Chereads / Untuk Aslan / Chapter 5 - Bagian Kelima

Chapter 5 - Bagian Kelima

Koridor sekolah makasih terlihat sepi karena jam masih menunjukkan pukul 06.00 Wib. Aslan berjalan santai sambil mendengarkan musik di earphone nya yang terpasang persis di telinga. Langkahnya terhenti ketika melihat pintu perpustakaan yang sudah terbuka lebar.

"Assalamu'alaikum, Pak?" ucapnya sembari melongok dari pintu.

"Selamat pagi,"

Namun, sepertinya tidak ada jawaban yang menggema di dalamnya. Aslan masuk perlahan ke dalam ruangan persegi tersebut. Earphone di telinga nya dia lepas dan dia kalungkan persis di bagian lehernya.

"Pak," sahut Aslan lagi setelah melihat seorang lelaki paruh baya yang tengah membereskan beberapa buku di rak.

"Eh, iya?" Lelaki itu menoleh ke arah Aslan dengan raut wajah yang sedikit terkejut. "Maaf, atuh, tadi Bapak lagi beresin buku-buku di sini, jadi Bapak tidak dengar kalau ada yang manggil." katanya sambil tertawa kecil.

Aslan mengangguk pelan. "Iya, nggak apa-apa, Pak." Dia duduk di lantai seperti bapak itu; persis di sampingnya.

"Tumben ini teh ada yang berangkat pagi-pagi. Ada yang bisa Bapak bantu?"

"Gini Pak, saya lagi cari jas almamater saya yang ketinggalan di sini. Apa Bapak lihat jas saya? Ada namanya kok Pak, Aslan Baskara Putra."

Lelaki paruh baya itu nampak berpikir sejenak, kemudian menatap Aslan beberapa detik. "Hm.. kayaknya teh Bapak tidak lihat ada jas ketinggalan."

"Coba ingat-ingat lagi Pak, soalnya ini penting banget buat saya."

Lagi-lagi, lelaki itu berpikir.

"Saya kan murid baru di sini Pak, dan saya nggak tahu persis bagaimana sistem di sekolah ini kalau ada salah satu murid yang nggak pakai jas itu."

"Saya baru aja masuk anggota Osis,"

"Tenang aja atuh, kamu teh tidak akan terkena hukuman dari sekolah." katanya.

"Tapi saya butuh jas itu, Pak!"

"Bagaimana atuh nya, Bapak juga tidak tahu kalau ada jas yang ketinggalan di sini. Kemarin mah ada dua murid yang ngerjain tugas di sini," jelasnya.

Aslan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ck, iya udah makasih, Pak." pasrahnya.

"Assalamu'alaikum, saya pamit." ucap Aslan sebelum pergi meninggalkan tempat itu.

"Wa'alaikummusalam."

Mungkin sebuah jas tidak akan ada apa-apanya bagi seorang Aslan, namun sebagai murid yang baik dia juga akan merasa kehilangan. Meski tidak begitu lama dia menempati sekolah ini, tetapi jas itu harus ada ditangannya.

Dia adalah seorang lelaki yang suka memakai pakaian seperti itu, terutama sweeter  yang selalu ia kenakan setiap kali berpergian. Ah, kali ini dia benar-benar merasa dirinya ceroboh menyimpan barang.

<><><>

Seorang perempuan melewatinya dengan santai sambil memainkan ponsel yang dipegang nya erat-erat. Lelaki itu mendongak memperhatikan setiap gerak-geriknya, sontak membuat bibirnya tertarik; tersenyum geli melihatnya.

"Kalau jalan jangan mainan hape mulu!" ujarnya seraya mendekat ke arah perempuan itu.

"Nanti kalau jatuh, terus nabrak, kan bahaya!" lanjutnya.

Mendengar ada seseorang yang mengomentarinya seperti itu, dia menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah sumber suara, kemudian dilihatnya laki-laki itu dengan saksama.

"Aris?" ucapnya.

Ya, laki-laki itu adalah Aris, Aris Manendra. Laki-laki yang pernah dia tahan beberapa hari yang lalu, yang juga memergokinya di depan kelas 11 Fisika.

"Masih ingat aja nama gue," katanya sembari mengusap rambutnya ke belakang. "Rania Asmara..." Dia membaca nama itu dari name tag yang menempel di bagian kiri seragam perempuan tersebut.

