Aslan membuka pintu kamarnya, dia meletakkan tas dan melepas sepatunya. Tubuhnya langsung ia baringkan di atas kasur dan merasakan hembusan angin dari AC yang menyejukkan tubuh.
"Capek!" gumamnya. Tangannya merogoh saku celana untuk mengambil sebuah benda elektronik mungil berwarna hitam.
"Tadi gue lihat ada postingan aneh nih, dari akun nya si Aris. Apaan sih," Dia mulai membuka media sosial, lebih tepatnya media sosial Asha.
Dia membuka profile akun teman sosial medianya bernama Aris Manendra. Laki-laki itu adalah teman pertamanya di SMA Nusa Bangsa.
(Cantik, tapi aneh)
Dia meng-upload sebuah foto perempuan berambut panjang sepunggung yang tengah duduk manis di bangku dengan ponselnya yang menempel di telapak tangan. Perempuan itu nampak menunjukkan ekspresi tawa, entah melihat apa di ponselnya.
"Nggak ada kerjaan banget sih, foto-foto orang!" Dia zoom foto tersebut, "cewek stress, ini—" Ya, dia ingat kalau perempuan itu adalah Rania, yang selalu mengejar Aslan dan terlalu banyak bicara.
"Aslaaan!!!" teriak seseorang yang mendobrak pintu kamarnya tiba-tiba, sontak membuatnya terkejut.
Aslan terbangun karena terkejut dan dia melempar ponselnya, yang kemudian jatuh diantara bantal-bantal. Dia mendengus kesal, segera mengambil ponselnya kembali.
"Kenapa sih, teriak-teriak? Ini kamar gue, bukan pasar ayam!"
"Lo juga kenapa sih, buka-buka sosmed gue mulu?!" Perempuan itu duduk di atas badcover, menatap Aslan dengan tajam dan bibirnya yang mengerucut ke depan.
"Gue ganti kata sandi, lo selalu tahu. Kalau gue ganti lagi, lo ngadu ke Bunda. Sebenarnya lo niat punya sosmed nggak sih, Slan!"
"Gue kan udah bilang ke lo, ini kamar gue bukan pasar ayam. Jangan teriak-teriak nggak jelas. Berisik."
"Aaahhh..., Bundaaa!" Perempuan itu merengek di hadapan Aslan. "Aslan jahat banget sama Asha!" teriaknya.
"Husst, siapa juga yang jahat sama lo? Kan gue cuma buka sosmed lo, nggak ngapa-ngapain juga!"
"Terus gimana kalau ada yang chat gue? Pasti lo bakal balas yang macam-macam, kan?" Lagi-lagi, dia merengek bagaikan anak kecil. "Bundaaa!" teriaknya.
Karena geram dengan tingkah saudara kembarnya itu, Aslan menutup mulut Asha dengan telapak tangannya. "Jangan jadi tukang ngadu, nggak baik!" katanya.
Asha menatap Aslan dengan kesal, kemudian Aslan melepaskan tangannya dari mulut perempuan itu.
"Maka nya bikin sosmed sendiri. Jangan buka-buka punya orang, itu lebih nggak baik!" ujar Asha.
Aslan hanya menatap perempuan itu dengan tatapan datarnya, yang hanya memainkan mata sebagai ekspresi.
"Hidup di jaman modern kayak gini itu harus punya sosmed, supaya nggak jadul-jadul amat!"
"Kalau lo nggak mau bikin akun, entar gue yang bikin pake nama lo," ucap Asha.
Dia mengambil ponselnya dari dalam saku rok nya. "Nih, apa gue harus buat sekarang?" tanya nya pada Aslan.
Perempuan itu tengah mengetikkan sesuatu, namun Aslan mencoba merebut ponselnya. Alhasil, Asha tetap Asha. Dia tidak berhasil menghentikan aksi saudara kembarnya yang ingin membuat akun baru menggunakan data pribadinya.
Aslan mendengus kesal. "Sha, jangan buat akun pake nama gue dong!" katanya.
"Bodo amat, gue nggak peduli lo mau ngomong apa!"
"Gue nggak mau punya akun, entar bisa nambah ribet hidup gue," ucap Aslan.
Dia mengacak-acak rambutnya karena kesal dengan tingkah Asha. "Sha.., please jangan buat!"
