Setiap hari Brian, Renald, Alex, dan Lian selalu membuat ulah di SMA Pancasila. Mereka sering melanggar peraturan, membolos, merokok, dan menindas. Mereka selalu membuat heboh. Berkali-kali orang tuanya dipanggil ke sekolah, lalu mendapat surat peringatan bahkan penskorsan. Papa Renald akhirnya bisa menyempatkan waktunya untuk datang ke sekolah, meninggalkan rapat yang sangat penting. Papanya tidak dapat berkata-kata ketika berada di ruang BK bersama anaknya yang sedang disidang. Renald hanya tersenyum miring, selama ini Papa selalu menganggapnya gagal, biarlah kini melihatnya gagal sungguhan.
Di saat papanya lembur, Renald lebih memilih pergi bersama teman-temannya ke klub malam. Di sana ia hanya duduk berdua dengan Brian, mereka tidak berniat berjoget-joget tidak jelas apalagi mabuk-mabukan. Hanya berusaha menghindari rumah yang terasa menyesakkan seperti penjara. Berbeda dengan Alex dan Lian yang tampak asik meladeni cewek-cewek yang pakaiannya begitu terbuka. Setelahnya mereka dibuat repot oleh Alex dan Lian yang sudah mabuk berat, meracau tidak jelas bahkan memuntahkan isi perutnya, Brian hanya mengumpat ketika Alex muntah tepat di bahunya.
Beginilah hingar bingar kehidupan anak muda. Bagi yang tidak bisa membentengi diri justru akan tenggelam. Setidaknya Renald tidak sampai sejauh itu, selain itu Brian selalu mengingatkannya agar tidak terpengaruh oleh Alex dan Lian. Brian memang yang paling dewasa, Renald akui itu. Ia kagum padanya.
***
Renald memasuki kelas dengan pakaian yang berantakan. Baju dikeluarkan, tidak memakai dasi dan wajahnya sedikit memar.
"Renald, jam berapa ini?" tanya Bu Rini.
"Jam 9 bu," jawabnya pura-pura polos.
"Jam segini kamu baru datang! Habis darimana kamu?"
"Tadi ada anak sekolah sebelah yang ngajak duel bu, yaudah saya ladenin. Makanya saya telat."
"Kamu ini nggak ada kapok-kapoknya dihukum, yang kemarin masih kurang? Mau ditambah lagi?"
Bu Rini emosi, mengusirnya dari kelas. Renald keluar dari kelasnya dengan senang hati. Ternyata teman-temannya pun di-knock out. Sengaja membuat kerusuhan agar dikeluarkan dari kelas. Kini mereka sedang nongkrong di kantin, bernyanyi tidak jelas sambil diam-diam merokok di pojokan. Meski tingkah mereka begitu, banyak cewek yang tidak tahan melihat pesona wajah mereka. Lupakan kalau mereka nakal, wajahnya yang seperti malaikat membuatnya banyak disukai. Terdengar bel istirahat dan kini kantin mulai ramai.
"Hai Cindy." Lian melambaikan tangan, tapi Cindy terus berjalan mengacuhkannya.
"Lo masih aja ngejar-ngejar dia? Nggak malu udah ditolak mentah-mentah." Brian berdecak.
"Masa cowok kayak kita harus takluk sama cewek, harusnya kita yang naklukin cewek-cewek." Alex menatap Lian kesal.
"Eh, kita emang nakal. Tapi yang namanya hati pasti bisa luluh dan kita nggak bisa milih siapa yang bikin hati kita klepek-klepek," ucap Lian melankolis. Renald hanya tertawa ringan mendengar perkataan Lian. "Tapi tenang aja, gue masih bisa naklukin cewek kok! Mau liat buktinya?" Lian berdiri.
Mereka hanya tersenyum meremehkan, Lian membuktikan ucapannya. Ia menghentikan seorang cewek dan berlutut di hadapannya. Cewek itu terlihat kebingungan dan gugup.
"Kamu mau nggak jadi pacar aku?" Wajah cewek itu merona. Semua murid melihat aksi Lian, hening.
"Iya, aku mau," jawabnya malu. Lian tersenyum. Kembali ke teman-temannya dan dihadiahi tepuk tangan oleh Alex, Brian, dan Renald.
"Dasar cewek bodoh!" Cindy tersenyum sinis.
Cewek itu menangis berlari meninggalkan kantin, merasa dipermalukan. Lalu teman-temannya mengejar cewek malang itu. Arin yang sedari tadi memperhatikan benar-benar gemas ingin melawan mereka. Tiara berusaha menahannya, tapi ia tetap menghampiri Brian dan teman-temannya.
"Heh! Kalian bisa nggak sih sehari aja nggak bikin masalah? Dan sekarang kalian udah melibatkan perasaan cewek. Kalian bener-bener keterlaluan!" Arin menggebrak meja geng itu.
"Wah, ternyata di sekolah kita ada guardian angel." Lian bertepuk tangan.
"Rin, udah Rin. Nggak usah cari masalah, mendingan kita balik ke kelas aja." Tiara menarik tangan Arin. Ia melepaskan tangannya dari genggaman Tiara.