"Nggak usah sok deket, gue ingat nama lo karena lo sendiri yang ngasih tahu gue!"

Laki-laki itu hanya tersenyum melihat Rania.

"Nggak usah senyum-senyum sama gue, gue nggak suka sama lo!"

Lagi-lagi, Aris mengusap rambutnya ke belakang. "Lo juga nggak usah ketus gitu sama gue, kan gue bukan orang yang mau jahatin lo." ucapnya.

"Ya siapa tahu aja, suatu saat nanti lo bakal jahatin gue!"

"Rania, gue nggak mungkin jahatin lo. Gue murid baik-baik di sekolah ini,"

Meskipun awalnya dia merasa kesal dan terganggu akan kehadiran Aris, namun tata cara dia bicara sontak membuat Rania bergeming sejenak. Ponselnya yang masih tergenggam erat di telapak tangan, kini dia masukan ke dalam saku roknya.

Rania menghembuskan napas, memandang laki-laki di hadapannya. "Iya tapi gue nggak suka lo senyum-senyum gitu sama gue. Sok manis tahu nggak!"

"Jarang lho, gue murah senyum gini ke cewek. Lagian lo juga lagi berharap senyuman seseorang, kan?"

Rania berdecak kesal. Andai yang tersenyum menyambut paginya itu adalah Aslan, mungkin ini adalah perbincangan yang sangat bersejarah.

"Nggak usah sok tahu! Nggak usah sok ramal-ramal gitu, karena gue nggak butuh elo!" ujarnya dengan nada suara yang cukup tinggi.

"Gue itu butuhnya—" Rania terdiam setelah matanya menangkap seorang laki-laki yang berjalan santai dari arah lapangan. Langkah laki-laki itu semakin dekat ke arahnya, hal itu membuatnya terdiam kaku sembari sesekali tangannya meremas rok; greget.

Dia menggigit bibir tipisnya. Perlahan bibirnya tertarik membentuk bulan sabit, dia tersenyum lebar saat melihat Aslan. Laki-laki itu nampak fokus pada musik yang didengarnya lewat earphone.

"Lo kenapa lihatin Aslan begitu, naksir lo ya?"

Rania mendengus kesal, diliriknya laki-laki bernama Aris itu dengan tatapan tajam.

"Yang lihatin Aslan kan gue, suka-suka dong gue mau naksir apa nggak!"

"Bukan urusan lo,"

Aris menghela napas, tubuhnya dia sadarkan di tembok. Dia juga memandang Aslan yang jaraknya semakin dekat, "Mulai deh," batinnya. Pandangannya kembali tertuju pada Rania yang sepertinya menunggu Aslan, seakan dia mendapatkan hadiah teristimewa.

"Aslan," sapa Rania saat Aslan sudah berada di hadapannya. Laki-laki itu berniat untuk melewati, namun tangannya berhasil Rania tahan agar dia tidak melewatinya begitu saja.

"Selamat pagi, Aslan?" ucapnya sambil menunjukkan senyuman cerianya.

"Oh, jadi gini rasanya dicuekin sama cewek, dari tadi ngobrol panjang lebar tapi nggak diucapin selamat pagi." ucap Aris dengan kedua tangannya yang melipat persis di perutnya.

"Ihh, diam dong, jangan ikutan ngomong!"

Aslan melepas earphone-nya, dia memandang kedua manusia di hadapannya dengan tatapan biasa—datar tanpa membalas senyuman yang terlukis di wajah gadis berambut panjang sepunggung tersebut.

"Woy, Slan, lo disapa tuh sama si cewek aneh ini. Sapa balik gih," pintanya pada Aslan.

"Aslan, jangan dengerin cowok nyebelin itu, dia cuma iri sama kamu." kata Rania sambil menunjuk ke arah Aris.

Aslan hanya terdiam.

"Oh iya, hari ini Aslan sibuk nggak? Ikut sama Nia, ya?"

"Jangan Slan, gue nggak percaya sama ini cewek," Lagi-lagi, Aris menimpali.

"Iiih, nggak usah ikut ngomong kenapa sih," Rania sangat geram dengan sikap Aris yang selalu ikut campur urusannya dengan Aslan, yang selalu menimpali setiap perkataannya.

