Chereads / (Un)forgettable / Chapter 6 - Chapter 5 - Suck

Chapter 6 - Chapter 5 - Suck

Ketika akan ke kantin, mereka berpapasan dengan Cindy dan dua orang temannya. Arin dan Tiara tidak mau berurusan dengan mereka, lalu berjalan melewatinya. Namun Cindy mencekal tangan Arin, ia menyunggingkan senyumnya.

"Eh, ada Miss Kutu Buku. Kok maen pergi gitu aja, sih? Nyapa dulu kek," kata Cindy dengan senyuman miringnya.

"Iya, nggak sopan tahu!" sahut Gabriel.

"Cindy, liat deh! Dia pake kacamata," kata Ula.

Cindy ingin melepas kacamata Arin, namun ia segera menepis tangan Cindy. Ia bukan orang yang pasrah saja ketika akan di-bully, selalu melawan.

"Lo cocok banget pake itu, Rin. Jadi keliatan lebih nerd." Kedua teman Cindy tertawa.

"Whatever, seenggaknya gue masih tetep cantik walaupun pake kacamata gini." Arin menyunggingkan senyumnya. Tiara mengangguk, tersenyum angkuh membela temannya.

"Oh iya, lipstik lo kemerahan tuh, mirip tante-tante tahu nggak." Arin terkekeh dan Tiara terbahak. Ia menarik temannya meninggalkan Cindy and the genk.

Cindy berteriak kesal, mengumpat. Kedua temannya mengipas-ngipasinya agar ia tidak marah-marah. Ia mengibaskan rambutnya-kesal.

Kini Arin dan Tiara sedang berada di kantin dengan makanannya. Tiara teringat, Arin punya hutang penjelasan padanya. Salah sendiri kenapa membangkitkan hasrat kepo-nya. Arin mengembuskan napas lalu membuka kacamatanya.

"What! Lo abis nangis, Rin?" Suara toa Tiara membuat orang-orang menatap mereka berdua, tiga detik kemudian mereka kembali sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

"Lo bisa nggak sih ngomongnya pelan dikit, iya gue semalem nangis." Arin berbisik pada Tiara.

"Kenapa? Lo ada masalah? Cerita aja ke gue, Rin." Tiara tampak cemas.

Arin menceritakan pada temannya kalau Farel pujaan hatinya itu ternyata sudah punya pacar. Dan lagi-lagi Tiara berteriak kaget ketika tahu siapa pacar cowok alim nan berbudi pekerti luhur itu. Sama sekali tidak menyangka cowok yang kuat iman seperti Farel bisa kepincut nenek sihir, yaitu Cindy. Fix, ia punya ilmu pelet. Tiara menduga-duga.

"Yaudahlah Rin, ngapain pake nangisin si Farel! Masih banyak cowok yang lebih baik dan lebih ganteng dari dia. Mulai dari sekarang lo harus move on!" Tiara menyemangati sahabatnya.

"Gue juga lagi berusaha," ucap Arin lesu.

"Semangat Rin, masih ada gue di sini yang bakal nemenin lo and support lo." Tiara tersenyum. Arin mengucapkan terima kasih.

"Eits, lo masih punya hutang penjelasan sama gue. Lo kenapa bisa bareng sama Renald?"

Arin mengembuskan napas, ia kira Tiara sudah lupa. Akhirnya Arin menjelaskan bagaimana kejadian tadi pagi, bagaimana ia bisa berangkat bareng Renald. Cowok rese yang sangat ia benci. Tiara antusias mendengarkan lalu tersenyum, menggoda temannya. Arin memutar bola mata, malas jika sudah diledek Tiara.

"Lo cocok tahu sama Renald." Tiara menaik-naikkan alisnya. Arin mendelik.

Tiba-Tiba Renald datang dan langsung meminum softdrink milik Arin. "Lagi pada ngomongin gue, ya?"

"Lo kayak jelangkung, ya! Datang nggak diundang tapi pulangnya harus diusir." Arin kesal.

"Bukannya jelangkung itu pulangnya tak diantar ya, Rin?" Tiara menggaruk-garuk kepalanya.