Asha menghentikan jari-jemarinya, memandang Aslan yang sepertinya sudah sangat kesal. "Khawatir banget sih," ujarnya sembari cengengesan.
"Padahal punya sosmed itu enak, Slan," Asha menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku rok nya.
"Lo bisa punya teman banyak dari situ. Terus lo juga bisa punya banyak fans, secara lo kan muka nya nggak beda jauh dari muka gue yang imut dan menggemaskan ini."
"Pede banget lo,"
"Ya ampun, Aslan!" Dia menepuk dahi nya.
"Aslan Baskara Putra kembarannya Asha Nofita Putri. Lo sering ngaca tapi nggak pernah peka? Fix, lo nggak pernah bersyukur, Slan." katanya.
Aslan tidak memperdulikan coletehan Asha yang menurutnya tidak penting, yang selalu membuatnya merasa bosan. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur, memperhatikan Asha baik-baik.
"Lo kan anak alay, dan gue nggak minat jadi pengikut lo," ucap Aslan.
Asha mencubit kaki Aslan dengan gemas. "Iiiih..., awas aja lo kalau buka sosmed gue lagi. Gue bakal bikin akun pake nama lo, fix!"
"No!" tegasnya pada Asha sembari mengusap kaki yang dicubitnya.
Kemudian, Asha berdiri dengan meninggalkan wajah masamnya. Sedangkan Aslan tidak peduli Asha ingin bersikap seperti apa, karena dia sudah mengenal sekali sifat dan sikap adiknya itu. Meski begitu, dia sangat menyayanginya.
<><><>
Malam ini terasa sangat menyenangkan bagi Rania yang terus mengendus aroma parfum dari jas nya Aslan. Pakaian dengan bahan cukup tebal tersebut ia letakkan disampingnya, membuat tubuhnya ingin terus memeluk dan merasakan kehangatan.
"Baju nya aja wangi banget, apa lagi orangnya!" Dia memeluk sembari sesekali menatap pakaian itu dengan saksama.
Senyumnya tak pernah pudar, bahkan satu detik pun ia tak pernah melewatkannya untuk memikirkan laki-laki keturunan Jerman tersebut. "Aslaaan," gumamnya.
Mungkin manusia memang suka begitu. Menyukai hal yang sama sekali belum dia tahu, apakah hal itu akan membuatnya senang atau justru sebaliknya. Tapi, Rania tak pernah menginginkan hal tersebut, yang menyukai Aslan hanya dalam beberapa detik saja. Seandainya dia mengenal Aslan sejak dulu, dia pasti sudah menjadi seseorang lebih berharga sekarang, pikirnya.
"Nia," Seseorang membuka kenop pintu kamarnya, perlahan masuk dengan membawa segelas air susu yang masih hangat.
"Mama buatin kamu susu, nih. Kamu minum sampai habis ya, Nak?" ucapnya.
Suara itu adalah suara yang selalu Rania rindukan di setiap malamnya. Suara seorang wanita paruh baya, yang tak pernah mau membagi waktunya di setiap detik.
Perlahan senyumnya memudar. Dipandanginya wajah perempuan tersebut dengan saksama, memperlihatkan raut wajah yang entah dia sendiri bingung. Dia duduk sejajar dengan perempuan yang sering dia sebut "Mama".
"Tumben Mama perhatian sama Nia," ucapnya dengan nada pelan. Namun, perempuan itu pasti mendengarnya karena di ruangan ini hanya ada mereka berdua.
"Mama—"
"Mama mau suap aku?" serobotnya.
Perempuan itu bergeming untuk beberapa saat. Membuat Rania merasa tidak nyaman dengan situasi itu, kemudian dia mengambil susu hangat yang di bawa oleh Mama nya.
"Oke, Nia minum." Dia mulai meneguk minuman itu dengan perasaan kacau. Entah harus merasa senang atau justru sebaliknya, dia tidak tahu.
"Mama sayang sama kamu, Nak." ucapnya setelah beberapa detik terdiam. "Maafin Mama, kalau Mama sudah membuat kamu kecewa. Mama melakukan itu untuk kebahagiaan kamu juga, supaya kamu bisa hidup dengan layak sesuai yang kamu inginkan."
"Udahlah, Ma, aku ngantuk!"
Dia meletakkan minuman itu di atas meja, dan dia kembali membaringkan tubuhnya di kasur. "Malam ini Nia nggak mau di ganggu," Tubuhnya membelakangi perempuan paruh baya itu, pakaian Aslan pun dia dekap erat-erat.
