"Reina?"
Gumam pria dengan senyum yang manis bagai kelinci itu. Reina menatap Jeon-gu dengan heran. Ia sama sekali tak mengenal pribadi hadapannya itu.
"Maaf?" tanya Reina bingung.
Jeon-gu menatap dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Ada rindu, dan benci dalam tatapannya. Ia menatap gadis itu tanpa jeda. Reina memalingkan wajahnya kemudian, mengajak Gina untuk segera bangun dan beranjak dari tempat itu. Baru saja Reina akan melangkahkan kakinya, Jeon-gu memegang tangan Reina sehingga ia sedikit limbung. Yunki saat ini tepat berada di sana dan memegang bahu Reina. Setelah itu ia menatap ke arah Jeon-gu.
"Ke mobil," perintah Yunki pada Reina dan Gina.
Reina akan melangkah bersama Gina. Tapi tangan pria asing yang baru Reina temui itu, seolah tak ingin melepaskannya. Yunki menyaksikan itu menatap Jeon penuh amarah.
"Dia istriku," hardiknya seraya melepaskan genggaman tangan Jeon pada Reina
Pria itu tak perduli tatapannya terpaku pada Reina. Membuat Reina takut juga Gina. Mereka segera meninggalkan tempat itu. Reina seolah menjadi magnet bagi si tuan Jeon. Tatapan matanya tak mau lepas dari Reina.
Tapi belum sempat Reina berjalan menjauh Jeon-gu mengejar dan menggenggam tanganku Reina.
"Reina yaa," lirihnya.
Mendengar panggilan lirih dan apa yang dilakukan pria itu membuat Yunki marah. Ia mendorong agar Jeon-gu menjauh. "Ke mobil sekarang!" perintahnya tegas dan harus, tanpa penolakan.
Reina menggendong Gina dan berjalan cepat ke mobil. Sementara Yunki menatap Jungkook penuh amarah, juga menghalanginya agar ia tak mengejar reina. Ia teringat akan foto yang ia terima. Jeon tak perduli dengan dorongan yang ia dapat. Ia terus menatap gadis yang berjalan menjauh itu. Tak memerdulikan sekitar.
Bug!
Sebuah pukulan melesat di wajah jein. Pria itu lalu seolah mendapat kesadaran. Ia menatap Yunki, tatapan penuh selidik. Entah apa maksudnya saat ini mereka berdua sama-sama memiliki sebuah amarah dengan alasannya masing-masing.
"Kau menyembunyikannya?" tanya Jungkook kemudian terkekeh kecil.
Yunki mengerenyitkan keningnya, bingung dengan apa maksud dari pria di hadapannya itu. Ia tak menjawab hanya saja banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul di pikirannya.
Jeon-gu memilih pergi setelah ia tau tak bisa lagi mengejar Reina. Dengan wajah yang menunjukkan ada sesuatu diantara dia dan Reina. Yunki mencatat itu baik-baik membuat banyak tanya dalam benaknya
Lalu segera juga Yunki melangkah cepat menuju mobil. Reina duduk di belakang bersama Gina. Baru saja gadis itu akan bergerak untuk pindah ke kursi penumpang. Yunki melarang.
"Di belakang saja temani Gina," titahnya.
Reina, tak kalah bingung. Ia tak mengenal Jeon-gu. Lalu siapa pria itu? Apa mungkin ia mengenalnya di masa lalu? Ia tahu betul bahwa ingatannya pernah hilang. Mungkinkah Jeon-gu salah satu bagian dari masa lalunya yang hilang?
"Ayah—" Gina ingin bertanya dalam ketakutan yang ia rasakan.
"Jangan khawatir, tak ada yang perlu Guna cemaskan. Bersama ibu saja. Kita harus kembali. Gina tak marah kan?" Yunki coba menenangkan.
Gina menatap ibu palsunya. Reina hanya tersenyum mencoba meyakinkan bahwa semua baik-baik saja. Mobil itu melaju, kembali ke rumah. Yunki merasa di sana lebih aman. 'Pun kehadiran Jeon-gu mengganggu suasana hatinya.