"Dia itu beda Ra, kalau nggak diusir nggak bakalan mau pergi." Arin memandang Renald jengkel.

"Terserah lo deh mau manggil apa. Gue tetep ganteng kok di mata cewek-cewek." Renald mengedipkan matanya kepada sekumpulan cewek. Mereka pun tersipu malu.

"Kecuali gue!" ucap Arin.

"Karena lo itu bukan cewek."

Arin langsung menjambaki rambut Renald, selalu membuatnya kesal dan ia harus diberi pelajaran. Ia mengaduh kesakitan mendapat serangan dari cewek ganas ini. Arin melepaskan genggaman tangannya dari rambut Renald, ia mengelus-ngelus kepalanya dan merapikan kembali rambutnya yang acak-acakan.

"Yang, lo tega banget sih sama bebeb kamu ini." Renald protes dengan manja.

"Dasar gila!" umpat Arin.

"Awas aja, gue bales lo nanti." Renald tersenyum licik.

"Coba aja kalau bisa." Arin memeletkan lidahnya, meninggalkan Renald. Tiara menyusul Arin.

Renald senang mengganggu Arin. Ekspresi marahnya sangat menggemaskan, membuatnya sejenak melupakan segala masalah. Cewek-cewek berusaha mendekatinya, berbeda dengan Arin yang justru malah menjauh. Menarik. Sebenarnya Renald tidak pernah berminat mendekati cewek, menurutnya cewek adalah makhluk yang paling merepotkan. Tapi Arin berbeda, membuatnya penasaran.

Di sekolah lamanya ia tak pernah bergaul dengan siapa pun, semuanya palsu membuat Renald muak. Berteman hanya untuk mendapat keuntungan tanpa ada solidaritas. Dulu ia sering membolos hingga hampir di drop out, sebelum itu terjadi papanya sigap memindahkannya ke SMA Pancasila agar tidak menanggung malu. Renald selalu menguji kesabaran papanya.

Renald memasuki kelas, hanya ada Joko yang sedang membaca buku. Ia membuka tas Arin dan mengambil barang Arin. Joko memperhatikan perbuatan Renald. Ia mengancam Joko kalau sampai berani mengadu. Joko ketakutan lalu kembali membaca bukunya.

Bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Semua murid kelas XI IPA 1 segera berlarian ke kelas mengambil baju olahraga masing-masing. Arin kebingungan mencari celana olahraganya, tidak ada di dalam tas. Ia ingat betul sudah membawa seragam olahraganya lengkap, tidak mungkin ketinggalan di rumah. Ia pun menyuruh Tiara untuk mengganti baju duluan. Kini ia sendirian di kelas, tampak frustasi mencari celananya yang hilang.

"Lagi nyari apa, Rin?" tanya Renald sok polos.

"Heh! Lo umpetin di mana celana olahraga gue?" Arin menarik kerah baju Renald.

"Santai manis, ada di atas sayang. Ambil sendiri ya!" Renald menyeringai kemudian meninggalkan Arin.

Arin frustasi, kini ia berada di loteng sekolah mengikuti petunjuk Renald, mencari di setiap sudut tapi tidak ada. Lalu matanya membelalak melihat tiang bendera.

"Renaaaald!!!" Arin kesal, napasnya memburu.

Arin menurunkan tali tambang tiang bendera, kemudian melepasakan celananya dari ikatan tali. Segera berlari menuju toilet untuk ganti baju. Kemudian menuju lapangan basket, napasnya terengah-engah dan keringatnya membasahi baju. Semua mata tertuju padanya, Pak Doni memberi tatapan tajam. Ia dihukum lari mengelilingi lapangan sebanyak 15 putaran karena terlambat.

Arin menjalani hukumannya. Wajahnya merah, napasnya terengah-engah. Renald yang melihatnya merasa bersalah, ia hanya niat bercanda tapi mungkin ini keterlaluan. Sementara itu Pak Doni memberikan contoh cara lay up yang benar. Semua murid memperhatikan dengan seksama kecuali Renald, ia terus melihat Arin yang masih menjalani hukumannya. Benar-benar merasa bersalah.

