Chereads / (Un)forgettable / Chapter 26 - Chapter 25 - Let Him Go

Chapter 26 - Chapter 25 - Let Him Go

Arin melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, air matanya terus mengalir tetapi segera ia hapus karena memburamkan pandangannya. Ia tidak ingin ada di posisi ini, dicintai seseorang di saat belum benar-benar bisa melupakan masa lalunya. Seharusnya ia tidak pernah bertemu lagi dengan Brian, hanya menambah lukanya saja. Ia tidak ingin menyakiti cowok itu, tapi tidak bisa memaksa hatinya untuk menerima seseorang saat ini. Dan itu membuatnya merasa bersalah, mengingat betapa baiknya Brian padanya.

Ia tidak tahu harus berbuat apa, biasanya ketika sedang ada masalah ia bercerita pada Joanna dan cewek berambut pirang itu selalu memberinya saran. Membuat hatinya terasa lebih lega. Namun, sekarang ia sudah tidak percaya lagi pada Joanna. Lagipula Joanna pun turut serta dalam menambah masalah ini. Ia tidak marah, hanya saja sedikit kecewa. Meskipun begitu Joanna tetap teman baiknya.

Lalu ia teringat Tiara, sahabatnya. Ia melajukan mobilnya menuju rumah Tiara. Sampai di sana ia segera keluar dari mobilnya dan mengetuk pintu rumah itu. Tak lama pintu dibuka, Tiara tersenyum mempersilakannya masuk. Sahabatnya baru pulang dari kampus, Tiara memang masih semester enam dan akan lulus tahun depan. Berbeda dengannya yang menyelesaikan kuliah hanya dalam kurun waktu tiga tahun. Lagipula ia kuliah di luar negeri sehingga bisa lulus lebih cepat.

Ia duduk di sofa, Tiara menyuguhkan minuman dan beberapa camilan. Kemudian duduk di sampingnya. Ia sangat merindukan sahabatnya, lalu memeluk Tiara dengan erat dan air matanya mengalir lagi. Perasaannya tidak karuan, sedih, kecewa dan gelisah. Tiara mengelus-ngelus punggung sahabatnya.

"Gue bingung harus ngapain, Brian ngelamar gue, minta gue buat jadi tunangannya." Arin melepaskan pelukannya. Ia memang belum menceritakan ini pada Tiara.

"Lo nolak dia?" Arin mengangguk, "kalau boleh tahu apa alasannya?"

"Gue belum bisa buka hati, gue belum bisa lupain Renald. Lagian dia langsung ngelamar gitu kan gue kaget."

Tiara tersenyum, "gue paham perasaan lo." Memegang pundak Arin, "tapi lo nggak bisa terus-terusan terpuruk karena masa lalu, itu nyiksa diri lo sendiri. Lo kayak gini berarti belum ikhlasin Renald sepenuhnya, kasian dia."

Arin termenung, "gue salah ya masih cinta sama Renald?"

"Nggak salah, tapi yang udah pergi buat apa dipertahanin? Dia udah tenang di sana. Sekarang giliran lo buat bahagia."

Arin menangis lagi. Benar, ia belum bisa mengikhlaskan kepergian Renald. Ia selalu berpikir, andai dulu tidak mengusir Renald ketika menyatakan perasaan padanya, andai mengikuti kata hatinya dan menerima Renald saat itu juga, mungkin Renald tidak akan mengalami kecelakaan melainkan tersenyum bahagia menemaninya di prom night. Arin menggeleng-gelengkan kepalanya, histeris.

"Berhenti nyalahin diri lo sendiri. Renald memang harus pergi dengan cara seperti itu, lo percaya takdir kan?" Arin menghentikan tangisnya, terdiam.

Tiara mengambil minuman di meja, menyerahkannya pada Arin. Ia pun meminumnya. Setelah itu menyenderkan punggungnya di sofa, tubuhnya terasa sangat lelah begitu pula dengan hatinya. Tiara benar, ia harus berhenti menyalahkan dirinya sendiri dan membuka lembaran baru. Tidak terus-menerus terpuruk seperti ini.