Aslan yang melihat pemandangan ini sangat merasa terganggu, bukan terganggu akibat Aris yang terus menggoda perempuan itu, tetapi entah mengapa dia sangat tidak menyukai situasi itu.

"Aslan, ini penting lho buat Aslan, jangan sampe nyesal nantinya." ujar Rania pada Aslan yang masih terdiam kaku di hadapannya.

"Ya udah, deh, gue balik aja ke kelas." ucap Aris. "Selamat ngobrol-ngobrol ya, sampe mulut lo berbusa," bisiknya di telinga Rania.

Dia menghentakkan kakinya, tangannya dia kepal menunjukkan kalau dia sangat kesal pada Aris. "Iiih, nyebelin banget!!!"

"Eh, Aslan mau ke mana?" Dia menahan tangan Aslan yang berniat untuk pergi.

"Jangan pergi dulu, Nia nggak bermaksud gangguin Aslan kok, serius."

Aslan menatap datar perempuan itu, kemudian melepas genggaman Rania yang melingkar di tangannya.

"Eh, iya, maaf. Terkadang Nia lupa kalau Aslan nggak mau di pegang tangannya," katanya.

"Nia hilaf, maaf, ya?"

"Tapi Aslan jangan marah ya, Nia mau ngajak Aslan habis pulang sekolah nanti. Mau ya, ya, ya?" bujuk Rania.

Rania menatap Aslan dengan tatapan seperti memohon, berharap Aslan tidak akan menolaknya.

"Sori, gue nggak bisa." jawabnya singkat.

Aslan tetaplah Aslan, yang selalu bersikap dingin kepada semua orang. Namun, jawaban Aslan tidak menumbangkan semangat Rania.

"Ada urusan?" tanya Rania.

"Iya,"

"Kalau gitu, Nia nungguin sampe urusan Aslan selesai, gimana?"

"Nggak,"

"Nggak nolak, ya?"

"Nggak boleh."

"Ya udah, Nia nunggu sampe Aslan bolehin Nia, gimana?"

"Atau Aslan mau Nia temenin dan bantuin urusan Aslan sampe selesai, ya?"

Perempuan itu mengangguk-anggukan kepalanya. "Boleh deh,"

Aslan menghela napas kasar. Sepertinya perempuan itu sudah gila, mengatakan seperti itu tanpa canggung, malu, atau bahkan tidak enak hati. Perempuan itu memang apa adanya.

"Lo ngerti nggak sih, gue itu nolak elo!" tukasnya pada Rania.

"Iya Nia tahu Aslan nolak Nia, tapi Aslan juga harus tahu kalau Nia nggak suka ditolak."

"Maka nya, Nia nunggu Aslan sampe mau," katanya.

"Lo cewek beneran apa jadi-jadian sih," ujar Aslan, yang tak pernah mengubah ekspresi datarnya.

Rania tersenyum lebar memandang Aslan yang tengah kesal.

Sesekali Aslan mengacak-acak rambutnya yang tidak gatal. "Cewek gila!" katanya yang kemudian jalan melewati Rania.

Namun tetap saja perempuan itu berusaha mengejar dan berusaha menyamakan langkahnya dengan laki-laki blesteran itu.

"Aslan kenapa sih, selalu lari kalau ketemu sama Nia? Nia kan, nggak jahatin Aslan." katanya.

"Tapi lo gangguin gue," jawab Aslan, yang langkahnya semakin dipercepat.

"Iya, maaf, dong. Tapi jangan sebut Nia cewek gila, ya?"

Aslan hanya terdiam.

"Nia kan nggak gila, Slan, cuma suka aja kalau ketemu kamu."

"Baru kali ini lho, Rania ngejar-ngejar cowok, seharusnya kamu senang karena Nia nggak cuek sama kamu."

"Lo cuek juga gue nggak peduli," ujar Aslan tanpa menoleh ke arah Rania.

"Ngomongnya aku kamu dong, supaya—" Belum sempat melanjutkan, langkah laki-laki itu tiba-tiba saja berhenti dan memandang Rania tajam.

"Supaya apa?"

Rania terdiam melihat Aslan yang memandangnya begitu dekat, ini adalah sesuatu yang membuat dirinya tidak mampu menghindar.