"Sekarang kalian praktikan masing-masing, setelah itu saya akan membagi tim masing-masing dua orang untuk men-shot bola sebanyak-banyaknya ke ring."

Arin telah selesai dengan hukumannya, ia mengambil bola basket dan men-dribble. Renald menghampiri, Arin yang mengetahuinya berusaha menghindar dan terus melanjutkan aktivitasnya.

"Arin, gue minta maaf. Gue nggak ada maksud buat bikin lo kena hukuman gitu," ucap Renald penuh penyesalan.

"Gue nggak butuh permintaan maaf lo, yang gue butuh itu kekalahan lo!" Arin tersenyum sinis.

"Oke, kalau itu yang lo mau." Renald menghela napas, "coba aja kalau lo bisa," ucap Renald dingin, kemudian berlalu meninggalkan Arin.

Renald tidak terima permintaan maafnya yang tulus diabaikan. Kini pemikirannya tentang Arin berubah, cewek berkulit kuning langsat itu sama saja seperti yang lain. Menyebalkan. Teringat dulu ketika usianya 10 tahun, ia sedang bersepeda dan tidak sengaja menabrak mobil papanya yang terparkir di halaman rumah. Mobilnya lecet, Renald meminta maaf tetapi Papa tetap memarahinya. Tanpa sadar tangannya mengepal.

"Oke, sekarang semuanya berhenti! Kita akan mulai dengan Farel dan Andi. Kalian siap?"

Pak Doni melemparkan bola basketnya ke atas, bola dikuasai Farel dan ia men-shot bolanya 1 poin, Andi merebut bolanya dan langsung men-shot, 1 untuk Andi. Waktu 8 menit berakhir skor 5-3 dimenangkan Farel. Semuanya bertepuk tangan.

"Selanjutnya Tiara dengan Joko."

Waktu berakhir, Tiara menang telak skor 8-0. Joko memang tak pandai dalam bidang olahraga. Tepuk tangan terdengar bergemuruh, Tiara tersenyum bangga.

Semuanya sudah mendapatkan giliran, hanya Renald dan Arin yang belum dipanggil. "Terakhir, Renald dengan Arin."

"Kali ini lo bakal kalah, gue akan buat lo malu," ucap Arin penuh ambisi.

"Kita liat aja nanti." Renald tetap santai.

Arin menguasai bola dan 1 poin untuknya, kemudian dibalas oleh Renald menjadi 1-1. Arin kembali menguasai bola dan men-shot-nya 2-1. Kini bola dalam kekuasaan Renald dan 3-3. Arin mempercepat gerakannya dan merebut bolanya dari Renald.

"I win." Arin tersenyum sinis.

Ia segera men-shot bolanya tetapi Renald menarik ikat rambutnya, rambutnya terurai dengan indah dan itu membuat tembakannya meleset. "Shit! Dia curang," umpat Arin.

"Kita liat kelanjutannya sayang." Renald tersenyum penuh kemenangan. Ia segera men-shot bolanya, namun Arin menarik bajunya dari belakang. Pak Doni meniup peluitnya.

"Waktunya habis, skor 3 sama." Semuanya bertepuk tangan.

"Damn it!" Renald mengacak rambutnya, "Hari ini lo beruntung, babe," ucap Renald tepat di wajah Arin. Jaraknya begitu dekat hingga Arin bisa merasakan hembusan napas Renald. Arin tersenyum sinis kemudian berlalu meninggalkan Renald.

Semenjak itu hubungan Renald dan Arin menjadi semakin menjauh. Renald tak pernah mengganggu Arin lagi.

***

Arin tampak gelisah, ia memeluk guling. Tiara hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, bingung melihat tingkah temannya. Tiara menginap di rumah Arin, orang tua Arin pergi keluar kota selama seminggu mengunjungi neneknya yang sedang sakit. Sebenarnya ia disuruh ikut, tetapi tidak mau. Tidak ingin ketinggalan pelajaran karena sebentar lagi semester genap akan dilaksanakan, ia hanya menitipkan salam untuk nenek kesayangannya.

