Aslan duduk santai di dalam sebuah ruangan bernuansa biru dengan berbagai macam buku yang tertata rapi. Niatnya, dia ingin menyegarkan otaknya yang panas akibat mata pelajaran yang tidak dia sukai, tadi. Tangannya menggenggam sebuah ponsel, meng-scroll media sosial. Lebih tepatnya, dia membuka media sosial milik saudara kembarnya, Asha.
Laki-laki itu juga tidak lupa untuk melepaskan jas almamater nya, karena tubuhnya terasa sangat panas. Di ruangan ber-AC ini membuatnya tenang, bahkan sangat santai.
"Sibuk, Mas e?" ucap seseorang dibalik panggungnya.
Dia menoleh ke arah sumber suara, kemudian membalikkan ponselnya agar tidak terlihat oleh orang tersebut. Namun, sepertinya orang itu tahu jika Aslan tengah membuka media sosial.
"Sok pake ngumpetin hape segala, padahal nggak penting juga buat gue." ujar orang tersebut.
"Ngapain sih, Ris, gangguin aja!"
Aris ikut duduk di sebelah Aslan, dia juga mengambil benda pintar itu dari dalam saku celananya. "Gue juga mau wifi-an di sini," katanya.
Laki-laki itu mulai memainkan jari jemarinya, membuka sebuah situs media di ponselnya. "Rapat Osis udah kelar, Slan?" tanya Aris tanpa menoleh ke arah Aslan.
"Hm," Aslan hanya menyahutnya tanpa mengatakan 'sudah' atau 'belum'.
"Gue lihat, lo cocok jadi ketua Osis yang baru, nanti." Lagi-lagi, perkataan yang tidak ingin Aslan dengar kembali bergema ditelinganya.
"Nyalonin nggak?" Aris menoleh ke arah Aslan, dia menghentikan bermain dengan ponselnya. "Pasti banyak yang dukung lo tuh, jadi Ketos."
"Gue nggak minat, sorry." jawab Aslan.
Dia menghentikan scroll-an nya di media sosial milik Asha. "Gue sekolah buat cari ilmu, bukan sensasi," tukasnya sembari menatap Aris.
Aris tertawa, dia meletakkan ponselnya di atas meja persegi panjang tersebut. "Slan, Slan.., lo banyak diomongin di setiap sudut kampus. Nggak sadar, apa nggak tahu?"
"Pasti banyak yang bakal dukung lo jadi Ketos nya Nusba." katanya.
"Lo kan pinter, cakep, sempurnalah buat jadi famous"
Aslan mengernyit, memandang teman satu kelasnya itu. "Mereka ngomongin apa aja tentang gue?" tanya Aslan.
"Mana gue tahu, mereka ngomongin apa," Aris mengedikkan bahunya. "Kan, semuanya cewek, Slan." lanjutnya.
"Cewek?"
Aris mengangguk. "Iya, cewek."
Aslan mendengus kesal, ternyata gosip selalu melibatkannya di suatu kondisi. "Kurang kerjaan!" Dia hendak beranjak dari tempat duduknya, berniat meninggalkan perpustakaan.
"Slan, lo mau ke mana?"
"Mau nyalonin jadi Ketos, ya, woy!"
Aslan yang hendak berjalan ke luar, menoleh sekilas ke arah Aris. "Menegakkan keadilan!" jawabnya singkat, namun Aris tidak mengerti.
Setelah Aslan sudah ke luar perpustakaan beberapa detik, akhirnya Aris mengerti apa yang akan dia lakukan. Maka, yang dilakukan laki-laki tersebut adalah menyusul Aslan ke luar.
<><><>
"Lo serius Ran, ngasih susu kotak ke Aslan? Dan dia terima susu dari lo? Ajaib," ujar Nadia.
"Kira-kira, udah ada lampu hijau belum ya, Nad?"
"Emang lo naksir Aslan?"
Tanpa ragu, Rania mengangguk langsung sambil menunjukkan senyumannya. Nadia menggeleng-gelengkan kepala, tak percaya jika sahabatnya begitu mudah menaruh hati kepada laki-laki. Apa lagi laki-laki itu adalah seorang Aslan Baskara Putra, yang baru dia kenal beberapa detik.
"Ini gila sih, Ran. Lo suka sama Aslan dalam waktu yang cepat, cepat banget malah." tukas sahabatnya, tak percaya.
"Lo tuh, kenapa sih, Nad? Dukung gue dong!"
