"Kenangan akan selalu membuat bekas. Tak perduli sekecil apapun itu."
"Re, gue kangen." Elang memandang dengan hangat foto yang dibingkai oleh pigura itu, sambil tersenyum.
Elang membaringkan tubuh kekarnya di kasur. Ia teringat kenangannya bersama Rere, saat sedang duduk di rumah pohon.
"Kak, lihat awannya kayak gula gula."
"Ngomong aja kamu mau gula gulakan?"
Gadis kecil itu tersenyum sambil memperlihatkan giginya yang keropos ditengah.
"Nggak boleh Re, nanti gigi kamu bolong ditengah mau?"
"Nggak mau!" Gadis itu geleng-geleng danย memanyunkan bibirnya, menggemaskan batin Elang.
"Makannya nggak boleh makan gula gula, Rere."
"Yaudah aku mau minta ke ibu aja!"
"Yaudah sana, sama ibu kamu juga nggak bakal dikasih, wlee"
"Ibu baik, nggak kayak kak Elang galak!"
"Terserah kamu deh .."
Elang tersenyum-senyum sendiri mengingatnya. Elang sangat menyayangi gadis itu sampai sekarang. Bahkan ia sampai rela menolak semua yang datang, demi dia yang tak tentu keberadaannya.
"Tunggu gue lulus SMA, gue pasti akan cari lo, Re" gumamnya, sambil memejamkan matanya. Semenit kemudian ia terlelap dan mulai masuk ke alam bawah sadarnya.
๐๐๐
Tes!
"Asyik, hujan!" Gumamnya, antusias.
Sore itu Ananta sedang berada di minimarket dekat rumahnya. Sepulang sekolah pasti ia selalu mampir untuk membeli ice cream cokelat kesukaannya. Masih saja seperti anak kecil!
Ananta memainkan air tetesan yang jatuh dari atap. Tangannya terulur untuk menampung air dan kemudian di lambungkan ke udara. Tangan kanannya memegang ice creamnya. Hujan semakin deras, mau tak mau ia harus hujan hujanan untuk pulang. Ananta sengaja tidak minta di jemput oleh abangnya, ia sama sekali tidak ingin merepotkan siapa siapa.
Ananta berlari menerobos derasnya hujan, dengan hati hati Ananta menghindari genangan. Dari arah berlawanan mobil melaju dengan kencang, membuat air genangan tersebut membasahi baju Ananta. Ia frustasi lalu menghentakan kakinya, dan menurunkan tasnya yang semula berada di atas kepala.
"Mobil kampret!!" Ananta mengumpat kesal.
"Kan jadi basah, dahlah hujan hujanan aja sekalian," gumamnya kepada diri sendiri dengan antusias.
Ananta berjalan dengan santainya di tengah hujan yang semakin deras dengan wajahnya yang mendangak, ia sangat menikmatinya. Dari kecil memang Ananta sangat menyukai hujan, dulu hampir setiap hari ia hujan hujanan saat musim hujan datang. Ananta berhenti sebentar dan duduk dipinggir trotoar. Ia melihat seekor yuyu(kepiting rumpung) kecil terbalik, Ananta segera membantu yuyu itu.
"Kasian yuyu kangkang. Jangan nyapit ya." Kata Ananta lalu membalikkan yuyu itu supaya dapat berjalan lagi. "Dadah yuyu." Lanjutnya sambil melambaikan tangan. Ananta lalu melanjutkan perjalanannya.
Tak lama ia sampai di rumahnya. Ibunya langsung menghampirinya dengan wajah memerah seperti mau marah. Hiiiii!
"Kamu kok malah hujan hujanan sih nduk! Bajunya kan besok masih dipakai, lihat tuh tasnya juga basah semua! Masih aja susah dibilangin jangan hujan hujanan! Nanti kalo kamu sakit Ibu yang riweuh!" Omel Tati sambil menjewer telinga Ananta.
"Ih, ibu sakit! Tadi itu aku kecipratan mobil, jadi basah kuyup, Bu. Lepas atuh ibu mah. Sakit tau." Bela Ananta sambil memegangi tangan ibunya yang sedang menjewer.
"Alesan aja kamu ini! Cepet sana mandi, sekalian cuci bajunya." Suruh ibunya.
