Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The Sunday Sunflower

🇮🇩lusinous
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4k
Views

Table of contents

Latest Update2
Bab 24 years ago
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1

"Diem-diem, Dit. Lo gak sadar suara lo kayak om-om mesum."

"Kampret!" Radit melemparkan kaleng sprite yang sukses menghantam kepala Gathan. Ia tak terima suara merdunya kala bersenandung dihina begitu kejam oleh makhluk yang suaranya mirip dengan ulat bulu kejepit macam Gathan.

Gathan yang sejak tadi sedang mencari sudut yang pas untuk melakukan tembakkan ke ring basket agar sempurna di foto oleh Sasha, dalam sekejap menghempaskan bolanya dan menghampiri Radit di pinggir lapangan. Ia melompat, menindih Radit yang tak siap. Tangannya dengan brutal menjambaki rambut sahabatnya tanpa ampun.

Sasha mengubah mode kamera ponselnya ke kamera depan. Tak mengacuhkan dua sahabatnya yang kini telah berguling-gulingan. Saling jambak-menjambak, geplak-menggemplak. Ia sudah muak dengan kelakuan dua makhluk itu. Kapan coba mereka bisa dewasa? Umur sudah 18 tahun, tingkah seperti anak 1,8 tahun. Malu ia punya sahabat seperti mereka.

Sepuluh menit dihabiskan Sasha untuk mengambil foto selfie paling sempurna. Seraya menunggu Radit dan Gathan reda sendiri.

"Cabut, yuk, " ujar Gathan, bangkit dari lantai lapangan basket, diikuti oleh Radit. Rambut keduanya persis seperti usai disapu topan badai.

Sasha menghembuskan napas lelah. Ia mendekati dua sahabatnya itu. Dirapikannya rambut mereka berdua dengan kedua tangannya.

"Kapan kalian berdua berhenti barantem karena hal-hal tolol," keluhnya.

"Gue sama Radit cuma gak mau mendem emosi. Lo tahu 'kan dia kesel banget sama gue karena tiap hari gue makin ganteng sementara dia makin jelek," Gathan berujar santai.

Radit mendengus.

Seusai membuat rambut Gathan dan Radit tampak lebih pantas, Sasha meraih kedua tengkuk mereka. Dan ketiga sahabat itu berjalan keluar gerbang SMA yang telah sesepi kuburan.

Mereka bertiga bolos saat jam pelajaran, datang ke sekolah saat kelas sudah dibubarkan. Sampai guru piket lelah hati menghadapi mereka.

"Kita mau ke mana, 'guys'? " Gathan bertanya, menekankan kata terakhirnya.

"Gue ogah makan es krim di tempat kemaren. Nyamuk semua. Bisa kena DBD gue!" Radit langsung mengemukakan pendapatnya.

Kemarin mereka makan es krim di taman bermain anak-anak yang sudah ditinggalkan. Di sana ada kolam kecil yang digenangi air hujan, tempat para koloni nyamuk berkembang biak, menambah pasukan, memperluas daerah kekuasaan.

"Kalo lo kena DBD gue jengukin ke rumah sakit sama Sasha. Pasti gue bawain buah sama roti. Ya, Sha?"

Sasha mengangguk. Bukan berarti ia setuju, hanya saja gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya.

"Najis! Gue tahu banget lo bakal bawa jeruk busuk sama roti jamuran. Kayak pas gue demam."

"Fitnah lo! Gue gak tahu roti yang gue beli itu jamuran. Gue ditipu, Oncom!" Tangan Gathan mencoba menggapai kepala Radit, ingin menggeplaknya, namun tak sampai.

"Beli roti aja ditipu. Tolol lo keluberan."

Gathan sudah nyap-nyap mau nampol mulut pintar Radit ketika Sasha menjerit. "Diem lo berdua! Gue gak kuat dua hari sekali ngeliat lo berdua jambak-jambakan kayak geng cabe-cabean!"

Berdehem Radit dan Gathan dengan kompak. Berlagak sok cool. Sasha bisa jadi beringas bila sudah niat menghentikan mereka berdua untuk bertengkar ria.

Baik Gathan maupun Radit tahu benar bahwa Sasha pasti sedang perang chat dengan kakaknya yang mirip papah-papah-kolot-yang-punya-anak-perawan itu hingga jadi emosi begini.

"Si Karel, nih, makin mirip emak tiri. Tiap hari ngomel mulu. Pakek ngancem-ngacem gak bukain pintu lagi. Gue jejelin sianida juga, nih, orang entar," omel Sasha.

"Istighfar, Sha," Radit mengingatkan. Wajah tololnya dikalem-kalemkan.

"Ya, udah, yuk, ke rumah gue. Males gue diomelin Karel sendirian."

"Tapi di kasih makan, 'kan?" Gathan cepat tanggap.

"Kita nge-sop ginjal Karel."

***

Sasha melirik sengit Karel yang duduk di ujung meja, bersebelahan dengan Fanala yang merupakan sahabat baik kakaknya itu. Ingin rasanya ia menjambak rambut Karel sampai botak.

"Lagi pada ngapain?" tanya Farrel, kakak sepupu Sasha. Ia datang memasuki dapur seraya menggulung lengan kemejanya.

