Sakha segera memutar kemudinya, tak peduli pada beberapa orang yang memprotesi aksinya karena berbahaya. Yang dipikirkan oleh Sakha saat ini hanya keselamatan korban. Apa tadi dia ... bagaimana kecelakaan ini bisa terjadi?
Sesampainya tepat di depan lokasi, Sakha langsung memarkir kembali motornya, lalu berjalan menghampiri korban yang masih tergeletak lemah di jalan. Sejumlah kendaraan yang melintas juga turut berhenti, beberapa ada yang membantu, beberapa menonton, dan beberapa lagi malah mengambil ponsel dan mengabadikan momen. Sakha tidak peduli. Ia tetap menjalankan nalurinya untuk membantu korban.
"Bapak nggak apa-apa?" tanya Sakha, sembari meneliti penampilan sang korban dari ujung kaki hingga ujung kepala, beruntung pengemudi motor ini tengah memakai helm, jika tidak, mungkin luka yang lebih barah bisa ia dapati. Itulah fungsinya mengenakan dan mengikuti protokol keselamatan. Bukan untuk pemerintah, bukan untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri. Setidaknya ketika kita tidak bisa menghindari sebuah kecelakaan, kita masih bisa meminimalisir adanya luka parah. Apalagi di bagian kepala.
"Nggak apa-apa Pak, hanya masih shock saja," jawab paruh baya tersebut. "Saya tidak melihat gadis muda yang berdiri di tepi jalan itu tadi. Karena menghindari tabrakan saya membanting setir, tidak terlalu keras karena saya sedang menggunakan kecepatan rata-rata."
"Tidak apa-apa, yang penting Bapak selamat. Dan, motor Bapak pun, masih bisa digunakan. Saran saya, lebih berhati-hati. Dan ini," Sakha mengeluarkan sebotol air dari tas kecil yang dirinya kenakan. "Bapak minum dulu dan tenangkan diri Bapak."
"Terimakasih, Pak polisi."
"Sama-sama Pak." Setelahnya, Sakha pun ijin pamit untuk menghampiri gadis muda yang tetap bersidekap tangan dengan santai. Wajahnya masih datar ketika memperhatikan keadaan sekitar.
Kembali saling berhadapan, Sakha dibuat membisu oleh senyuman kecil yang dirinya dapati. "Saya nggak kenapa-kenapa, Abang nggak perlu khawatir," ucapnya.
Sakha tidak khawatir, sungguh, tidak sama sekali. Hanya saja ia heran, kenapa tidak ada raut wajah takut atau sedikit kaget, wanita muda ini hampir saja tertubruk oleh motor. Dan andai kata jika dia terpental ke tengah jalan dan terlindas kendaraan lain? Sakha sudah tidak tau bagaimana nasib masa depan yang akan wanita itu jalani.
"Kenapa belum pulang juga?"
"Ini, saya mau pulang, Abang. Tapi saya mau nonton dulu barusan. Mau lihatin Abang."
Jika kalian ingin tau, perkataan panjang lebar dan menyebalkan barusan itu benar-benar diucapkan dalam intonasi yang sangat datar. Apa maunya sih?! Sakha jadi heran sendiri. Perasaan sedari tadi ia digombali terus oleh gadis ingusan ini.
"Saya antar pulang, udah malam dan sepertinya kamu memang sering membuat kekacauan."
"Ya ... banyak orang yang bilang begitu. Pembuat onar, pembawa sial, itu udah biasa," jawab Kiya santai. Wanita itu malah memasukan tangan kedalam saku, mengambil sebuah permen karet, membuka dan membuang sampahnya secara sembarangan. Lalu ... mulai mengunyah dengan nikmat.
Hal itu membuat Sakha geleng-geleng kepala, polisi itu pun berjongkok, mengambil sampah barusan dan menjejalkannya pada tangan si pemilik. "Jangan buang sampah sembarangan, kamu mau saya hukum?"
"Boleh."
Melongo, Sakha benar-benar melongo. Tidak mengerti cara pikir yang gadis di hadapannya gunakan. Apa-apaan ini. "Sekarang pulang, biar saya antar. Orang tua kamu pasti sudah khawatir di rumah."
"Saya nggak punya orang tua. Hanya ada laki-laki paruh baya kolot, satu nenek sihir dan satu serigala di rumah."
"Maksud?"
"Kalau Abang mau nganterin saya pulang, kita harus kenalan dulu. Saya nggak mau diantar sama orang asing. Berbahaya, nanti saya diskidipapap gimana?"