"Tapi kali ini udah kelewatan, Ra! Gue nggak bisa diem aja." Brian tersenyum, memperhatikan cewek yang berani melawan teman-temannya.
"Terus lo mau apa?" Renald bangkit dari kursinya menghampiri Arin.
Arin tampak berpikir, "gue mau ngajak kalian tanding basket. Kalau gue yang menang kalian jangan pernah nge-bully lagi dan berhenti bikin keributan di sekolah ini."
"Kalau gue yang menang, lo jangan pernah ikut campur masalah kita lagi," balas Renald.
"Deal," ucap keduanya serempak. Lian dan Alex tersenyum meremehkan cewek yang berani menggebraknya. Tiara menarik tangan Arin menuju kelas mereka.
Tiara tidak habis pikir, Arin berani menantang Brian dan teman-temannya untuk tanding basket. Seperti masuk ke kandang singa, mereka adalah anggota tim basket. Melawannya itu mustahil, pasti akan kalah hanya dalam hitungan menit. Pada akhirnya ia direpotkan oleh Arin karena dimintai tolong, Tiara sebagai teman tentu membantunya. Tapi jika Arin mencari masalah lagi dengan mereka ia benar-benar tidak mau terlibat. Arin pun menurut, ini yang terakhir kalinya berbuat nekad.
Mereka hanya berdua, butuh dua orang lagi agar lengkap. Tiara bingung harus mengajak siapa yang sanggup dipermalukan, pesimis akan kalah. Tapi Arin dengan kegilaannya selalu punya cara. Ia memasuki kelas XI IPA 3, semua penghuni kelas melihat ke arahnya. Beberapa teman sekelasnya waktu kelas X dulu menyapanya, sekaligus menanyakan maksud kedatangannya ke sini. Ia meminta dipanggilkan Julio-Kapten Basket. Perlu berbicara dengannya. Julio menghampirinya, sedikit canggung mendapatkan tatapan dingin milik Julio.
"Mau ngomong apa?" tanyanya datar, setelah sekian detik yang didapati Julio hanya wajah ketakutan yang Arin tunjukkan.
"Jadi gini..." Arin memainkan jemarinya.
"To the point aja," ucap Julio dingin.
Arin mengembuskan napasnya, "lo mau nggak masuk tim basket gue buat tanding nanti siang?" Wajahnya cemas takut Julio akan menolak ajakannya.
Tiba-tiba Cindy datang, ia memang anak kelas XI IPA 3 juga. "Mana mau Julio gabung sama tim lo, makanya jangan jadi sok pahlawan. Lo sendiri kan yang repot." Cindy tersenyum sinis. Julio menatapnya tajam.
"Kalau lo nggak mau juga nggak apa, gue nggak ..."
"Gue mau," tukas Julio.
Arin senang mendengarnya. Cindy tak percaya, kemudian duduk di kursinya dengan kesal. Menatap Arin penuh kebencian.
"Serius? Thank's, gue balik ke kelas ya, bye." Julio mengangguk, tersenyum padanya.
Hal yang sangat langka melihatnya tersenyum. Julio terkenal dengan wajah dinginnya, apalagi pada cewek. Arin sampai heran, takut-takut salah lihat atau mungkin matanya sedang kelilipan. Kemudian meninggalkan kelas XI IPA 3.
Tiara tidak menyangka murid misterius itu mau menerima ajakan Arin. Hampir tidak percaya, sekaligus bersyukur karenanya. Tiara juga berhasil membujuk Andi si Ketua Osis untuk ikut membantunya. Andi bilang ini kesempatan bagus untuk membuat mereka berhenti berulah, semoga saja mereka menang. Kini Arin tidak terlalu pesimis, ia yakin pasti akan menang.
Terdengar suara bel masuk, pelajaran pun dimulai. Tak terasa bel pulang telah berbunyi, saatnya pertandingan dimulai. Mereka sudah berkumpul di lapangan, begitu juga dengan murid-murid yang ingin menyaksikannya.
"Jadi lo ngajak si kapten basket ini?" tanya Brian pada Arin.
Brian tidak pernah suka pada Julio, lebih tepatnya iri. Ia selalu ingin jadi kapten basket. Dari dulu ia tidak pernah punya kesempatan untuk menyandang kehormatan itu.
"Iya, lo takut?" Arin tersenyum meremehkan.
"Gue? Takut? Ayo kita liat siapa yang lebih pantes jadi kapten basket yang sesungguhnya." Brian melirik Julio.
Permainan dimulai, Farel melemparkan bola basket ke atas dan langsung dikuasai Brian, ia menggiring bolanya dan mengopernya pada Lian. Tim Arin berusaha merebut bola tetapi Lian mengopernya pada Renald dan bola memasuki ring 1 poin untuk tim Brian. Semuanya bersorak mendukung Tim jagoannya masing-masing.
