Aslan tengah berdiri di hadapan cermin yang memperlihatkan pantulan dirinya melalui kaca persegi panjang tersebut. Dia sudah rapi dengan mengenakan seragam sekolah dengan tambahan jas almamater berwarna merah tersebut. Hari ini akan ada kegiatan yang lumayan lama di sekolah, dengan menggunakan seragam lengkap seperti itu dia akan lebih diakui sebagai warga SMA Nusa Bangsa.
Aslan memang tidak begitu menyukai kegiatan yang berkaitan dengan organisasi, tapi mau bagaimana lagi, dia sudah dipilih langsung oleh wali kelasnya untuk masuk ke dalam organisasi yang membuatnya jengah. Aslan hanya menyukai dunia olahraga seperti futsal, basket, voli, atau mungkin karate. Jika kalian menganggap kalau Aslan mengikuti semua ekskul tersebut, kalian salah besar. Aslan hanya sekedar menyukai dan tidak berminat untuk gabung dalam tim sekolah.
Dia hanya mengikuti satu kegiatan di sekolahnya, yaitu sebagai anggota pengembangan diri 'Bahasa' yang harus bergelut dengan kamus-kamus besar, tebal, dan tidak bergambar sama sekali.
Pintu kamarnya terbuka kasar, seseorang masuk ke dalam kamarnya dengan leluasa. "Lama banget sih, Slan. Udah di tunggu di bawah juga," Suara perempuan yang selalu menjadi lawannya di rumah.
"Nggak sarapan lo, ya?" Perempuan itu adalah saudara kembarnya, yang lahir lima menit setelah Aslan.
"Bawel banget sih, kayak emak-emak marahin anaknya," celutuk Aslan. Dia segera menghampiri saudara kembarnya itu dengan tatapan datarnya seperti biasa.
"Cepet tua lo ya, nggak ada senyum-senyumnya sama gue!" Dia mendekatkan wajahnya persis di hadapan Aslan. "Gue ini kembaran lo yang paling cantik. Anti, yang namanya dijudesin sama cowok,"
"Emang lo se-istimewa apa?"
"Pevita Pearce aja kalah sama gue, masa lo nggak mengakui itu?"
"Kebanyakan makan pete, dasar. Pede lo tingkat peri," ujar Aslan.
Kemudian, laki-laki berperawakan tegap tersebut pergi menuju meja makan. "Dari pada lo, sok cool." balasnya.
Sedangkan, saudara kembarnya masih berdiri kesal mendengar cibiran Aslan; kakak bermuka datar. Sesekali matanya menatap sekeliling kamar, terlihat sangat rapi walaupun si Bibi belum masuk untuk membereskannya.
"Slan, Slan. Laki apa cewek sih, lo. Bersih amat jadi orang, tapi kalau ngomong nggak ada bersih-bersihnya." Perempuan berambut panjang sebahu tersebut menggeleng-geleng melihat tingkah saudara kembarnya yang begitu rajin, selalu bersih, bahkan rapi.
Begitu sampai di meja makan, Aslan sudah melahap dengan semangat makanan kesukaannya yang sudah disiapkan si Bibi dan dibantu oleh Ibu nya.
"Sha, cemberut aja, sih. Gue udah ada di sini nih, lagi makan masakan Bunda." celetuk Aslan tiba-tiba.
Ya, kembaran Aslan adalah Asha. Asha Nofita Putri. Dia sama seperti Aslan, masih menduduki kelas sebelas SMA. Meski kini mereka tidak satu sekolah lagi, namun Aslan masih harus jemput Asha jika dia tidak di jemput oleh Ayah, atau pulang dengan temannya.
"Siapa juga yang cemberut gara-gara lo belum makan! Kurang kerjaan banget, ngurusin anak Bunda Selfi yang muka nya jiplak dari muka gue."
"Tuh, Bun, Asha ngomongnya kasar kan, sama kakak sendiri?" adu Aslan.
"Sudah, sudah. Kalian cepat sarapan, nanti telat masuk ke sekolah." ucap Selfi; Bunda nya Aslan dan Asha.