***
Malam hari pria pucat itu duduk di meja kerjanya. Menopang wajah dengan tangannya, kencingnya berkerut tanda ia memikirkan sesuatu. Tentu, kejadian siang tadi masih mengganggu hatinya.
'Kenapa Jeon memanggil Reina?'
'Lalu apa foto yang ia terima itu adalah foto Reina dan Jeon-gu?'
'Tunggu ... Tapi, menatap Reina tak mengenal Jeon-gu?'
'Jika benar Jeon-gu berselingkuh dengan Reya. Harusnya ia memanggil Reya, bukan Reina?'
Begitu banyak pertanyaan berputar di otaknya. Sementara jawabannya sama sekali tak bisa ia temukan. Ia memijat kepalanya yang terasa sakit, karena pikiran-pikirannya sendiri. Sungguh, ini membingungkan baginya. Tentang Reya, Reina dan Jeon-gu. Andai ia bisa bertanya pada nisan sang istri mungkin itu akan jadi pilihannya. Misteri memang untuk di pecahkan. Meski terkadang tak memberi jawaban yang pasti. Atau bahkan tak ada jawaban sama sekali.
Pintu diketuk, membuyarkan pikiran pria itu sesaat. Suara Reina terdengar dari sana.
"Masuklah."
Pintu terbuka. Memperlihatkan Reina yang berjalan masuk ke ruang kerja Yunki. Ia membawakannya teh hijau hangat agar Yunki bisa merasa lebih baik. Sejak kembali ke rumah pria itu terus berada di dalam ruang kerja. Ia lalubmeletakkan cangkir teh di meja kerja Yunki.
"Reina, duduk dulu. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan."
Reina duduk di kursi yang berhadapan dengan meja kerja Yunki. Ia paham betul jika pertanyannya akan mengarah ke kejadian siang tadi.
"Apa benar kau tak mengenal pria itu?"
Reina mengangguk, lalu menjawab, "aku sungguh tak mengenalnya."
"Lalu mengapa ia bisa mengenalmu?"
Reina berpikir sejenak, ia menimbang apa harus menceritakan tentang dirinya atau tidak. "Aku tak tau." Ia memilih bungkam.
Yunki menghela napas, kemudian mengangguk. Meksi kini sejuta tanya kembali berputar dalam benaknya. "Baiklah, kalau begitu," ucapnya diiringi senyum.
Baru kali ini Yunki tersenyum pada Reina dan itu sedikit membuat gadis itu terkejut. Ia menatap pria beberapa detik. Sampai senyum itu sirna dari wajah si pucat. Aneh ... Si dingin itu tersenyum membuat Reina tanpa sadar ikut tersenyum.
"Hmm, aku tak tau kau bisa tersenyum?"
"Kau pikir aku bukan manusia?"
"Ya, terkadang aku berpikir seperti itu," jawab Reina cepat.
"Aish," sahut Yunki diiringi kekehan kecil, membuat ia tersenyum kecil. "Aku manusia, hanya aku tak suka terlalu akrab dengan orang lain," jelasnya.
Entah mengapa kini Yunki merasa lebih bisa terbuka. Kali ini ada rasa nyaman yang membuatnya lebih bisa menunjukkan dirinya pada Reina.
"Kenapa?"
"Aku seringkali terlalu percaya dan pada akhirnya terluka."
Sama seperti aku mempercayai Reya dan akhirnya aku hanya mendapat pengkhianatan. Batinnya.
Reina tersenyum. "Aku sering terluka karena terlalu percaya. Namun, aku tak pernah berhenti percaya. Sama seperti saat ini, aku meyakini jika kau adalah orang baik sebenarnya. Dan aku rasanya percaya jika aku tak salah."
Kata-kata Reina seolah memiliki sihir yang membuat Yunki terpaku sesaat. Ia menatap gadis di hadapannya itu untuk beberapa waktu. Dan merasakan ada yang aneh, pada dirinya. Jantungnya bereaksi berlebihan kali ini. Yunki dengan cepat mengalihkan pandangannya. Ini pertama kalinya sejak Reya pergi. Ia berdebar pada wanita lain.
"Kau boleh keluar," ujar Yunki berusaha sopan agar tak terkesan seperti sebuah pengusiran.