Tak terasa air matanya jatuh begitu saja, mengalir bagaikan hujan yang membasahi bumi tanpa memberinya isyarat. Meski begitu, dia rindu melakukan hal-hal yang membuatnya senang setiap kali berada dalam pelukan ibunya.
Mungkin bersikap seperti itu membuatnya merasa lebih baik karena waktu yang dia lewati tak pernah menyisahkan kenangan terindah lagi. Menjadi seorang gadis yang periang dan tak pernah menunjukkan ekspresi sedih nya tidaklah mudah bagi seorang Rania.
Semua itu dia lakukan semata-mata hanya karena tidak ingin merepotkan orang lain dan menjadi salah satu orang yang mendapatkan belas kasihan lebih. Dan mungkin hal yang membuatnya senang sekarang hanyalah Aslan Baskara Putra. Walaupun laki-laki itu dingin, sedingin es yang bertaburan di belahan bumi utara dia tidak peduli akan hal itu yang terpenting adalah dia yang berhasil membuatnya lupa kalau dunianya sepi.
"Mama tahu Mama salah," ucap perempuan itu pelan.
Karina. Itulah nama asli perempuan tersebut. Perempuan yang sudah melahirkan Rania ke dunia ini. Perempuan yang selalu dia sebut Mama.
"Sekolah kamu lancar, Sayang?" Karina berusaha sekeras mungkin untuk mengajaknya berbicara.
"Tadi pulang jam berapa?"
"Besok Mama belikan kamu motor ya, soalnya Mama tidak mau anak Mama capek-capek."
"Nggak usah." balas Rania.
"Besok kamu mau sarapan apa, Sayang?"
"Sandwich cokelat?"
"Nasi goreng?"
"Atau mau telur urak-arik?"
"Yang asin, kan?"
Entah. Karina selalu berusaha mengajak Rania berbicara tetapi yang dilakukan gadis kecil itu hanya diam dan menutupi wajahnya dengan bantal. Melihat respon gadis kecilnya seperti itu, dia segera beranjak dari atas tempat tidur.
Dia membelai sekali lagi rambut panjangnya. "Mama keluar ya," bisiknya di telinga Rania.
"Selamat malam, Sayang. Selamat tidur. Mimpi indah, ya?"
Perlahan Karina keluar walaupun enggan, namun seorang Rania sedang tidak memerlukan penjelasan.
"Mama sayang sama kamu, Nak." ucapnya lagi sebelum langkahnya benar-benar keluar dari kamar.
Setelah ibunya pergi, dia menengok ke arah pintu seakan dia tak rela membiarkan perempuan paruh baya itu keluar dari ruangan tercintanya.
"Rania lebih sayang sama Mama," gumamnya sembari menitikkan air mata.
Bahkan air mata yang jatuh tak ingin dia sudahi. Tangisan itu meledak, mengisi keheningan malam hari di kamarnya.
<><><>
Berulangkali Aslan membongkar isi lemarinya, namun tak juga menemukan barang yang dicari. Sesekali dia mengacak-acak rambutnya, membanting baju serta barang-barang yang berserakan di atas kasur.
"Hello, abangku yang gantengnya di bawah kecantikan Asha!" seru Asha.
Asha masuk tanpa permisi atau mengetuk pintu terlebih dahulu. Dia masuk dan langsung membanting tubuhnya di atas kasur, namun terkejut ketika melihat kamar Aslan yang berantakan.
"Innalillahi.. ini ada bencana apaan, sih?" tanyanya bingung. "Kok, kayak kapal pecah. Tumben banget sih, Slan?"
"Jas almamater gue hilang, nih!"
"What?"
"Gue ngomong kurang jelas? Jas almamater gue hilang, Sha."
"Kok bisa hilang sih, Slan?"
Dia mulai membereskan pakaian pakaiannya sedikit demi sedikit dalam lemari; merapikannya seperti semula.
Asha mengernyit, "Ketinggalan di sekolah kali, Slan, lo lupa!" katanya.
Perkataan Asha membuat Aslan terdiam sejenak, memikirkan kejadian hari ini selama di sekolah. Setelah selesai rapat Osis yang diikutinya membuat dirinya begitu lelah dan jenuh hanya karena mendengarkan berbagai macam arahan, seperti ceramah yang membuatnya mengantuk.