<><><>
"Slan, berangkatnya bareng, ya?" ucap Asha, saat mereka hendak ke luar rumah. "Ayah lagi ada meetting mendadak, katanya."
Aslan yang hendak menaiki motor sport biru nya, melirik sejenak ke arah Asha yang tengah memohon minta bareng.
"Ayo dong, Slan. Lo kan, kembaran gue yang paling baik." bujuk Asha.
Aslan sudah duduk tegap di atas motor kesayangannya itu, memandang Asha.
"Lo kalau jadi kembaran gue, jangan datar-datar dong, mukanya! Jelek amat,"
Aslan menghela napas, kemudian menyalakan mesin motornya. "Cepet, naik. Nggak usah komentarin gue," ujarnya.
"Pantes nggak laku, terlalu datar lo jadi orang!" Lagi-lagi, Asha mengatakan hal serupa.
"Gini-gini juga, muka gue sama kayak lo,"
Asha hanya mengangguk-anggukan kepala, kemudian naik di atas motor sport biru milik Aslan.
"Ya udah, cepet jalan, Slan." ucap Asha. Dia sudah duduk manis di belakang punggung laki-laki tersebut. "Entar telat," katanya.
Tanpa ragu dia menancap gas untuk segera pergi dari halaman rumahnya, menuju sekolah Asha yang letaknya tidak jauh dari sekolahnya.
<><><>
Rania sudah duduk manis di depan kelas 11 Fisika 1, kelas Aslan. Dia ingin menyambut laki-laki itu dengan membawakan sesuatu, dia pikir Aslan akan menyukai apa yang dia bawa. Kini, dia sudah berbeda dari biasanya. Yang biasanya selalu mengikat rambutnya ke belakang seperti rambut kuda, sekarang dia biarkan terurai agar terlihat lebih memancar aura nya.
"Selamat pagi, Aslan." Dia berseru saat melihat Aslan yang mulai mendekati pintu kelas.
"Pagi-pagi gini, nggak boleh cemberut dong, apalagi marah-marah. Ya, ya, ya?" Rania sudah berdiri tepat di hadapan Aslan, lebih tepatnya menghalangi Aslan masuk ke kelas.
Laki-laki itu menghela napas berat, sangat malas membalas semua coletehan Rania. Melihat wajahnya saja rasa nya dia tidak ingin, sangat mengganggu bagi seorang Aslan.
"Nih, Rania bawain Aslan susu cokelat. Kalau Aslan suka nanti Nia beliin lagi besok, kalau makanan nya Aslan beli sendiri aja ya di kantin. Rania aja jarang bawa bekal ke sekolah, hehe." katanya sambil menyodorkan susu kotak rasa cokelat.
Aslan masih terdiam, memandang susu cokelat yang di bawa oleh perempuan aneh yang ada di depannya. Bahkan, senyuman yang di berikan melalui wajah perempuan tersebut tak pernah pudar. Sangat indah dengan olesan lip balm yang begitu cocok di bibirnya, juga olesan make up tipis di wajahnya.
Rasa nya, Alsan ingin segera mengusir perempuan itu jauh-jauh dari hadapannya.
"Ayo, Aslan, terima susu nya!" desak Rania yang geram melihat wajah Aslan yang tidak berubah sekali pun.
"Kalau nggak suka rasa cokelat, Nia punya stok rasa strawberry kok, di tas."
"Kalau masih nggak suka juga, Nia beliin rasa kacang hijau, atau rasa jeruk?"
"Eh, jeruk mah nggak ada dalam daftar rasa susu ya, lupa deh."
"Ayo terima, Aslan!"
"Anggap aja sebagai tanda terima kasih aku ke kamu, karena udah nolong aku,"
Perempuan itu berdeham, memandang Aslan dengan sangat saksama.
"Coba deh, Aslan cek suara barangkali udah hilang? Kan bahaya tahu, masa cowok ganteng bisu!"
Sesekali Aslan menghela napas berat dengan tangannya yang sudah mengepal. Geram saja melihat perempuan yang entah dari planet mana, ini sangat aneh bagi Aslan.