"Romantis?" tanya Aslan.

Jantung Rania seakan ingin merosot ke bawah. Tatapan yang Aslan beri membuat dirinya tak mampu menahan diri untuk menatapnya juga, dengan balasan yang lebih dari wajah manisnya.

"Aslan kelihatan ganteng banget dari deket," ucapnya. Tiba-tiba, tubuhnya seakan bergetar menghadapi laki-laki itu.

Aslan segera menjauh kembali, dia menghembuskan napas kasar. "Gue nggak minat sama lo," katanya.

Kemudian, dia pergi meninggalkan Rania yang masih terdiam kaku di sana, yang masih memandangi punggungnya yang semakin detik semakin menjauh. Sesekali dia menggigit jari telunjuknya, entah merasa senang atau merasa kesal.

<><><>

Setelah Aslan membereskan buku-bukunya ke dalam tas, dia merogoh kolong mejanya untuk mengecek apakah ada sesuatu yang tertinggal atau tidak.

"Oh iya, Slan, gue nemuin susu di kolong meja lo. Itu punya lo?" tanya Aris.

"Susu apa?"

"Susu kotak rasa cokelat,"

Aslan hanya diam, kemudian dia mengeluarkan kotak susu tersebut dari dalam kolongnya.

"Nih, buat lo aja, gue nggak suka!" ujar Aslan sembari menyodorkan susunya kepada Aris.

"Eh, serius?"

Aslan hanya mengangguk, kemudian dia berdiri dan merapikan seragamnya. "Gue mau ke perpus, lo ikut?"

"Enggak deh, Slan. Gue mau ke kantin aja, lapar banget!" Kemudian, Aris pun ikut berdiri. "Ini susunya udah kadaluwarsa belum?" tanyanya.

"Udah, minum aja, nggak bakal keracunan." jawabnya sambil berjalan ke luar kelas.

Akhirnya, dia menerima susu yang Aslan berikan untuknya. Meskipun sedikit ragu, namun minuman berenergi tersebut mampu membuatnya cukup senang. Aris pergi ke arah kantin, sedangkan Aslan pergi menuju perpustakaan yang letaknya lumayan jauh dari kelas.

Seketika langkah laki-laki berdarah Jerman tersebut berhenti karena melihat sosok yang tidak diinginkan. Siapa lagi kalau bukan Rania Dinda Mitra, seorang perempuan yang entah mengapa selalu mencuri-curi waktu kosongnya.

Dia menghembuskan napas kasar, berjalan dengan langkah cepat agar bisa menghindari perempuan itu. "Cewek pluto!" gumamnya.

Namun saat mereka saling berhadapan, Aslan tidak meliriknya sama sekali. Dia hanya terus berjalan tanpa menoleh ke arah sampingnya, kecuali Rania yang selalu berharap kalau Aslan bisa meliriknya walau hanya satu detik.

"Aslan!" Panggilan itu meluncur persis di telinga Aslan, sontak membuat langkahnya dipercepat.

"Aslan kok jahat banget sih, padahal Nia cuma mau ngasih tahu kalau jas almamaternya Aslan ada sama Nia."

Rania menghentakkan kakinya beberapa kali, geram melihat tingkah Aslan yang begitu dingin. "Tuhan.. kenapa sih, Rania Asmara nggak pernah bahagia? Sebentar aja, Nia pengin banget."

"Gue berharap banget kalau Aslan yang bakal jadi pangeran kebahagiaan gue," katanya.

"Aamiin."

Tanpa berpikir panjang lagi dia langsung bergegas pergi dari tempat itu menuju kantin. Walaupun dia tidak yakin Aslan akan ada di sana, tapi setidaknya dia punya alasan yang kuat untuk menyantap makanan-makanan ibu kantin.

<><><>

Aslan menyandarkan punggungnya di kursi, beberapa kali dia membolak-balikkan lembaran buku ditangannya. Perasaannya seperti tidak normal, ada sesuatu yang mengganjal dihatinya tetapi dia tidak tahu itu apa.

Asha;

Slan, gue ada sesuatu loh buat lo,

Pesan itu muncul di layar ponselnya. Dia mulai mengetikkan sesuatu untuk membalas pesan yang dikirim dari saudara kembarnya.

