Arin hanya melamun ketika temannya asyik mengajak ngobrol. Tiara sadar cerita panjang kali lebarnya itu sama sekali tidak mendapat respon, ia pun kesal dan menepuk bahu Arin.
"Eh, bengong mulu, dari tadi gue ngomong nggak didengerin apa? Lagi mikirin siapa sih?"
"Apaan sih, gue nggak mikirin siapa-siapa."
"Hmm, pasti lagi mikirin Farel."
"Ih! Siapa juga yang lagi mikirin dia, kurang kerjaan banget," ucap Arin pura-pura tak peduli.
Tiara tahu kalau Arin bohong. Mereka bersahabat sejak SMP, mana mungkin Arin bisa menyembunyikan sesuatu darinya. Kalau Arin bohong, Tiara bisa tahu hanya dengan melihat sorot matanya. Ya, Arin sebenarnya menyukai Farel. Saat pertama kali menginjakkan kaki di SMA Pancasila mengikuti masa orientasi, Farel membelanya ketika ia dihukum karena memakai seragam yang tidak ber-badge. Farel tidak terima karena seniornya terlalu berlebihan memberi hukuman. Arin disuruh memutari lapangan dengan berjalan jongkok. Alhasil, Farel justru ikut dihukum seperti Arin. Sejak saat itu ia menyukai Farel, sampai sekarang ini. Farel memang baik kepada semua orang, mungkin Arin yang terlalu berlebihan menanggapinya. Cowok baik dan pintar sepertinya pasti disukai banyak cewek.
"Kalau lo bahagia, gue juga ikut seneng." Tiara tersenyum.
"Lo emang sahabat terbaik gue." Arin memeluk leher Tiara gemas.
"Rin... Gue nggak bisa napas tahu, nggak! Kalau gue mati gimana? Nanti siapa yang bakal nemenin lo?" kata Tiara dramatis.
"Lebay banget sih lo, kalau mati ya dikubur. Lagian masih banyak kok yang mau jadi temen gue." Arin berlari meninggalkan sahabatnya.
"Awas lo, ya. Woi tungguin dong!" Tiara mengejar Arin.
Arin melihat ke belakang memastikan Tiara sudah tertinggal jauh. Ia terkekeh mengejek sahabatnya yang tidak bisa menyusulnya. Keasyikan berjalan mundur membuatnya tak sengaja menabrak seseorang. Ia pun berbalik lalu meminta maaf. Cowok yang ditabraknya tampak kesal.
"Makanya kalau jalan tuh yang bener!"
Arin tersentak karena cowok itu berbicara dengan nada tinggi. Raut wajahnya berubah jadi kesal. "Gue kan udah minta maaf, kok lo malah nyolot sih!"
Cowok itu berdecak lalu melengos pergi. Arin menatap punggungnya yang kian menjauh, sambil merutukinya. Lupakan wajahnya yang ganteng, semuanya rusak karena Arin tidak suka cowok kasar. Baru kali ini ia bertemu dengan cowok yang tidak sopan, berani-beraninya membentak cewek. Arin mengumpat. Sial! Kemudian melanjutkan langkahnya menuju kelas. Tak lama Arin duduk di bangku, Tiara datang dengan napas terengah-engah.
"Lari lo kenceng banget Rin, dikasih makan apa sih sama mak lo?"
"Batu batre!" jawabnya asal. Tiara pun tertawa.
Arin teringat cowok yang ditabraknya tadi. Ia pun menceritakan kejadian itu pada Tiara. Menurutnya, cowok itu murid baru karena memang wajahnya asing. Ia juga menceritakan betapa menyebalkannya cowok itu. Tiara bilang kemungkinan ia memang anak baru dan sepertinya akan masuk ke kelas XI IPA, entah XI IPA yang mana. Arin berharap ia tidak masuk ke kelasnya, Arin sangat kesal pada cowok rese yang bisa menaikkan tensi darahnya.
"Katanya sih ganteng, lumayanlah buat dijadiin gebetan hehe." Tiara menaik-naikkan alisnya. Arin memutar bola mata-jengah.
Bel masuk pun berbunyi, tak lama Bu Rini memasuki kelas diikuti seorang murid. Arin kaget melihat orang yang berada di samping Bu Rini. Ia adalah cowok yang baru saja Arin bicarakan. Bu Rini menyuruhnya untuk memperkenalkan diri. Kemudian kelas menjadi ramai, terdengar bisikan dari siwsi-siswi sambil tersenyum mengagumi ketampanan cowok ini. Namun, ia tetap cuek.