Dia mengangguk-anggukkan kepala, sepertinya dia meninggalkan barang itu di perpustakaan sekolah ketika ia tengah menenangkan diri, yang berusaha mencari kesegaran setelah sekian jam duduk dan mendengarkan hal yang tidak dia pahami.
Ah. Dunia sekolah memang terkadang membosankan jika harus masuk ke dalam sekumpulan orang yang tidak membuatnya semangat, seperti masuk ke dalam anggota Osis.
"Slan, kenapa sih kita harus beda sekolah? Gue kangen kali, berangkat bareng, istirahat bareng, dan pulang bareng sama lo," ucap Asha setelah beberapa menit tak dia hiraukan.
Aslan menoleh ke arahnya, membuat sepasang mata itu menatap dengan sendu.
"Udahlah Sha, nggak usah bahas yang udah-udah. Sekarang kan gue udah sekolah lagi di tempat yang baru," jawabnya sembari membereskan pakaian yang tersisa sedikit.
"Di sekolah baru lo gimana? Jangan sampe kena masalah kayak waktu di 22, gue nggak mau lo dijebak sama oknum yang nggak bertanggungjawab lagi."
"Ck, lo tenang aja. Di sekolah baru gue cukup asik kok, walaupun kadang gue risih sih, gara-gara banyak manusia jadi-jadian."
"Hah? Manusia jadi-jadian itu kayak gimana?"
Aslan tertawa.
"Akhirnya abang gue ketawa juga, setelah sekian lama gue nggak lihat lagi."
"Gue juga manusia kali Sha, bisa ketawa."
"Iya deh, iya," Asha duduk di hadapan Aslan dengan senyum mengembang yang menghiasi wajah cantiknya.
"Jadi, yang dimaksud sama manusia jadi-jadian itu gimana sih, jelasin!"
"Kepo amat lo!"
"Iiih, iya jelas gue kepolah, gimana sih!"
"Yang jelas mereka itu nggak penting buat gue, paham." Kemudian, yang terbesit dipikirannya adalah Rania Dinda Mitra.
"Selama di sekolah baru lo, apa banyak cewek yang genit?" tanya Asha.
"Kayak lo?" Aslan menajamkan pandangannya ke Asha.
"Banyak." katanya.
"Sembarangan kalau ngomong. Gue nggak genit kali," Bibirnya yang sengaja dimajukan membuat Aslan terkekeh.
"Nggak usah sok imut,"
"Berapa tahun sih lo hidup sama gue, masa masih gak paham juga kalau gue lagi ngambek!" balas Asha kesal.
"Iya iya, paham."
"Udah, mendingan ke depan nonton tv daripada bongkar-bongkar yang gak pasti." Asha mulai berdiri. "Ada acara baru loh di tv,"
"Hmm."
"Ayah sama Bunda juga lagi nonton."
"Hmm."
"Dasar manusia datar!" Dia menghentakkan kakinya. "Gue kesel sama lo,"
"Oke,"
"Sesingkat itu?"
"Mau lo gimana?"
Asha segera pergi dari kamar kakaknya itu sambil merengek bagaikan anak yang teraniaya.
"Bundaaa....!"
Aslan menghela napas. Rambutnya yang tidak gatal itu dia acak-acak. "Dasar adek nggak pengertian." ucapnya.
Sejenak, dia menyandarkan tubuhnya di tembok. Sesekali dia mengingat kejadian di perpustakaan yang mungkin itulah jawaban atas hilangnya jas keunggulan sekolah. Baru beberapa minggu masuk di sekolah itu membuat Aslan seperti mendapat kisah baru. Tapi, dia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Harapan barunya adalah dia bisa lulus dengan nilai terbaik, berprestasi, dan tidak tercoret dalam daftar murid-murid yang berkelakuan baik. Ini adalah awal perjalanan barunya.
Di ruangan yang dia sebut sebagai kamar itu terdapat lemari khusus tempat dia meletakkan buku-buku favoritnya. Dia mengambil sebuah buku berwarna cokelat dengan sampul kartun yang lucu lukisannya. Dia bukan ingin belajar, apalagi mengerjakan PR yang identik dengan seorang siswa. Dia hanya ingin menggambar dan membuat sebuah hand lattering dengan tinta hitam kesukaannya.