"Iya iya, Bu. Galak banget sih. Cepet tua lho!" Ananta malah menggoda ibunya.
"Lho, mau tak jewer lagi?" Kata ibunya sambil berkacak pinggang. Ananta bergidik, lalu berlari ke kamar mandi.
"Ada apa sih, bu? Kok ribut ribut." Tanya Hendra, abangnya Ananta.
"Adikmu itu, lho. Hujan hujanan! Bandel pisan."
"Biarin aja, bu. Nanti kalau sakit ya dirasain sendiri."
"Lho, kamu malah ikut ngebela. Mau tak jewer?"
"Ya janganlah, ibu meni galak ih." Hendra bergidik mendengar ibunya.
Hendra adalah kakak angkat Ananta. Hendra diadopsi oleh kedua orang tuanya saat ia berumur 7 tahun. Ia anak yatim piatu yang ditinggalkan di jalanan. Rasa simpati kedua orang tuanya sangat besar, Dulu andai saja jika Hendra tidak dibawa pulang oleh Yanto, ayahnya Ananta mungkin sekarang Hendra menjadi anak yang terlantar dan tidak memiliki masa depan. Tati sangat menyayanginya sama seperti ia menyayangi Ananta anak kandungnya. Keluarga kecil, sederhana namun penuh dengan kebahagian. Setidaknya itu lebih baik daripada harus tinggal dijalanan.
๐๐๐
Elang memarkirkan mobilnya di depan Apotek, ia berjalan memasuki apotek lalu memilih obat yang akan dia beli. Stok obat dirumah Elang kebetulan habis, jadi ia harus membelinya lagi.
"Mba, ada obat--" ujar keduanya berbarengan. Lalu mereka menoleh dan beradu tatap. Ternyata dia Ananta. Gadis ini sedang memakai baju tidur panjang dan di double jaket. Sedangkan Elang hanya memakai hoodie berwarna hitam dan kolorย pendek.
"Lo? Gue duluan." Kata Elang dengan cepat.
"Saya duluan yang nyampe sini! Jadi saya duluan!" Kata gadis itu sambil menajamkan tatapannya. Mereka berdua terus saja ngeyel, tidak ada yang mau mengalah. Mbak Apoteker merasa geram lalu menggebrak etalasenya.
"Kalian ini mau beli atau ribut! Kalau mau beli saya layani, kalau mau ribut silahkan pergi!" Tegasnya.
Mereka berdua tersentak, Elang akhirnya maubmengalah.
"Nah gitu dong, laki laki harus mengalah." Kata Mbak Apoteker.
"Dia emang gitu mbak suka nggak mau ngalah." Bisik gadis itu sambil memperlihatkan raut muka yang tidak suka. Elang tidak tuli, elang mendengar semua perkataan Ananta.
"Apa lo bilang?!"
"Tuh kan baru gitu aja udah ngegas, dasar galak!"
"Lo jadi cewek ngeselin banget!" Elang sangat kesal dengan Ananta, ia selalu saja bisa membuat Elang gregetan dan banyak bicara. Hebat!
"Sudah sudah! kalian butuh obat apa?"
"Obat pilek mbak, yang langsung sembuh ada nggak? Hachihh!" Tanya Ananta lalu bersin. "Maaf, maaf." Belum juga dijawab Ananta bersin lagi hachihhh!. "Aduh gatel banget hidung saya." Mbak apoteker hanya geleng geleng lalu mengambil obat tersebut. Sedangkan Elang yang memperhatikan Ananta sejak tadi tersenyum tipis hampir tidak terlihat. Lucu juga, batin Elang.
"Ini 3x sehari sehabis makan, masnya butuh obat apa?" Kata Mbak Apoteker sambil menyodorkan obat, lalu bertanya kepada Elang.
"Hipnotik." Jawab Elang dingin. Mbak Apoteker mengangguk.
"1 kali saja sehari, jangan terlalu sering." Jelas Mbak Apoteker. Sambil menyodorkan botol berisi obat.
"Tau!" Ketus Elang
"Mbak, itu obat apa ya?" Tanya Ananta kepo.