"Lo nggak pernah pegang jidat lo, ya?" ujar Aslan.
Akhirnya, laki-laki keras itu mengeluarkan suara emasnya. Ini sangat membuat Rania bersyukur bisa menjadi pendengarnya. Pada saat itu juga Rania menggeleng dengan cepat, sontak membuat Aslan semakin kesal.
"Pantesan, gila!"
Jawaban Aslan sangat di luar dugaan. Rania kira laki-laki itu ingin mengucapkan sesuatu atau minimal membalas setiap perkataannya sedaritadi.
Aslan baru saja ingin melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas, namun Rania tahan. "Iiih, kalau gila nya gara-gara kamu sih, nggak apa-apa. Ikhlas lahir dan batin," ucap Rania.
Lagi-lagi senyumnya mengembang, memperlihatkan wajahnya kepada Aslan.
"Minggir. Lo nggak pantas ngomong sama gue," perintah Aslan singkat dengan wajah datarnya.
"Nggak mau! Aslan harus terima minuman ini dulu!"
Rania menghembuskan napasnya, kemudian ide itu muncul secara mendadak.
"Kalau gitu, susu nya aku taruh di meja kamu, ya? Supaya kamu nggak malu nerima nya. Aku tahu kamu pasti malu terima susu kotak dari perempuan kayak aku, hehe."
Rania segera lari masuk ke dalam kelas untuk meletakkan minumannya di atas meja Aslan. Lalu, dia kembali ke luar menemui Aslan yang masih berdiri tegap tanpa reaksi apapun.
"Udah selesai, susu nya udah ada di atas meja kamu. Jadi, kamu nggak boleh nolak apalagi sampe marah-marah sama aku. Kan, nggak baik marahin cewek, Slan."
"Lo gila!" Sebuah kata yang terlontar dari mulut Aslan untuk Rania.
"Nggak apa-apa, di bilang gila sama Aslan. Yang penting Aslan nggak marah,"
Aslan mengacak-acak rambutnya beberapa kali, kesal sekali melihat tingkah perempuan yang ada di depannya.
"Lo tuh, pernah diajarin sopan santun nggak sih, sama orangtua lo? Dateng-dateng udah main tahan-tahan orang!"
"Lo pikir, lo itu siapa gue?!" bentak Aslan.
Rania terdiam melihat reaksi Aslan yang begitu berubah drastis—sangat di luar dugaan kalau dia akan terkena marah. "Aslan jangan marahin Nia dong, gemetar tahu dimarahin sama Aslan." ucap Rania dengan pelan.
Perempuan itu menunduk untuk sesaat, dia tidak ingin melihat Aslan yang sedang marah. "Cewek kayak lo itu nyusahin, bikin ribet hidup orang. Terutama gue!!"
Rania masih terdiam. Mungkin dia tidak biasa melihat orang marah. "Rania minta maaf ya, Aslan?" ucapnya dengan lirih.
Perlahan dia melebarkan kelopak matanya untuk memandang Aslan kembali.
"Aku nggak bermaksud gangguin Aslan, cuma mau—" Sebelum melanjutkan perkataannya, sudah lebih dulu Aslan serobot karena terlalu kesal.
"Deketin gue?" ucap Aslan dengan nada seperti membentak.
Rania menelan ludah, kedua bola matanya tak pernah lepas dari pandangannya ke Aslan.
"Lo nggak boleh deketin gue. Kalau lo deketin gue, rambut lo gue botak!" tegas Aslan dengan tatapan sinis nya kepada Rania.
Kemudian, dia berjalan masuk ke dalam kelas tanpa menghiraukan perempuan itu lagi. Sedangkan Rania masih terdiam mematung dengan matanya yang membulat dan mulutnya yang membuka, mungkin ini bukan sesuatu yang mengejutkan lagi tetapi sudah sangat terkejut.
"Kalau rambut aku di botak, nanti nggak cantik lagi, dong? Ih, Aslan." cibirnya pelan.
Dia menengok ke arah kelas, melihat Aslan yang nampak sibuk dengan buku-buku nya ketika duduk rapi dibangku nya.