Ia menceritakan kegelisahannya karena sekarang Renald berubah, sikapnya dingin dan tidak pernah mengganggunya lagi. Entah kenapa ia merasa kehilangan, jujur ia rindu Renald. Menurut Tiara, kini Arin sudah menyukainya. Mungkin merasa tertarik, lagipula siapa yang bisa menolak pesona Renald. Cowok bertubuh jangkung, badan atletis dan wajah yang tampan.

"Bukannya suka, tapi gue ngerasa nggak ada energi aja kalau nggak ribut sama Renald."

"Yaelah, ngaku aja Rin kalau lo suka sama dia." Tiara tersenyum.

Arin melempar bantal pada Tiara. Tidak mungkin ia menyukai Renald, selama ini ia hanya mencintai Farel. Mencintainya diam-diam. Farel adalah cinta pertamanya. Farel yang penuh perhatian, ramah, menyenangkan, semua tentangnya Arin suka. Walaupun kini ia tahu bahwa Farel sudah dengan Cindy, mau tak mau ia harus berusaha melupakannya. Arin bukan cewek yang suka merusak hubungan orang.

***

Renald mengikuti ekskul basket, setidaknya masih ada hal yang ia sukai meskipun malas belajar di sekolah. Renald memang tidak terlalu pandai di bidang akademik, tapi ia suka olahraga dan seni. Sewaktu SD hingga SMP ia sering mengikuti lomba basket dan menggambar, banyak piala terpajang di kamarnya. Namun Papa tidak pernah sekali pun hadir ketika ia menerima piala, bahkan tidak pernah mengucapkan selamat atas prestasi anaknya. Papanya lebih suka jika ia ahli di bidang Sains, Matematika dan sebagainya yang menyangkut prestasi akademik, jelas ia tidak menyukai hal-hal membosankan seperti itu. Renald merasa menjadi anak yang tidak berguna dan tidak membanggakan meskipun ia sudah berusaha keras untuk membuat papanya terkesan. Harusnya Papa paham setiap anak mempunyai kelebihannya masing-masing, jangan hanya memaksakan kehendaknya sendiri dan menekan Renald.

Kini ia berteman dengan Brian, Alex, dan Lian yang juga ikut ekskul basket. Ketiganya sudah kelas XII. Tapi karena kecintaannya pada basket, mereka masih tetap bertahan. Menurut Renald mereka bertiga sangat humble dan pastinya solid. Ketika ia baru pertama kali masuk ekskul tersebut, Brian, Alex, dan Lian yang menyapanya. Berkumpul dengan orang-orang yang memiliki hobi sama membuatnya merasa nyaman.

Mereka berempat bertekad membuat ikatan melebihi pertemanan, ikatan yang lebih kuat yaitu persaudaraan. Mereka senasib, sama-sama dianggap anak yang gagal oleh orang tuanya. Bertekad membalas orang tuanya dengan selalu membuat ulah, melawan kehendak orang tua yang memaksa mereka untuk tidak menjadi dirinya sendiri.

"Nald, coba nih!" Alex memberinya sebatang rokok.

Renald tampak ragu, ia tidak pernah menyentuh rokok sekali pun. Senakal-nakalnya paling hanya membolos, itu pun untuk menghindari pelajaran sekolah yang membosankan.

"Jangan kayak Brian, banci." Lian tertawa meledek. Brian hanya berdecak.

Brian memang tidak pernah merokok meski Alex dan Lian memaksanya berkali-kali, dengan dalih atas nama solidaritas apalagi ia sebagai ketua geng tersebut, Brian yang paling berkarisma dan memang cocok menjadi ketua. Tapi Brian selalu menolak, ia tidak bodoh untuk merusak dirinya sendiri.

"Cuma rokok bukan ganja." Alex membujuknya lagi.

"Kalau Renald nggak mau jangan dipaksa." Brian sudah mulai kesal.

Renald menimbang-nimbang tawaran temannya. Alex benar, ini cuma rokok bukan narkoba. Mungkin dengan merokok Papa akan mulai memperhatikannya, melalui prestasi tidak berhasil mungkin dengan berulah seperti ini barulah Papa akan terenyuh hatinya untuk melihat Renald. Akhirnya ia menerima rokok tersebut. Alex dan Lian tersenyum senang, sedangkan Brian hanya mengembuskan napas kasar.