Aslan;

Apaan?

Asha;

Lo cek aja sendiri di sosmed

Aslan;

Awas aja lo macem-macem!

Asha;

Cuma satu macem kok, tenang. Woles bro,

Aslan mulai mengetik lagi untuk membalas pesan adiknya itu. Walaupun terkadang menyebalkan, namun dia tetap adik yang selalu mengerti dan dia sayang.

Aslan;

Oke, gue cek pake sosmed lo

Asha;

Oke, hari ini masih berlaku, tapi besok lo gak boleh pake sosmed gue lagi. Titik.

Just read

Aslan tidak membalas pesannya. Dia segera login ke akun bernama Asha Nofita Putri untuk melihat apa yang tengah perempuan itu lakukan di sosial media. Aslan terkejut, matanya membuka lebar sembari menatap tajam layar ponselnya tersebut, dia kesal.

Aslan;

Kenapa lo buat akun pake nama gue?

Alay lo..

Dia mengirim pesan secara berturut-turut pada Asha. Baru kali ini dia melakukan hal semacam itu, biasanya dia paling tidak suka saling membalas pesan. Saat itu juga dia menonaktifkan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celana, dia pergi dari perpustakaan menuju kantin. Entah, apa yang membuatnya kesal dia selalu ingin mengisi perutnya dengan makanan atau minuman.

Sesampainya di kantin, suasana tidak mengenakkan hati mulai menghampiri. Sosok gadis berambut panjang sepunggung tersebut langsung menengok ke arah Aslan dengan senyumnya yang mengembang. Namun sayang, Aslan tetaplah Aslan yang dingin, dia tidak menghiraukan perempuan itu.

"Aslan Baskara Putra!" bisikan seseorang yang mengganggu telinganya, dia mengenal suara itu meski samar-samar.

Setelah dia berhasil membeli minuman, dia mencari tempat duduk. Laki-laki itu berjalan tanpa melirik ke arah samping kanan-kiri yang tengah membicarakan dirinya.

"Aslan mau cari tempat duduk, ya?" tanya Rania yang mulai mengikuti langkah Aslan.

"Duduk di pojok sana aja, yuk!"

"Enak tuh, deket pohon, pasti adem banget."

"Yuk, Slan," ajaknya.

Rania menarik lengan laki-laki tersebut sehingga membuat beberapa pasang mata memperhatikan mereka.

"Lo bisa nggak sih, nggak usah sok cari perhatian sama gue?!"

Tiba-tiba, langkahnya berhenti. Perkataan laki-laki itu mampu membuat detak jantungnya merosot hingga ke perutnya. Aslan yang melepas genggaman Rania membuat perempuan bertubuh mungil tersebut bergetar.

"Nia nggak ada maksud buat cari perhatian sama Aslan kok," jawab Rania pelan.

"Nia kan, niatnya baik sama kamu. Nia mau jadi teman kamu, nggak boleh?" tanyanya.

Aslan masih terdiam, jakunnya terlihat naik turun.

"Nia tahu kamu cuek sama Nia karena kamu belum kenal kan, iya kan, Slan?"

"Kan ada pepatah bilang—"

"Nggak usah lanjutin!" serobot Aslan sebelum Rania melanjutkan perkataannya.

"Gue tahu lo mau ngomong apa!"

Rania tersenyum lebar, matanya berbinar memandang Aslan. "Aslan tahu apa yang ada dipikiran Nia?" tanya Rania dengan pipinya yang merah bagaikan kepiting rebus.

Sesekali Aslan melirik kanan dan kirinya, hanya beberapa orang yang menatapnya tak biasa. Beruntung, suara bel masuk bergema di seluruh seantero sekolah membuatnya merasa sangat lega karena bisa segera ppergidari hadapan gadis itu.

"Udah bel masuk, bye!"

Aslan pergi meninggalkan Rania yang tengah menunggu jawaban. Rasa nya, dia ingin menghancurkan suara bel yang menggema di seluruh seantero sekolah, hal yang membuat laki-laki berdarah Jerman tersebut pergi dari hadapannya. Lagi-lagi, dia mendengus kesal.

"Awas aja lo bel, gue bakal hancurin lo kalau nanti ganggu gue sama Aslan lagi. Fix, gue kesel!" gerutunya.