Reina mengangguk dan berjalan keluar. Setelah gadis itu menghilang dari balik pintu, Yunki memegangi dada kirinya sejak tadi jantung berdetak tak keruan.
"Ini tak benar," gumamnya.
Tak lama Nam masuk seraya memperhatikan jam di tangannya. "Lima belas menit, dan anda bersama nona Reina. Berada dalam satu ruangan tanpa bertengkar," Nam meledek dengan senyum yang menunjukkan lekuk di pipinya.
"Aish!" dengus Yunki kesal. "Nam, aku ingin menceritakan sesuatu."
Yunki menceritakan kejadian saat ia dan Jeon-gu bertemu. Semua yang ia ketahui dengan detail pada Nam. Nam cerdas dalam memecahkan masalah. Itu juga alasannya menjadikan Nam orang kepercayaannya.
"Aku memikirkan satu kemungkinan. Bahwa nyonya Reya sudah mengetahui jika ia memiliki saudara kembar. Dan agar ia tak diketahui sebagai Reya. Ia menggunakan nama Reina untuk berkenalan dengan anak dari keluarga Jeon. Hanya perkiraanku, apa anda ingin menyelidiki lebih lanjut?"
Yunki mencoba memahami pemikiran Nam yang masuk akal. Ia kemudian menggeleng. "Tak perlu ... Aku rasa itu jawabannya."
***
Reina bersama Gina, ia memainkan tangannya anak itu, sesekali mengecup. Membuat Gina kegelian dam tertawa. Keduanya berada di kamar Gina rebah. Gina terus saja memeluk Reina, seolah tak ingin kehilangan sang ibu. Reina membelai Gina, mengecup tangan anak itu. Membuat Gina terkekeh geli.
"Ya, ibu hanya mengecup tangan Gina kenapa Gina tertawa?"
"Geli ibu, geli sekali," jawab Gina.
Reina memeluk Gina, "ayo tidur ... Besok Gina sekolah."
"Ibu ayo ceritakan bagaimana saat ibu dulu di sekolah dasar?"
Reina terdiam, sejujurnya ia tak punya kenangan masa kecil. Kecelakaan delapan tahun lalu membuatnya kehilangan seluruh ingatannya. Walaupun, sang ayah banyak menceritakan kenangan masa kecilnya. Ada fase dimana ia merasa bahwa itu bukan kenangan miliknya. Ingatannya hilang, dan ia hanya mengingatkan kejadian yang ia alami setelah sadar dari koma. Ia terdiam mencari kenangan dalam pikirannya yang tak ia temukan.
Saat itu Yunki masuk, melihat Gina yang belum tertidur.
"Gina tak tidur?" Tanyanya pria itu ia tersenyum dan berjalan mendekat ke arah Gina. dan duduk di pinggiran tempat tidur. Ia menatap Reina yang mendadak pucat.
"Reya?"
Gadis itu terdiam, Gina menatap Reina. Yunki Kemudian menyentuh wajah Reina.
"Hmm?" sahut Reina dengan wajah bingung. Berpikir tentang masa lalu membuat tubuhnya bereaksi tak baik.
"Kau baik-baik saja, hmm?" Tanya Yunki khawatir.
Reina mengangguk. "Gina bertanya bagaimana masa kecilku."
Yunki membenahi selimut Gina,"sepertinya Ibi sakit, biarkan Ibu istirahat dan akan menceritakan bagaimana masa kecilnya lain kali." Yunki coba mengalihkan pembicaraan.
"Ayah tidur di sini." Gina menggeser posisinya makin dekat dengan Reina.
Yunki merebahkan diri, ia mengusap kepala Gina lembut. Gina kini berada di tengah diantara Yunki dan Reina. Ia bahagia sekali saat ini, akhirnya bisa bersama kedua orangtuanya. Gadis kecil itu memejamkan matanya, sementara tatapan Yunki dan Reina bertemu. Cukup lama sampai akhirnya Reina mengalihkan pandangannya.
Aku akan mendapatkanmu Reina yaa. Kali ini bukan hanya untuk Gina. Tapi juga untukku. Batinnya
***