"Iya, tapi lo nggak mau cari tahu asal-usul si Aslan dulu? Kan, dia juga murid baru di sini. Gue tahu dia juga gara-gara Elvis,"
Rania mengernyit, memandang Nadia sembari menghentikan aksi meminum es campur khas kantin SMA Nusa Bangsa.
"Elvis?" Alisnya bertautan, mengingat-ingat nama tersebut. "Elvis yang dulu kelas IPA-4 bukan?" tanya Rania.
"Iya, Ran, iya." jawab Nadia sembari menganggukkan kepala. "Elvis yang pernah suka sama lo, tapi lo tolak!"
"Kan, gue nya nggak suka," ujar Rania cengengesan.
"Iya deh, apa kata lo aja!"
"Si Elvis satu kelas ya, sama Aslan?" tanya Rania penasaran.
"Kalau satu kelas, gue mau minta nomornya dong, Nad?"
"Buat apa? Kan, lo suka nya sama Aslan. Kenapa jadi merembet ke Elvis?"
"Lo mah nggak ngerti banget deh, gue minta nomornya Elvis itu supaya gue bisa tahu aktivitasnya Aslan. Secara kan, dia satu kelas sama Aslan, pasti tahu Aslan itu orangnya kayak gimana!" jelasnya.
"Ayo dong, Nad, penting."
Nadia mendengus, memandang Rania yang memasang wajah memelas. "Iya deh, nanti gue kirim ke WhatsApp lo," jawabnya.
"Asyikkk!"
"Tapi, lo harus hati-hati sama Elvis, entar dia bisa flashback lagi sama lo!"
"Udah, tenang aja," jawab Rania santai.
Mereka kembali menikmati jajanan khas sekolah itu. Namun, dalam benak perempuan berparas cantik tersebut terbesit wajah Aslan yang tidak berekspresi, tetapi tetap terlihat menawan. Begitu menggoda hatinya untuk terus ingin melihat laki-laki tersebut.
<><><>
Aslan menghembuskan napas kasar, memandang sekitar kantin yang masih terlihat ramai. Dia melirik ke arah jam tangannya, tujuh menit lagi bel masuk akan berbunyi.
"Pak, es teh manis nya satu, ya?" ucapnya pada penjual es di samping kiri kantin.
Terdengar bisikan-bisikan yang mengarah pada dirinya. Dia tidak peduli, karena dia sudah malas meladeni orang-orang yang menurutnya tidak ada kerjaan.
Setelah minuman yang dia pesan selesai disiapkan oleh si penjual, Aslan berjalan pergi meninggalkan kantin dengan santai.
"Waaah.. itu Aslan kan, Nad?" ujar Rania saat dia melirik ke arah kiri tempat dia menikmati jajanan kantin. "Masya Allah, aku terpesona dengan ciptaan-Mu." Tanpa basa-basi lagi, dia pergi meninggalkan Nadia dan mengejar Aslan.
"Ran!" teriak Nadia, dia terkejut dengan sikap sahabatnya yang mendadak seperti orang gila karena Aslan.
Yang dia lakukan hanya terdiam, berusaha memberi ruang bagi sahabatnya untuk menemui laki-laki blesteran tersebut.
Sedangkan, disisi lain Aslan masih berjalan santai meninggalkan kantin sambil sesekali meminum minuman yang dia beli di sana. Pikirannya masih tertuju pada perempuan-perempuan penggosip yang telah membicarankannya di belakang, seperti yang Aris katakan waktu di perpustakaan.
Sudah beberapa lorong sekolahan yang dia lewati tanpa ragu untuk mendengar berbagai macam bincangan tentang dirinya, alhasil memang benar. Hampir seluruh perempuan SMA Nusa Bangsa membicarakan dirinya. Apa yang istimewa dari seorang Aslan? Yang tak pernah murah senyum, kecuali kalau dia yang mau.
"Aslan!" teriak seseorang yang sontak membuatnya berputar balik.
Lagi lagi, dia menghembuskan napas kasar. Rasa nya, malas sekali jika harus berhadapan dengan seorang perempuan yang agresif. Begitulah pikirannya, yang menilai perempuan berambut panjang sepunggung itu; agresif.
Saat sudah berhadapan dengan Aslan, napas Rania rasa nya seperti naik turun gunung. Jantungnya seakan tidak berfungsi, ingin segera lepas dari bagian tubuhnya. Dia menatap Aslan dengan sorot matanya yang berbinar, begitu terkesan karena laki-laki itu menunggu langkah kakinya mendarat di hadapannya beberapa detik yang lalu.
"Ya Allah, Ya Illahi Robbi, aku senang bisa deket-deketan sama Aslan!!" ujar Rania yang memperlihatkan rasa senangnya.
