Aroma petrichor menguar hingga memenuhi seluruh ruangan. Membuat penghuni rumah merasakan aroma kesegaran yang menyesap masuk ke dalam olfaktorium. Rumah yang terbuat dari anyaman bambu ini sangat peka terhadap segala macam bau. Udara sejuk di luar, bisa dengan mudah masuk. Karena struktur bambu memiliki celah yang tidak terlalu rapat.
Hampir tiga jam, hujan membasahi tanah di desa Sukamaju. Membuat suhu udara di pagi hari terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Meskipun dingin, aktivitas pagi bagi perempuan desa tetap harus berjalan. Tak ada yang bermalas-malasan, apalagi meringkuk di kamar untuk melanjutkan mimpi indah. Dengan cekatan mereka menyalakan kayu bakar, memasak nasi, menyiapkan sarapan pagi dan bekal yang akan dibawa saat berangkat bekerja. Tak lupa menyajikan secangkir kopi panas untuk sang suami.
Warga di desa ini rata-rata bekerja menggarap sawit dan menjadi petani karet. Bengkulu Utara salah satu wilayah terbesar penghasil kelapa sawit. Stuktur tanahnya baik untuk pertumbuhan dua tanaman ini.
Cukup mudah untuk menjadi petani karet. Menanam bibit karet terlebih dahulu, kemudian menunggu empat hingga lima tahun. Barulah bisa mendapatkan hasil. Meskipun kebun karet ini bukan milik mereka. Tetapi mereka tetap bertahan. Hanya pasrah, jika sewaktu-waktu sang pemilik lahan mengambilnya.
Getah karet yang mengental, diambil satu persatu. Kemudian dijual. Tiap warga bisa mendapatkan satu sampai dua wadah karet. Harga perkilonya sangat murah, hanya tujuh ribu lima ratus rupiah. Total pendapatan satu bulan yang diperoleh warga adalah kisaran empat ratus ribu rupiah. Sebuah angka yang sangat kecil. Sangat jauh dibandingkan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk kehidupan sehari-hari.
"Sudah siap, Kun. Ayo kita berangkat." Gadis kecil itu menganggukkan kepala. Ia berjalan beriringan bersama kedua orang tuanya. Pagi ini, kedatangan mereka sedikit terlambat dari biasanya, karena hujan di pagi hari. Belum lagi harus menempuh perjalanan kurang lebih satu jam untuk sampai ke tempat tujuan.
Bagi gadis kecil seusia Kun, ikut bekerja menjadi hal yang menyenangkan. Bisa bebas bermain di sekitar area perkebunan. Rata-rata para orang tua membawa serta anak-anaknya bekerja. Apalagi semenjak perkenalannya dengan seorang teman baru. Membuatnya semakin betah. Selau ada hal baru yang diceritakan. Ia menyebutnya dengan bocah si petualang. Bersamanya, Kun mengenal banyak tempat rahasia. Namanya Junaidi.
"Lama sekali kau Kun. aku sudah menunggumu sejak tadi." Bocah laki-laki itu tampak sumringah, saat melihat Kun datang bersama kedua orang tuanya.
"Ayo, kita lanjutkan petulangan yang tertunda. Ada banyak tempat menarik yang ingin kutunjukkan. Kau pasti terkejut melihatnya." Kun gembira mendengar ajakannya. Tak butuh waktu lama, untuk memutuskan mengikuti bocah itu. Ia merasa ketagihan dengan dongeng-dongeng yang diceritakan selama berpetualang.
"Kun, jangan bermain jauh-jauh. Jangan sampai pergi ke hutan."
"Baik Bu." Kun melambaikan tangannya kepada sosok perempuan muda yang memakai topi bundar.
Petualangan pun dimulai, sepertinya ini menjadi pengalaman yang seru buat Kun. Junaidi sudah mempersiapkan dengan baik untuk petualangan ini, bocah kecil itu sudah mirip seperti penjelajah sejati. Membawa busur panah lengkap dengan tempatnya yang diikatkan di lengan. Katanya sih, "untuk berjaga-jaga dari serangan harimau ganas."
Membawa topi dan tas kecil berisi makanan dan minuman untuk bekal saat berpetualang. Dan lucunya, Kun selalu percaya dengan apa yang dikatakan Jun. Termasuk kisah tentang angsa merah, kurcaci di tengah hutan, dan rumah tua.
