Di tempat lain, Lucifer yang sedang membawa Zadkiel kini telah terbang mamasuki lapisan terakhir dari langit untuk menuju ke markas para malaikat. Ia mendaratkan diri di lembah hitam dan menurunkan tubuh Zadkiel yang sudah pingsan, Lucifer melihat dengan teliti tubuh Zadkiel.
"Sangat disayangkan kau malah menjadi budak dari mereka." Ia memalingkan wajah Zadkiel ke arah lain menggunakan kakinya. Lalu ia mengangkat kedua tangannya dengan bibir yang berkomat kamit sampai ditangannya terwujud sebuah pedang yang lumayan panjang.
"Aakhh..." Lucifer menusukkan pedang tersebut ke tubuhnya yang mengakibatkan darah keluar dari mulutnya dan jubahnya terkena darah juga. Dia kembali menggndong Zadkiel dan segera terbang menuju gerbang utama markas para malaikat.
"T-tolong, ada malaikat yang terluka." Lucifer berteriak dan tersungkur mengakibatkan ia tergeletak tak berdaya dan Zadkie terbaring di sebelahnya.
Para malaikat penjaga terkejut dan segera memanggil para malaikat Agung untuk segera datang. Setelah dua malaikat membawa Zadkiel pergi menuju kepada malaikat penyembuh, sisa dari malaikat penjaga membuat lingkaran mengitari Lucifer sambil berjaga jika sewaktu-waktu Lucifer menyerang dengan tiba-tiba.
"Tolong berikan jalan, siapa yang kalian bilang penyusup ?" Seorang malaikat bernama Uriel datang dan berjalan menuju ke tengah kerumunan malaikat penjaga, ia terkejut melihat siapa yang sedang tergeletak tak berdaya.
"Kalian, tolong bawa dia dan ikuti saya." Uriel segera berjalan sambil di ikuti oleh empat malaikat yang sedang membopong tubuh Lucifer.
"Gabriel, tolong datang ke markas selatan dan bawa juga Mikael sekarang." Uriel mengirimkan pesan kepada Gabriel melalui telepatinya. Sesampainya Uriel dan para malaikat di markas selatan, ia membuat pelindung agar Lucifer tidak dapat kabur. Setengah jam berlalu, Uriel berada didalam markas selatan di temani beberapa malaikat penyembuh yang sedang berusaha memulihkan luka dari Lucifer datang juga Gabriel dan Mikael ke dalam markas tersebut.
"Kenapa Uriel ? Apa yang..." Gabriel berhenti berbicara ketika melihat siapa yang sedang terbaring di tengah ruangan tersebut, ia mengepalkan tangannya dan tatapan matanya menyiratkan ia sangat marah. Mikael menepuk bahu Gabriel agar ia menenangkan diri.
"Kenapa dia ada disini Uriel ?" Mikael maju mendekari Uriel.
"Ia membawa Zadkiel kesini dengan ke adaan terluka parah, sedangkan Zadkiel pingsan dan sudah di ruang pemulihan. Kita tidak bisa membiarkan dirinya tewas bukan ?" Uriel menyerahkan sebuah pedang yang berhasil di cabut dari tubuh Lucifer.
"Sudah setengah jam berlalu, tetapi lukanya belum dapat sembuh, Gabriel meski kau benci dengannya, kita tidak bisa membiarkannya tewas, aku mohon sembuhkanlah dia." Uriel membujuk Gabriel supaya ia mau untuk menyembuhkan Lucifer.
"Aku mau, tetapi saat dia sudah sadar. Dia harus segera meninggalkan tepat ini." Gabriel mendekati para malaikat penyembuh dan ia ikut menyalurkan energinya yang jauh lebih besar dan kuat, dengan sekejap mata luka di tubuh Lucifer tertutup sempurna.
"Gabriel, Uriel, bisa ikut denganku ?" Mikael berjalan meninggalkan markas tersebut.
"Baiklah, saudara-saudaraku, mari kita biarkan ia istirahat terlebih dahulu." Gabriel mengajak keluar para malaikat yang ada didalam markas tersebut, di ikuti Uriel.
Setelah mereka semua keluar dan meninggalkan Lucifer di dalam untuk beristirahat sampai ia siuman, Mikael kembali membuat pelindung yang cukup kuat untuk memastikan keamanan dari keseluruhan markas malaikat. Mereka bertiga mengepakkan sayap mereka dan meluncur terbang menuju bangunan tempat Mikael, setelah mereka masuk dan duduk, Mikael memulai pembicaraannya.
"Bukannya sangat aneh jika Lucifer menyelamatkan Zadkiel sampai ia terluka ?" Mikael meletakkan pedang yang menusuk tubuh Lucifer di atas meja kerjanya.