"Ha?"
"Saya Azkiya Faaiza, nama Abang siapa?" Kiya kembali menyodorkan sebelah tangan, berharap kali ini dirinya bisa merasakan balasan dari tangan kekar hangat dan besar milik polisi tampan di hadapannya.
"Saya polisi dan saya nggak mungkin berniat jahat---"
"Kejahatan terjadi karena adanya kesempatan." Potong Kiya. "Ayo, kita kenalan dulu."
Menghembuskan napas pasrah, akhirnya Sakha mengalah dan membalas uluran tangan Kiya. "Arsakha Hakim, biasa dipangg---"
"Biasa dipanggil Sakha kan?" Kiya bertanya cuek, sembari mengunyah permet karetnya.
"Kok kamu tau?"
"Hanya menebak."
Setelah menjawab singkat, Kiya pun meninggalkan Sakha untuk berjalan ke arah motor sang polisi, menaikinya dan berteriak. "Abang, ayo, antar Kiya pulang."
_-_-_-_-_-_
Kiya menghembuskan napas jengah, sesaat setelah sampai di depan rumahnya, gerbang hitam tinggi itu masih terbuka, menampilkan seorang laki-laki kolot yang ia pandang dengan sorot mata merendahkan dan seolah-olah jijik. Seorang nenek sihir dengan body gitar, tonjol depan, tonjol belakang, dan seorang serigala jantan berkacamata yang menghampirinya secara tergesa-gesa beberapa detik setelah ia turun dari motor Sakha.
Melepas helm, Kiya lalu menyerahkan itu pada Sakha dan berucap terimakasih. Setidaknya hari ini, ia diantar pulang oleh seorang polisi tampan. Kiya memasukan kedua tangannya di saku jaket denim yang ia kenakan. Bibirnya masih santai mengunyah permen karet yang sudah tidak berasa. Sesaat kemudian ketika matanya berserobok dengan mata sang Ayah, Kiya langsung membuang permen tersebut tepat di hadapan sang Ayah.
Dan tak ayal, kelakuan itu membuat Sakha melotot. Lagi-lagi, ia mendapat kejutan dari tingkah laku Kiya.
"Maaf Pak, apa, anak saya membuat masalah." Zaidan tak menanggapi tingkah putrinya, dia sudah terbiasa, dan sudah ikhlas menerima perlakuan ini. Yang ia khawatirkan hanya kenapa anaknya pulang bersama seorang anggota polisi?
"Tidak Pak, Kiya---"
"Abang nyebut nama saya?"
KENAPA WANITA ITU SUKA SEKALI MEMOTONG UCAPANNYA? Sakha jadi heran dan mulai emosi. Ya iyalah barusan Sakha menyebut nama Kiya, orang tadi mereka sempat berkenalan. Dengan paksa!
"Saya hanya bertemu dengan Kiya, sedang menangis, tanpa sebab di pinggir jalan. Karena khawatir dan apalagi Kiya masih berseragam SMA, saya pun memilih untuk mengantarnya pulang," ujar Sakha mengacuhkan pertanyaan tidak berfaedah yang tadi Kiya lontarkan.
"Maaf Pak, anak saya merepotkan Bapak." Zaidan tersenyum canggung. Membuat Kiya mencebik.
"Tidak apa-apa, saya memang tengah bertugas malam ini."
"Bapak mau mampir dulu? Biar saya buatkan teh hang---"
"Heh! Body gitar! Jangan keganjenan ya, nggak cukup apa dapetin si Tu---"
"Kiya! Kamu apa-apaan, mereka orang tua kamu." Sakha mendesis, sedikit marah mendegar ucapan Kiya barusan.
Adelia, tersenyum canggung mendapatkan pembelaan Sakha barusan. Ia terbiasa diperlakukan seperti ini oleh Kiya. Namun wanita paruh baya itu tetap sabar, memaklumi apa yang kini Kiya perbuat.
"Abang jangan ikut campur, lebih baik, sekarang Abang pergi nugas lagi. Dan kalian ...." Kiya menunjuk, tiga keluarganya lalu menatap mereka tajam. "Ck, jangan sok peduli lagi sama kehidupan saya. Udah ah, minggir, saya ngantuk ini, capek!"
Assalamu'alaikum qaqa ...
hari ini saya emang mutusin buat up next chapter dari cerita mas Sakha. ya, mungkin seminggu ke depan sih, hehehe. Entahlah, pokoknya doain aja supaya saya bisa lanjutin nulis ini cerita ampe end