Kali ini Tim Arin berhasil menguasai bola, Arin menggiring bola dan mengopernya pada Julio, Julio menggiring bolanya mendekati ring dan skor 1 sama. Permainan terus berlanjut, Andi mengoper bola pada Arin, ia menggiring bolanya lalu men-shot, skor 5-3 Tim Arin unggul.
Kini Tim Brian semakin memperkuat pertandingannya dan tambah 1 poin, skor 5-4. Tim Brian terus menambah poin, Brian men-shot bolanya dan kini Renald yang berhasil menjebol ring lawan. Tim Brian terus menjebol ring lawannya. Kini tim Arin tertinggal, skor 8-15. Riuh tepuk tangan dan sorakan terdengar untuk tim Brian.
"Ayo Brian, Renald, Alex, Lian. Kalian pasti bisa!" Teriak para cewek yang menggilai mereka.
"Babat abis bro!" Dukung beberapa murid cowok.
Tim Arin terlihat putus asa. "Semangat Arin, Julio, Tiara, Andi. Kalian pasti bisa susul mereka." Teriak pendukung setia tim Arin.
"Kalian harus menang demi kita! Semangat, kalian pasti bisa!" Itu adalah suara dari orang-orang yang pernah di-bully oleh Brian dan kawan-kawan. Semangat Rin, kemenangan lo bukan hanya buat diri lo aja tapi buat mereka juga. Arin menyemangati dirinya sendiri.
Kini tim Arin mulai beraksi, kecepatannya meningkat. Mereka menguasai bola. Berkali-kali bolanya memasuki ring tim Brian. Kini tim Arin berhasil menyusul, skor 35-35. Saling menambah poin satu demi satu, saling menyusul satu sama lain. mengoper, merebut, menepis bola agar timnya terus menambah poin.
Poin tim Arin dan tim Brian terus bertambah. Kini skor mereka 60-60, waktu sebentar lagi habis. Semua orang akan tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kali ini bola dikuasai tim Brian, Lian menggiring bolanya lalu mengopernya pada Renald, kini Renald bermain dengan bolanya dan mengopernya pada Brian. Julio mempercepat gerakannya dan berhasil merebut bolanya, ia menggiring bolanya kemudian mengopernya pada Andi.
Bola berakhir di Arin, Arin menggiringnya namun dihalau oleh empat cowok lawannya yang berbadan tinggi dan tegap, rasa cemas terus mengganggu pikiran Arin. Namun ia teringat akan harapan kemenangan teman-temannya. Ia memfokuskan pikirannya, harus melompat seberapa tinggi dan seberapa kecang melempar bola itu agar bisa masuk ke ring, Arin memperkirakannya. Hanya satu kesempatan, entah berhasil atau gagal. Ia melompat lalu melempar bolanya, waktu seakan melambat, hening. Dan tambahan 1 poin untuk tim Arin, peluit tanda waktu habis berbunyi menghadiahinya kemenangan. Kali ini keberuntungan menyertainya.
Tim Arin bersorak gembira, begitu juga dengan para pendukungnya. Arin menghampiri Renald, tersenyum penuh kemenangan.
"Lo inget kan perjanjiannya? Cowok sejati itu nggak pernah ingkar janji. Jangan pernah langgar perjanjian itu!" Arin berlalu meninggalkan Renald.
Renald mengacak rambutnya frustasi lalu pergi meninggalkan lapangan bersama teman-temannya. Para penonton pun bergiliran meninggalkan tempat itu.
Arin memberikan minuman pada Julio, dibalas senyuman. Mereka duduk di lapangan. Arin sangat berterima kasih karena ia mau membantunya. Julio senang melakukannya, bukan untuk dirinya sendiri tapi memang tulus.
"Lo udah bantu banyak nambah poin. Lo emang jago, ya! Cocok jadi kapten basket." Arin memujinya.
"Itu juga karena gue punya partner yang bisa diajak kerja sama. By the way yang terakhir itu keren." Julio mengangkat jempolnya.
"Hahaha nggak tahu tuh, tadi itu bener-bener keajaiban. Gue aja masih nggak nyangka."
"Lo cantik kalau lagi ketawa." Julio memandangi wajah Arin, namun segera tersadar dan mengalihkan pandangannya. "Oh iya, yang lain pada kemana?" Julio mengalihkan pembicaraan, terlihat salah tingkah.
Arin tersenyum melihatnya, "nggak tahu, Tiara sama Andi paling lagi PDKT." Arin membayangkan Andi yang lugu mendekati Tiara yang agak pecicilan. "Sikap lo ternyata nggak sedingin tampang lo, ya. Ternyata lo asik orangnya, gue suka." Julio tersenyum mendengarnya.
"Udah sore. Gue anter balik, ya!" Julio berdiri.
"Serius mau nganter gue?"
"Emang gue keliatan lagi kayak becanda?" Ia mengulurkan tangannya mengajak Arin bangkit.
Kini mereka sedang dalam perjalanan pulang. Arin menunjukkan jalan menuju rumahnya, akhirnya sampai. Arin membuka pintu mobil, mengucapkan terima kasih. Julio mengangguk, lalu melajukan mobilnya menjauhi rumah Arin.