"Itu obat tidur. Dosisnya gak boleh sembarangan, harus sesuai resep dokter." Jelas Mbak Apoteker. Ananta terkejut dan langsung menutup mulutnya dengan tangannya. Ananta tidak menyangka Elang akan melakukan hal ini.
"Ya ampun, jangan ngelakuin hal itu. Dosa besar tau! Sesulitย apapun keadaan kamu kamu nggak sendirian. Tuhan selalu bersama kamu. Kamu nggak boleh putus asa, kamu harus tetap menjalani hidup. Jangan lakukan hal itu!" Elang dan Mbak Apoteker melongo mendengar ocehan Ananta. Elang membuang napas kasar, dan memutar bola matanya, malas. Sepertinya Ananta mengira Elang akan bunuh diri.
"Apaan sih lo! Berapa Mbak?"
"Semuanya seratus ribu." Elang membayarnya, lalu beranjak pergi.
"Eh eh jangan pergi dulu! Mbak ini berapa?" Tanya Ananta.
"Sepuluh ribu." Ananta mengeluarkan uang sepuluh ribu lalu mengejar Elang yang baru saja keluar.
"Eh Mbak ini plastiknya!" Ujar Mbak Apoteker.
"Nggak usah Mbak!" Ananta membuka pintu, ternyata diluar hujan deras lagi. Ananta mengedarkan pandangannya ke sekitar, dan menangkap sosok Elang yang sedang membuka pintu mobilnya. Ananta langsung berlari menghampirinya.
"Saya nebeng boleh?" Kata Ananta sambil memegang tangan Elang.
"Gak!" Tolak Elang lalu menempis tangan Ananta.
"Deket kok darisini nebeng ya, plisss" Ananta memohon kepada Elang.
"Lo bisa jalankan?" Tanya Elang membuatnya terdiam sejenak.
"Ya bisa, tapikan sekarang hujannya deres. Kalo jalan, saya hujan hujan lagi, sembuh enggak makin sakit iya. Boleh ya.." Ananta menyatukan kedua tangannya lalu memohon. Elang membuang napas kasar.
"Nggak!" Elang membentaknya, lalu masuk ke dalam mobilnya.
Ananta jengah, ia menghentakkan kakinya. Lalu pergi meninggalkan Elang. Lagi lagi diaย harus hujan hujan, ibunya pasti marah lagi. Elang masih diam di dalam mobilnya. Ia memperhatikan punggung Ananta yang sudah menjauh dari kaca spionnya. Ia menyandarkan kepalanya ke jendela, tak seharusnya Elang seperti itu kepada Ananta. Elang menghidupkan mesin mobilnya lalu menjalankannya.
"Duh, hujan hujan lagi! Ibu pasti jewer aku." Ananta berdecak kesal, dengan keadaan bajunya sudah setengah basah. Terbesit pikiran apa sekalian aja basah-basahan ya? Ehh nggak boleh! . Tiba tiba saja dari belakangnya suara klakson mobil, menggema di telinganya. Ananta menoleh, ternyata pemilik mobil itu adalah Elang. Ananta memutar bola matanya, malas. Mobil itu sejajar dengan Ananta sekarang. Pemiliknya membuka kaca mobilnya.
"Nebeng nggak lo?" Elang masih mempertahankan keangkuhannya, ia bertanya namun tatapannya ke depan.
"Nggak usah, udah kepalang basah!" Tolak Ananta yang mempertahankan harga dirinya.
"Masuk." Suruhnya.
"Saya bilang enggak ya enggak!" Tolaknya dengan nada yang semakin tinggi.
Mendengar tolakan Ananta, Elang melajukan mobilnya. "Dasar cowok galak! Hachihh!" Ananta meneriakinya sambil bersin. Bukannya dibujuk eh malah ditinggal. Dasar cowok!
Elang menghentikan mobilnya, lalu beranjak keluar. Ia tak peduli di luar hujan deras. Elang menghampiri Ananta yang langkahnya sudah melemah. Ananta tiba tiba merasa sangat pusing, matanya sayup sayup melihat seorang laki laki menghampirinya, sudah pasti Elang. Masih dalam keadaan berdiri, Ananta merasa tubuhnya di gendong. Ia dapat melihat dengan jelas wajah Elang dari dekat. Sangat tampan menurutnya. Hidungnya mancung, matanya sipit, mulus, putih, alisnya tebal, bibirnya merah merona. Baru kali ini dia melihat cowok setampan dan sedekat ini.
