi yang masih cengengesan. "Makan malam?" ulangku. Dan itu bukanlah sebuah pertanyaan.
Abi mengangguk. "Mau ya!" ujarnya seperti berharap. Ditambah lagi sepasang netranya menyorot menggemaskan tak ubah mata kucing yang sedang memelas.
"Kenapa mendadak? Aku sudah makan tadi," elakku.
"Ini bukan mendadak, ayolah!" Desaknya.
"Ini sudah terlalu malam, Bi."
Bibir Abi mengerucut lucu. "Ya sudah kalau begitu besok pagi saja!" tukasnya lantas tanpa aba-aba kembali menarik tuas papan datar itu hinggak kembali tertutup rapat.
Astaga! Kenapa tidak jelas sekali? Tapi itulah Abi, kelakuannya sulit ditebak dan aneh namun sangat manis secara bersamaan. Tingkahnya membuatku sanggup dan rela jatuh sejatuh-jatuhnya lebih lama asalkan dapat terus menemani hari-harinya.
Hah! Oke, sepertinya aku sudah mulai gila sekarang.
.
Angin pagi ini sungguh tidak bersahabat. Sangat dingin dan kencang, membuat rambut yang belum sempat ku tata ini berterbangan dari balik helm milik Abi. Jangan tanyakan dimana aku sekarang? Sejak pukul setengah tujuh tadi laki-laki ini sudah menyeretku untuk mengikuti keinginan dirinya yang semalam tertunda. Tanpa memakai jaket atau kain penghangat dari terpaan angin. Abi membawaku ke sebuah kedai bubur ayam di tepi trotoar.
"Ini keterlaluan, Bi." Protesku setelah motornya berhasil terparkir tepat di kedai yang menjadi tempat tujuan Abi melarikan diriku sepagi ini.
Abi melihatku sekilas. "Apanya yang keterlaluan? Seharusnya kan kau beruntung memiliki sahabat baik, pengertian dan perhatian yang rela merogoh kocek untuk sarapan berdua tanpa gangguan." Papar Abi terdengar seperti sebuah pembelaan tak berdasar.
Membuatku mengepalkan kedua tangan dan bersiap melayangkan sebuah jitakan untuknya. "Kau tidak lihat penampilanku ya? Ini dingin sekali, Abimana." Gertakku yang memang ingin menangis saja saat ini. Entahlah! Apa memang aku patut bersyukur mendapatkan sahabat seperti Abi atau membuangnya saja. Tidak, tidak, tidak. Jangan dibuang, sayang. Nanti kalau aku sudah merindukannya akan sulit ditemukan.
Abi melengkungkan bibir seketika setelah mendengar protes dariku. Tanpa segan, Abi melepas jaket yang ia pakai dan memakaikannya padaku. "Iya, iya maaf. Pakai ini saja ya," tukasnya begitu hangat dengan tatap mata dalam.
Jangan begini Abi. Aku bisa saja tenggelam dan terlalu takut untuk kehilangan sebelum mengungkapkan perasaan tak wajar ini.
"Hey, hey, hey! Kenapa malah menangis?" ujar Abi tiba-tiba dengan nada gelisah saat mendapati air mata ini bergumul diujung netra. "Maaf!" tutur Abi lantas mengusap kedua pipi.
"Diam kau." Bentakku lagi lantas segera mendaratkan pinggul ke atas kursi plastik yang ada di kedai itu.
Aku menangis bukan marah pada Abi hanya karena menculikku pagi-pagi atau gara-gara jahatnya angin yang bersiul seperti sengaja mengejekku karena terlalu lemah akan sosok yang bersamaku dan hanya karena sebuah jaket yang tertinggal di rumah. Tapi, getaran dan debar jantung sudah sangat begitu hebat bergemuruh dari dalam sana. Seakan menimbulkan jutaan spekulasi pun ketakutan. Bagaimana jika kelak Abi pergi meninggalkan dan mengabaikanku? Ia tak lagi mau memberikan perhatian kecil namun berarti untukku di kemudian hari? Lalu harus sampai kapan aku bisa bertahan dengan adanya rasa sialan ini? Aku sendiri tidak pernah tahu harus apa kecuali mengenyahkan jauh-jauh, menepis rasa yang sudah seharusnya tak ada.
"Oh, ya nanti siang temani aku pergi ya!" ucap Abi yang sudah menghabiskan semangkuk bubur ayam.
Aku melirik sejenak pada Abi yang duduk tepat di sampingku. "Mengenalkanmu pada seseorang." sambungnya.
Aku mengesat bibir dengan lembaran tisu sebelum melayangkan pertanyaan lain. "Siapa?" tanyaku jelas ingin tahu.
"Hmmm, ini rahasia!"
Aku menyipitkan mata. "Kalau kau tidak mengatakannya, aku tidak mau ikut."
"Hey, mana bisa begitu!"
"Makanya katakan."
Namun memang bukan Abi namanya yang malah sengaja menyembunyikan semuanya dariku. Sampai-sampai aku malah mengajukan pertanyaan lain untuknya.
"Aku ini siapa bagimu?"
Kali ini Abi yang menunjukkan raut wajah keheranan. "Tentu saja sahabat jelek terbaikku."
"Hanya itu?"
Ia mengangguk cepat. " Memang apa lagi? Kau berharap jadi pacarku ya?" Tukasnya diselingi tawa yang cukup keras. Sudah pasti itu mengundang tatapan pengunjung lain ke arah kami.
Aku? Jelas malu bercamput gelisah datang tanpa ragu. Lalu untuk menutupinya, jelas aku segera menginjak kaki Abi sekerasnya.
"Kalau bicara jangan sembarangan. Bisa tidak!"
Abi mengaduh. Terdapat ringisan keluar dari mulutnya yang beberapa detik lalu tertawa puas. "Aku kan hanya bercanda. Bagaimana bisa kau melakukan kekerasan dalam rumah persahabatan ini padaku?"
Sudahlah. Sepertinya aku memang harus mengisi ulang stok kesabaran lebih sering dari ini. Juga menambah elakkan kalimat agar Abi dengan kepintarannya yang sejagat. Tidak akan menangkap gerak-gerikku yang memang mencintainya.
Itu terdengar sangat menggelikan sekaligus mengerikan? Mencintai sahabat sendiri, bukanlah hal yang mudah untuk dilewati. Bagiku, ini lebih sulit dari jatuh hati pada orang yang sama sekali tidak dikenal. Karena akan dipastikan membutuhkan waktu berlipat kali panjang untuk melupakan, mengikhlaskan. Atau itu adalah suatu ketidak mungkinan. Sebab, sahabat sudah menjadi bagian dari diri sendiri. Bukan begitu?
.
Bersambung