"Aslan abis beli es teh manis, ya?" tanya Rania.
Aslan melirik sebuah cup yang dia pegang erat di tangannya. "Kenapa?"
"Ya ampun, suara Aslan bagus bangettt.. nggak apa-apa kok, cuma nanya, hehe."
Aslan mendengus kesal. "Gue mau ke kelas. Nggak usah ganggu gue!" Kemudian, Aslan kembali melangkahkan kakinya.
Namun, Rania tidak diam saja ketika Aslan menghindari. Dia pun menyamakan langkahnya dengan langkah Aslan yang cukup cepat, membuatnya ingin menarik Aslan dan menghentikan langkahnya secara permanen.
"Aslan berhenti dulu dong, sebentar!"
"Rania cuma pengin ngobrol aja,"
"Janji deh, nggak banyak-banyak ngomongnya."
Laki-laki itu tetap tidak peduli, bahkan dia mempercepat langkahnya.
"Aslaaan, hfft.."
Hingga akhirnya, dia menarik seragam Aslan erat-erat. Hal tersebut membuat Aslan berhenti mendadak, karena dia kesal dan merasa terganggu dengan kehadiran perempuan tersebut.
"Nggak usah narik seragam gue juga kali!" ujarnya sembari menatap tajam ke arah Rania.
Perlahan, Rania melepaskan genggamannya dari seragam Aslan. Seragamnya terlihat kusut dibagian yang dia genggam tadi, membuat Aslan semakin kesal.
"Ma..af, Nia nggak bermaksud buat Aslan kesal. Beneran deh, nggak ada niatan begitu, Slan." ucap Rania pelan.
Aslan masih terdiam.
"Aslan kenapa sih, dingin banget sama cewek?" tanya nya, dengan raut wajah yang seakan berharap jawaban jelas dari Aslan.
"Nia cuma pengin—"
"Gue kan, udah bilang ke lo, nggak usah deketin gue!" serobot Aslan.
Dia ingin melangkahkan kakinya kembali menuju kelas Fisika 1 yang jaraknya lumayan dekat. Namun, semua itu berhasil Rania tahan lagi.
"Aslan nggak boleh ngomong gitu," katanya sembari melentangkan tangan dihadapan Aslan.
"Niat aku kan, baik ngajakin Aslan berteman. Kenapa nggak boleh?"
"Kalau emang Aslan nggak mau deket-deket sama Nia juga, nggak apa-apa kok."
Perkataan itu tidak membuat Aslan berhenti hingga di situ, justru dia merasa senang karena perkataan Rania. Dia kembali berjalan meninggalkan Rania di tempat itu, tanpa meninggalkan kata apapun.
Rania sangat kesal dengan tingkah Aslan, tetapi hal itu membuat seorang Rania semakin penasaran dengan sosok laki-laki tersebut. Dia menghentakkan kaki beberapa detik, namun tetap tersimpan rasa senang di hatinya.
"Aslan itu dingin, tapi gue suka Aslan yang dingin." ucapnya sembari terus memberikan senyuman kecil yang tertuju untuk Aslan.
Senyumnya terus mengembang, juga terus memperhatikan punggung laki-laki itu yang semakin detik semakin jauh darinya.
<><><>
Rania melempar ranselnya di atas meja persegi panjang yang tersedia bagi siswa-siswi yang berkunjung di ruangan serba buku itu.
"Hhh.. ya ampun, ini hawa panas banget dah!" Dia segera duduk di kursi, kemudian mengkibas-kibaskan bagian kepala nya dengan buku tulisnya.
"Untung di sini ada AC, jadi gue bisa ngadem sebentar." Dia meletakkan buku itu dan menempelkan pipinya persis di atas meja.
"Kita ke sini itu mau ngerjain tugas kimia, Ran. Udah deh, nggak usah drama kepanasan!" ujar Nadia, yang kemudian beranjak dan mengambil buku paket.
Rania mengangkat kepalanya, mengerucutkan bibir. "Gue kan, emang kepanasan. Kesel deh," cibirnya.
Nadia kembali duduk bersamanya dengan membawa dua buah buku paket. "Nih, gue udah bawain buku paket buat lo," Nadia meletakkan buku paket tersebut di hadapan Rania.
"Kita kerjain tugas kimia buat besok, karena gue nggak bisa ngerjain di rumah lo ataupun di luar rumah. Hari ini gue ada janji sama Wisnu mau jalan bareng," jelas Nadia.