"Pakailah ini!" Bocah laki-laki itu menyerahkan bungkusan hitam. Berisi gelang berwarna putih
"Apa ini, Jun."
"Penolak bala. Pakailah di tanganmu. Jangan sampai kau lepaskan. Aku membuatnya beberapa hari lalu dari campuran beberapa tumbuhan yang kudapatkan dari hutan."
"Hutan? Kau berani ke sana, Jun." Bocah laki-laki itu hanya tersenyum melihat wajah Kun yang penuh keheranan.
"Aku ini bukan anak laki-laki biasa Kun. Aku punya kekuatan hebat. Kau saja yang belum tahu tentang diriku. Kau tahu tentang kisah di perkebunan karet?" Kun menggeleng.
"Di sana ada penunggunya, seorang kakek berbaju putih yang muncul setiap purnama. Tak ada yang bisa melihatnya. Hanya aku yang terpilih. Kakek itu memberiku kekuatan." Jun menepuk dadanya, seolah dia bangga dengan kekuatan yang baru dimilikinya.
Kun, masih bingung dengan yang apa yang diceritakan Jun. Tentang kekuatan hebat yang dimilikinya.
"Baiklah, petualangan hari ini kita mau ke mana, Jun." tanya Kun penasaran.
"Kita akan pergi ke sebuah rumah tua yang ada di hutan itu?"
"Tapi Jun, kita tidak boleh sampai di hutan. Itu sangat berbahaya!"
"Percayalah kepadaku. Kita cuma sebentar. Aku akan menunjukkan kepadamu sesuatu hal yang sangat misteri."
"Janji ya, kita tidak lama? Jun menganggukkan kepala. Di sepanjang perjalanan ia terus bercerita tentang harimau ganas yang sering dilihatnya di hutan. Tentang sungai angker yang dijaga hulubalang yang tak kasat mata.
Perkebunan karet yang dikelilingi hutan belantara dan banyak pepohonan besar dan rindang. Membuat bulu kuduk Kun semakin merinding.
"Pegang ini, Kun. Aku ingin menembak burung itu."
"Dengan busur kayu ini."
"Iya, lihatlah! Panahanku akan tepat sasaran." Kun, terus memperhatikan gerak Jun, ia tak berkedip sedikitpun. Penasaran, apakah memang benar apa yang dikatakannya.
Dan ternyata ... busur itu melesat jauh, tak mengenai tubuh burung. Tapi malah menyangkut di dahan pohon. Kun tertawa terbahak-bahak, menyaksikan wajah Jun yang tertunduk malu.
"Mangkanya, jangan jumawa kau Jun!"
Sesampai di hutan, Kun dikejutkan dengan bangunan tua.
"Kun, lihatlah rumah tua yang ada di ujung sana. Ada dua nisan di sebelah rumah itu. Aku melihatnya seminggu yang lalu, saat ikut pamanku berburu. Sudah lama rumah itu tak berpenghuni. Semenjak terjadi pembunuhan. Ada dua orang yang dibunuh oleh sekelompok orang. Korbannya disuruh menggali liang kuburnya sendiri sebelum dibunuh. Mengerikan Kun."
"Jun, ayo pergi dari sini. Aku tak menyukai tempat ini." Kun, beranjak pergi. Sementara, Jun masih berdiri terpaku memandangi rumah tua itu.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang bergerak di balik semak-semak. Jun segera menarik tangan Kun keluar dari hutan, dan terus berlari tanpa henti. Hingga perutku Kun mulas, serasa diaduk aduk.
"Jangan berhenti Kun. kita akan berhenti di tempat yang aman."
"Aku sudah tak kuat lagi Jun. Napasku tersenggal-senggal."
"Ayo Kun. bertahanlah. Aku takut ada harimau yang menerkam kita." Mereka berdua terus berlari. Beberapa busur panah yang dibawa Jun terjatuh. Saat hendak mengambil busur panah, Kun terpeleset. Jun kaget, ia membantu Kun berdiri. Sementara suara auman itu terdengar semakin dekat.
Jun kembali menarik tangan Kun, dan mengajaknya berlari sejauh mungkin. Setelah sampai di tempat yang aman, mereka berhenti dan bisa bernapas dengan lega. Semenjak kejadian itu, Kun tak lagi mudah percaya dengan apa yang diceritakan Jun. Tentang gelang penolak bala dan dongeng-dongeng itu, hanya Kun yang tahu.