"Bangun." Kata Elang sambil menepuk pelan pipinya Ananta. "Lo pura pura ya! Woi bangun!" Kini Elang jadi basah kuyup gara gara Ananta. "D-dingin.." gumam Ananta, suaranya parau. Elang yang masih berpikir bahwa Ananta berpura pura, memutar bola matanya, malas. "Sandiwara lo nggak mempan!" Elang heran kenapa sebegitu niatnya Ananta berpura pura seperti ini. Tapi, bibirnya memucat. Elang menempelkan telapak tangannya di dahi Ananta.
"Lo beneran demam?"
Emang udah demam daritadi juga bego!
Geregetan sama Elang ih!
Ia bingung, harus mengantarnya kemana. Jika mengantar Ananta ke rumahnya, ia tidak tahu lokasinya. Dan kalau dia bawa Ananta pulang, takut Ananta berpikir macam macam. Rumah sakit! Ya, pilihan yang tepat. Elang langsung melajukan mobilnya menuju Rumah sakit terdekat. Hujan semakin deras. Matahari pun sudah menenggelamkam setengah dari tubuhnya. Elang tahu mungkin Keluarganya sangat khawatir, tapi mau bagaimana lagi. Ia tidak tahu asal usulnya, dan mungkin tidak mau tahu.
๐๐๐
Ananta masih merasa pusing, perlahan ia membuka matanya. Pemandangan sekitarnya terasa asing, dimanakah aku? Batinnya. Mata Ananta menangkap sosok laki laki yang tak asing baginya. "Elang?" Ujarnya dengan suara parau. Laki laki itu sedang tidur diatas lipatan tangannya, wajahnya menghadap ke arah Ananta.
Ananta melihat jam digital di atas dinding, menunjukkan pukul 00.00. Ananta panik. Ibu, ibu, dan ibu yang sedang ada dipikirannya. Ibunya pasti sangat khawatir, sampai jam 12 malam anak perempuannya belum pulang. Apalagi keadaan Ananta tadi sedang sakit dan tidak membawa hp. Ananta berusaha bangun, namun ia terlalu lemas.
Merasakan ada gerakan Elang reflek terbangun. Elang melihat Ananta yang sudah dengan posisi duduk dan akan beranjak.
"Lo mau kemana?" Tanya Elang.
"Pulang."
"Jangan!"
"Kenapa? Ibu sama abang pasti khawatir saya nggak pulang pulang. Nanti saya dimarahin plus dijewer." Ananta malah curhat, sambil memanyunkan bibirnya.
"Dalam keadaan kayak gini lo masih berpikir akan dimarahin dan dijewer? Dasar bocah!"
"Kamu nggak pernah dijewer sama ibuku! Sakit tau!"
"Terus sekarang lo mau maksa pulang?" Ananta membuang napas kasar. Jika memaksa pulang sekarang tubuhnya masih terlalu lemah untuk menopang dirinya sendiri.
"Nggak tau." Ananta menggeleng lesu.
"Telfon orang tua lo sekarang."
"Tapi saya nggak bawa hp."
"Pake hp gue." Kata Elang sambil menyodorkan hpnya. "Ntar, gue yang ngomong biar lo nggak diomelin." Lanjutnya.
"Tapi saya nggak hafal nomernya."
"Nomer abang lo?" Ananta menggeleng.
"Nomer lo?"
"Kemarin habis ganti kartu jadi nggak hapal" Ananta tertunduk lesu. "Gimana kalo ibu sama abang nyari sampai jam segini? Kan kasian." Lanjutnya.
"Besok gue anter pulang, sekarang lo tidur lagi aja." Kata Elang sambil menatapnya teduh. Jarang jarang ada pemandangan seperti ini, batin Ananta. Biasanya tatapan Elang sangat dingin.
"Ibu sama abang gimana?"
"Mereka pasti bisa ngertiin lo. Tidur--" Suruh Elang, Ananta lalu menurutinya.
Lo orang pertama yang bisa buat gue peduli ke orang lain.
Batin Elang.
End!