"Gue percaya, Tuhan ngirim Brian buat nyembuhin hati lo." Tiara tersenyum.

Ia berpikir, apakah memberi Brian kesempatan adalah keputusan terbaik? Tapi ia takut tidak bisa mencintai Brian dan akhirnya hanya menyakiti cowok itu karena telah memberi harapan. Tanpa mencoba ia tidak akan tahu bagaimana hasilnya. Hal yang paling penting adalah mengikhlaskan Renald, kemudian ia akan mengikuti alurnya perlahan. Sehingga hatinya akan membaik dengan sendirinya.

Langit sudah gelap, Arin memutuskan untuk pulang. Sampai di rumahnya ia langsung masuk ke dalam kamarnya, mengambil kertas di binder lalu menuliskan isi hatinya.

Dear Renald,

Ketika aku menulis surat ini berarti aku sudah mengikhlaskan kepergianmu. Maaf harus menunggu sampai tiga tahun untuk menulis ini, salahkan hatiku yang terlalu lemah. Tapi sekarang aku sadar, kamu pasti menderita melihatku bersedih setiap hari menangisimu. Kini aku ingin mengakhiri penderitaan kita, kamu bahagia di sana dan aku akan mencoba berbahagia di sini meski tanpamu.

Ada seseorang yang mencoba untuk menyentuh hatiku, temanmu sendiri. Awalnya aku menolak, tapi sekeras apapun usahaku untuk lari, Tuhan selalu punya cara untuk mempertemukan kami. Aku pun bingung, apakah aku ditakdirkan untuk bersamanya? Kalau memang iya, aku berharap bisa mencintainya setulus aku mencintaimu.

Tapi kamu jangan sedih, aku tidak akan pernah melupakanmu. Selalu ada tempat khusus untukmu. Dari awal hingga kini semuanya masih tentang kamu, kisah kamu. Bedanya dulu selalu menangis ketika mengingatmu, tapi kini aku akan tersenyum ketika mengenangmu. Semua dukaku sudah terhapus, tidak ada lagi Arin yang cengeng. Kini kamu akan selalu melihatku tersenyum ceria.

Mendadak jadi puitis seperti ini, pasti kamu tertawa. Tapi aku ingin sesekali bersikap romantis padamu, tidak apa kan? You have to know, I always love you with my own way.

Good bye

Arin melipat surat tersebut dan memasukkannya ke dalam amplop. Kemudian mengambil beberapa balon di laci dan mengisinya dengan gas helium, memberinya benang untuk mengikatkan amplop tersebut. Ia membuka jendela kamarnya, angin malam bertiup dan bintang-bintang terlihat meski tampak redup. Lalu ia menerbangkan surat itu yang diikatkan ke balon warna-warni, berharap angin menyampaikannya pada Renald. Balon-balon terbang semakin tinggi, menjauh karena tiupan angin. Bersamaan dengan rasa sedih di hatinya yang ikut terbang, merasa lebih lega sekarang. Ia tersenyum tanpa beban.

Setelah balonnya benar-benar tak terlihat, ia menutup jendela. Kemudian mencari pesawat kertas dari Brian. Ia menemukannya di dalam koper lalu mengambilnya. Tersenyum membaca pesan yang tertulis di situ. Sekeras apapun hatinya menolak, Brian memang berhasil membuatnya tersenyum dengan caranya sendiri. Ia akui bentuk perhatian cowok itu unik dan manis.

Arin menempel pesawat kertas tersebut di mading kamar tidurnya. Agar ia selalu membacanya dan selalu mengingat pesan Brian. You look better with a smile. Tidak ada lagi alasan untuk bersedih, ia harus membuka lembaran baru. Arin mengambil ponselnya dan membuka instagram. Tanpa sadar mencari profil Brian dan mengirim pesan pada cowok itu. Ia menyesal karena sudah mengirim pesan duluan, mau ditaruh di mana mukanya. Lalu menekan pesannya dan hendak memilih unsend message.  Tapi sial, Brian langsung membaca pesannya.