"Ya ampun Nad, tinggal bilang aja ke Wisnu kalau lo ada tugas kelompok sama teman sebangku. Udah kan, kelar tuh, urusan!"
"Nggak segampang itu, Raniaaa.." Dia menghela napas. "Wisnu itu beda sama cowok yang lain, nggak bisa gue tinggal-tinggal."
"Yang beda dari yang lain itu Aslan, Nad, bukan Wisnu."
"Wisnu kan, pacar gue Rania. Lahh, kalau si Aslan siapa elo?"
Lagi-lagi, Rania mengerucutkan bibirnya. "Kok, lo gitu sih, sama sahabat sendiri. Do'ain dong, semoga Aslan jadi pacar gue beneran."
Nadia mengendus, menatap wajah Rania. "Iya, iya, iya, gue do'ain semoga Aslan beneran jadi pacar lo." katanya.
Rania tersenyum. "Ini baru sahabat gue yang paling the best, oke lah kalau begitu, kita kerjain sekarang!" ujarnya dengan semangat.
Akhirnya, mereka mengerjakan tugas dengan semangat dan begitu serius. Setelah beberapa puluh menit mengerjakan, berakhirlah sudah tugas tersebut. Rania menghembuskan napas panjang, dia begitu terlihat sangat lelah hingga kembali menempelkan pipinya di atas meja yang terasa dingin akibat AC.
Berbeda dengan Nadia yang begitu sigap membereskan buku-bukunya dan dimasukkan ke dalam ransel miliknya. Dalam otaknya hanya berbesit Wisnu, pacarnya yang mengisi ruang 11 Biologi 3. Mereka sudah menjalin hubungan semenjak kelas 10, ketika masuk SMA Nusa Bangsa beberapa bulan.
"Ran, lo mau pulang nggak?" tanya Nadia.
Dia sudah siap menggendong ranselnya keluar, membawanya pergi dari perpustakaan itu.
"Gue takut telat nih, ketemu sama Wisnu nya." ucapnya sembari melirik ke arah jarum jam yang melingkar dipergelangan tangannya.
Rania mendongak, menatap Nadia dengan malas. "Duuh.. lo kenapa sih, buru-buru banget ketemu sama Wisnu!"
"Maka nya cepetan punya pacar dong, supaya nggak ditinggal mulu."
"Kan tadi gue udah bilang Nad, supaya lo do'ain gue jadian sama Aslan."
"Kalau sama Aslan nggak jadi, gue bakal do'ain lo jadian sama Elvis."
Rania terbelalak, matanya membulat bagaikan bola pingpong. Dia sangat tidak ingin Nadia mengucap doa tentang percintaannya dengan Elvis. Sama sekali tidak ingin, karena yang dia inginkan hanya Aslan Baskara Putra. Saat itu juga, Nadia pergi meninggalkan Rania sendiri di perpustakaan.
"Gue nggak mau pacaran sama Elvis, titik!"
"Gue cuma mau sama Aslan, Aslan Baskara Putra. Jelas beda lah, sama Elvis yang doyan banget main catur. Idiih," gerutunya sembari membereskan buku.
Saat semua selesai, matanya tertuju pada sebuah jas almamater berwarna merah yang tergeletak di atas meja bagian ujung sebelah kanan. Tanpa berpikir panjang, akhirnya dia berjalan untuk mengambil barang tersebut.
"Punya siapa, nih?" ucapnya pada diri sendiri. "Kok, jas almamater ditinggal di perpustakaan. Ketinggalan kali, ya?" katanya.
Dia mengambil jas almamater tersebut, kemudian dia lebarkan baik-baik di atas meja. Di bagian kiri jas tersebut terdapat nama bertuliskan "Aslan Baskara Putra" dan di bagian lengan atas sebelah kanan terdapat tulisan "XI Fisika 1" yang membuat Rania sangat terkejut. Begitu senangnya, dia mencium berkali-kali barang itu.
"Masya Allah, Ya Illahi Robbi, Alhamdulilah.. akhirnya seorang Rania Asmara bisa mencium bau nya Aslan dari sini. Iya, walaupun cuma dari baju nya sih, tapi wangi banget."
Tak habis-habisnya dia bersyukur atas apa yang terjadi hari ini. Dia segera memasukkan jas milik Aslan ke dalam ranselnya. "Bakal gue peluk semalaman nanti, supaya serasa tidur sama Aslan. Hihi.."
Setelah itu, dia ke luar perpustakaan dengan senyum yang sumringah. Begitu senang sekali. "Rejeki datang setelah musibah kimia menerpa," gumamnya.