"Lo lagi ngapain?" sahut seseorang dari belakangnya.
Dia segera menengok ke arah sumber suara yang ternyata seorang laki-laki penghuni kelas itu juga. "Nggak ngapa-ngapain kok, cuma nengok dikit aja." jawab Rania sembari menundukkan kepalanya.
"Eh, lho, elo kan yang kemaren narik gue!" Laki-laki itu nampak bingung ketika memandang jelas wajah Rania.
"Ngapain di depan kelas gue?"
"Mm.. Anu.. A.. Gue...," Rania nampak gugup saat ingin menjawab pertanyaan laki-laki tersebut. "La.. Lagi.." Ini benar-benar membuat Rania takut karena kemarin dia sempat menarik orang sembarangan.
"Lo mata-mata, ya? Mau mata-matain siapa?" tanya laki-laki itu.
Rania hanya diam, menatap laki-laki itu dengan tatapan tak biasa.
"Eh santai aja dong, nama gue Aris," ucapnya dengan sedikit tawa sembari mengulurkan tangannya-berharap bisa berjabat tangan dengan Rania.
Dengan ragu dia menautkan telapak tangannya bersentuhan dengan laki-laki di hadapannya. "Gu.. gue.., Rania dari kelas sebelas kimia," Setelah semua itu berakhir, dia berusaha untuk tetap tenang karena laki-laki yang ada dihadapannya itu tidak berbahaya.
"Sebenernya, lo itu ngapain ke kelas gue? Nyamperin temen, atau ngapain?" Lagi-lagi laki-laki itu bertanya.
Baiklah, Rania harus bersikap biasa di depan laki-laki bernama Aris tersebut. Laki-laki dengan perawakan tegap, putih, dan terlihat manis itu membuat Rania memperhatikannya beberapa detik. Tidak ada apa-apanya dengan Aslan yang kini selalu menjadi alasan Rania ke sekolah.
"Lo nggak usah kepo sama urusan orang," Tiba-tiba, Rania berdecak kesal karena dia baru sadar akan apa yang dia lakukan di kelas 11 Fisika 1 ini.
"Gue bukan nya kepo sama urusan lo, tapi gue heran aja kenapa lo ke sini. Kemaren lo ke sini buat narik gue, dan lo bilang kalau lo itu salah orang. Sebenernya siapa sih, yang lo cari di kelas gue?"
Semakin lama dia semakin kesal karena Aris terus bertanya tentang tujuannya ke kelas ini. Rania menghentakkan kaki, geram dengan laki-laki yang ada di depannya.
"Minggir, gue mau lewat!" Dia mendorong tubuh laki-laki itu agar menjauh dari tubuhnya, agar memberi jalan untuk meninggalkan tempat itu.
Namun, Aris berhasil menautkan jari-jemarinya ke jemari Rania, berniat untuk menahannya agar tidak pergi.
"Gue bukan orang jahat, jadi jangan ketus gitu sama gue."
Rania terdiam sejenak, kemudian dia melepaskan genggaman Aris. "Nggak usah pegang-pegang,"
"Oh, oke." Aris mengangkat kedua tangannya, untuk memastikan kalau dia tidak akan menyentuh perempuan yang ada di hadapannya.
"Kita berteman, ya? gue nggak berniat gangguin lo, kok. Terserah lo deh, mau nengok-nengok ke sini tiap hari juga, nggak masalah buat gue." jelas Aris.
"Ya udah, kalau gitu gue mau balik ke kelas gue!"
"Salam kenal ya, Rania." ucap Aris sembari menunjukkan senyumnya.
Rania tidak peduli akan hal tersebut, dia hanya membalas senyuman Aris yang terlihat tulus kepadanya. Dia pergi meninggalkan kelas 11 Fisika 1 menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Kelas Fisika ini terdapat di lantai 3 yang tempatnya berdekatan dengan anak tangga, jadi jika langsung ingin turun ke bawah terlihat sangat mudah bagi Rania.
<><><>
"Bagaimanapun keadaannya, menjadi diri sendiri itu lebih baik."
- Aslan -