Farrel dan Karel itu sangat berbeda. Yang satu sangat lembut berbicara dengan adiknya, yang satu sepedas oseng-oseng mercon semut rangrang.

"Biasa, Kak, Karel ribut sama Sasha," Fanala menjawab. Agak terlalu kentara bahwa ia senang dapat menjawab pertanyaan itu.

"Ribut lagi?" tanya Farrel lelah.

"Sasha, tuh, yang minta dimarahin mulu!"

"Gue gak minta, Oncom!"

"Sasha," Farrel menegur, lembut.

"Karel, tuh, Kak, ngeselin banget. Tiap hari marah-marah mulu kayak emak tiri." Sasha merengut. "Aku dapet nilai ulangan kecil di bentak-bentak, di hina-hina, dikatain kebanyakan makan micin. Kayak dia pinter-pinter aja!"

"Gue emang pinter, ya!"

Sasha mendengus. "Gak usah sok! Lo kira gue gak tahu buku-buku SMA lo udah kayak perternakan ayam petelur."

Radit dan Gathan mendengus menahan tawa. Seketika Karel mendelik tajam.

Gathan mengalihkan pandang dan menangkap wajah Fanala yang tengah saling melempar senyum dengan Farrel. Sudah semacam rahasia umum di antara dirinya dan dua sahabatnya bahwa Fanala menyukai Farrel sejak lama... sekali. Hanya saja Farrel tampaknya tak merasakan hal yang sama, malah Karel yang jatuh hati pada sahabat kecilnya itu. Lucu bukan? Mereka bertiga sudah bersahabat sejak kecil, bahkan barangkali lebih dekat dari ia dan Radit serta Sasha yang bertemu semasa MOS SMA, tapi terlibat hubungan segitiga. Ia hanya berharap persahabatannya dengan Radit dan Sasha tak berakhir seperti itu. Walau sebetulnya ia agak khawatir Sasha baper padanya.

Sejenak hening, hanya suara denting gelas Farrel yang beradu dengan lantai tempat cuci piring yang terdengar sekali selain suara kunyahan Gathan yang terus memamah. Radit yang duduk di kiri Sasha memandang wajah gadis itu dan kakak laki-lakinya bergantian, juga sosok Gathan yang sibuk mengunyah stick pocky ala iklannya.

"Kakak cuma gak mau kamu ngerasa kesulitan dan nyesel kayak kakak pas mau ujian nanti," Karel membuka suara, tenang. Nadanya sudah sepenuhnya berubah. Lelah. Menyerah. "Dan masuk perguruan tinggi negeri yang bagus itu gak gampang, Dek."

Dalam sekejap Farrel sudah menghilang dari dapur, diikuti Fanala kemudian. Radit pun ijin ke toilet. Sementara Gathan yang tak peka, harus diseret Radit untuk ikut menjauh dari meja makan itu. Itu hanya obrolan antara kakak dan adik.

"Kakak sayang sama kamu makanya Kakak sering marah kalo kamu salah. Mama sama Papa nitipin kamu ke kakak. Dan Kakak cuma ngelakuin yang terbaik yang Kakak bisa."

Sasha yang sejak tadi mendelik pada Karel kini tertunduk. Titik-titik air mata mulai membasahi meja kayu yang berwarna hangat dihadapannya.

Ia tak pernah tahan jika kakaknya bicara dengan lembut dan menyangkut orang tua mereka.

"Kamu pasti inget kalo Mama sama Papa pengen anak-anaknya masuk universitas yang sama kayak mereka."

Sasha mengangguk kecil. Air matanya masih mengalir, kian deras.

"Seenggaknya cuma itu yang kita benar-benar tahu mereka mau, Dek."

Sedu-sedan Sasha kian terdengar. Rasanya sakit sekali diingatkan akan hari itu. Di mana orang tuanya meninggal dalam kecelakaan sepulang dari acara pembagian rapor di sekolahnya. Mereka bercanda, seraya berharap anaknya dapat masuk ke universitas negeri yang sama dengan mereka, di mana mamanya juga mengajar sebagai salah satu dosen.

"Woy, Rel! Lo apain temen gue?!" teriak Gathan yang muncul ambang pintu, diikuti Radit.

"Dia adek gue, Bego," ujar Karel malas. Ia tak ada niat untuk berdebat dengan dua idiot itu kini. Sehingga ia memutuskan untuk pergi dari dapur, meninggalkan Sasha bersama dua kawan yang tak beres otaknya itu.

Gathan mendelik pada Karel. Ia dan Radit kemudian mendekati Sasha yang masih menangis seraya mengusap air mata layaknya anak kecil. Memposisikan diri di kanan-kirinya.

Tangan Gathan lembut mengusap rambut sahabat perempuannya itu. Sementara Radit berlutut, memasang wajah paling imut yang ia bisa. Tangannya berkerja menghapus air mata Sasha, sedang mulutnya berkata, "Sasha kita mau es krim? Nanti Radit beliin yang banyak. Tapi jangan nangis lagi, ya?"

Gathan hampir muntah. Namun Sasha malah tertawa diantara isaknya. Ya, walaupun cara Radit itu membuat Gathan jijik, diri sendiri malu, tapi setidaknya selalu berhasil.

"Jijik gue, Dit. Untung ganteng lo. Kalo gak udah diludahin Sasha."

***