"Sangat, padahal dulu dia yang memimpin pemberontakan hingga banyak malaikat yang terjatuh." Gabriel langsung menggapinya dengan cepat.
"Memang aneh, tapi tidakkah lebih baik juga kita tanyakan kepada Zadkiel juga ? Bagaimana ia bisa di selamatkan oleh Lucifer ?"
"Ya, sebaiknya begitu. Saat dia bangun, kita akan tanyakan kepadanya. Gabriel, Uriel aku meminta tolong kepada kalian berdua saudaraku untuk menjaga markas malaikat dan perbatasan pintu surga, aku harus pergi dan menyelesaikan satu misi penting." Mikael menatap Gabriel dan Uriel dengan tatapan yang lembut sambil tersenyum.
"Baiklah, serahkan kepada kami." Uriel membalas dengan tersenyum kepada Mikael.
"Baiklah Mikael, cepatlah selesaikan misi penting itu sebelum mereka siuman." Gabriel juga membalas senyuman dari Mikael. Setelah menyampaikan permintaannya mereka mengobrol beberapa saat sampai pada akhirnya mereka memutuskan untuk membubarkan diri karena banyak hal yang harus dikerjakan. Mikael mendudukkan dirinya sambil melihat dan memperhatikan pedang yang lumayan besar tersebut dengan teliti.
"Pedang ini seperti tidak asing, pernah ku lihat dimana ya ?" Mikael berusaha untuk mengingat kembali dimana ia pernah melihat pedang itu. Tidak ingin larut dalam memikirkan hal yang telah berlalu, Mikael bangun dari duduknya dan berisiap-siap untuk pergi menjalankan misinya.
Sedangkan di bumi, mentari kembali nampakkkan wujudnya dan menyiram seluruh dataran dengan kengatan. Justin masih terlelap di atas kasurnya, seakan-akan ada magnet yang sangat kuat hingga ia tidak terbangun meski alaram yang di pasangnya sudah berbunyi dengan kerasnya hampir selama dua menit. Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kamarnya Justin dan mematikan jam alaram tersebut.
"Justin, ayo bangun, sudah pagi sayang." Ia mengusap kepada sang anak dengan lembut.
"Engh, mama...bentar lagi." Justin kembali memeluk gulingnya.
"Enggak boleh begitu, ayo bangun. Mama sudah masakin makanan kesukaan kamu loh, ayo anak mama yang pintar." Mamanya Justin menarik perlahan tubuh Justin hingga posisinya duduk lalu mengusap pipi sang anak.
"Hoam, iya iya Justin bangun kok ma." Justin tersenyum dengan mata yang masih menutup.
"Cuci muka dan gosok gigi ya, lalu kedapur, kasihan adik kamu sudah menuggu." Mamanya Justin mengelus kepala Justin kembali dan jalan keluar dari kamar. Lalu Justin berdiri dari kasurnya untuk merenggangkan badannya, setelahnya ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya agar kembali segar dan menghilangkan rasa ngantuk.
"Ah segarnya." Justin keluar dari kamar mandi setelah 30 menit dia mandi sambil mengeringkan rambutnya, ia berjalan keluar untuk menjemur handuknya dan kembali masuk dan menuju ruang makan.
"Waw, gak biasanya kakak udah mandi jam segini ? Mau jalan ya ?" Goda sang adik sambil tertawa.
"Enak aja, lagian kenapa kalau kakak mandi pagi-pagi ?" Justin mendengus kesal.
"Ya gapapa sih, Cuma heran aja. Biasanya kan kalau ada acara spesial aja." Asley mengambil sepotong roti dan memakannya.
"Mama mana ? Kok gak kelihatan ?" Justin mengambil segelas teh hangat yang sudah tersedia di meja dan menyeruputnya.
"Oh, itu diluar barusan ada jualan kue keliling lewat, jadi mama mau beli, mungkin lagi menunggu kak." Asley kembali mnegunyah roti yang berada di tangannya.
"Keluar ah, mana tau ada donat, minta beli donat aja yang banyak." Justin beranjak dan berlari kecil.
"Heh enak aja, pokoknya harus ada kue lapis." Asley ikut beranjak dari duduknya dan ikut berlalri keluar rumah.
"Mama, beli donat ya." Justin menghampiri mamanya.
"Ma, kue lapis juga, donatnya gak usah banyak." Sang adik menyerobot posisi di samping sang mama.
"Sudah, sudah, mama belikan dua-dua. Pagi-pagi kok sudah ribut masalah makanan." Mama mereka hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala melihat kedua anaknya. Begitulah Justin dan adiknya Asley, jika bersama akan ada saja yang diributkan oleh mereka bahkan hal-hal kecil dan masalah yang sangat ringan diributkan, jika salah satu tidak kelihatan pasti mereka saling mencari.