"Nama saya Renaldi Sebastian, pindahan dari SMA Bina Mandiri Jakarta Selatan." Ia memperkenalkan dirinya dengan malas.
Renald terus menatap Arin, ia ingat betul wajah cewek yang menabraknya tadi. Arin yang sadar dirinya diperhatikan langsung memalingkan wajah.
"Jadi cowok itu yang lo ceritain tadi." Tiara berbisik, lalu menyenggol lengan Arin. "Eh Rin, dia ngeliatin lo terus, jangan-jangan naksir lo."
Ia mengembuskan napas kasar, kenapa cowok menyebalkan itu harus sekelas dengannya. Pasti akan sangat mengganggu, ia tidak akan tentram. Belum lagi teman-teman cewek sekelasnya ribut membicarakan Renald sambil cekikikan, memanggil-manggil namanya kecentilan. Membuat Arin semakin jengkel.
"Cowok sok kegantengan!"
"Emang ganteng kok," balas Tiara sambil tersenyum. Dalam hati Arin membenarkan ucapan temannya. Tapi ia langsung menepis pemikirannya itu.
Bu Rini mempersilakan Renald duduk di bangku kosong sebelah Farel. Ia langsung menuju bangku tersebut, menjadi teman sebangku Farel. Arin berada tepat di sebelah kanannya, jarak yang cukup dekat untuk mengobrol dengannya. Namun cewek itu terlihat canggung dan tak nyaman duduk dekat dengan Renald. Farel menjabat tangan Renald, mengajaknya kenalan. Farel tak segan menjawab pertanyaan perihal masalah kelas, itu memang tugasnya sebagai ketua kelas.
Lalu perhatian Renald terarah pada cewek di sebelahnya. "Hai, sorry tadi pagi bukan pertemuan yang menyenangkan. Oh iya, nama lo siapa?"
Arin heran dengan Renald yang mendadak jadi sok ramah. "Andrea Arinata, panggil gue Arin aja." Ia tersenyum kaku.
"Oke Arin, salam kenal." Renald mengulurkan tangannya dan Arin membalas jabatan tanganya dengan ragu.
"Santai aja kali, nggak usah grogi gitu." Arin hanya tersenyum kecut.
"Hai, nama gue Tiara." Tidak ada yang mengajaknya kenalan, begitulah Tiara yang sering membuat Arin malu. Lalu dibalas anggukan oleh Renald.
Pelajaran dimulai, murid-murid membuka buku Fisika dan Bu Rini menjelaskan materinya hingga bel jam pelajaran kedua berbunyi. Bu Rini pun meninggalkan kelas, kemudian guru lain masuk dan memulai pelajarannya hingga tak terasa bel istirahat berbunyi.
Arin menarik tangan temannya membawanya ke kantin. Tiara mendengus sebal, memegangi pergelangan tangannya yang ditarik Arin. Mereka langsung duduk di bangku kantin yang kosong.
"Ra, lo ngerasa ada yang aneh nggak sih sama kelakuan murid baru itu?"
"Nggak ada yang aneh, normal-normal aja tuh." Tiara mengangkat bahu.
Menurutnya aneh, sikap Renald berubah drastis. Awalnya cuek dan songong tiba-tiba berubah menjadi ramah. Tapi bagi Tiara tidak ada yang janggal.
"Jangan-jangan dia punya kepribadian ganda!" Kini Arin malah ngawur.
"Nggak tahu tuh, lagian ngapain sih lo bahas-bahas dia? Jangan-jangan lo naksir ya? Ngaku lo!"
"Siapa juga yang naksir sama dia." Arin memutar bola mata.
Ia mengalihkan pembicaraan, menanyakan Tiara ingin makan apa. Arin tahu betul kalau Tiara tidak akan berhenti menggodanya dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan aneh itu. Ia pun memesan makanan pada ibu kantin. Lalu memberikan pesanan temannya, dibalas ucapan terima kasih. Tiba-tiba Renald datang dan langsung duduk di sebelah Arin.
"Boleh gabung nggak?" Renald menopang dagu.
Arin dan Tiara beradu pandang, menunjukkan ekspresi bingung lalu mengangguk bersamaan. Ia sehat?