Chereads / Dilan : Suara Dari Milea / Chapter 16 - 10. Peristiwa Jakarta

Chapter 16 - 10. Peristiwa Jakarta

10. PERISTIWA JAKARTA

Siswa yang terpilih untuk mewakili sekolahku menjadi peserta cerdas cermat di TVRI adalah Gatot. Haikal dan Ayu. Tapi siswa lain juga boleh ikut untuk menjadi suporter. Syaratnya harus bayar ongkos untuk biaya menyewa bis ke Jakarta.

Aku ikut dan senang karena bisa datang ke Jakarta, setidaknya dengan itu bisa sekalian dimanfaatkan untuk aku bernostalgia. Tapi aku kecewa, karena Dilan tidak ikut!

Karena tahu Dilan gak ikut (Aku dapat info dari Piyan), malamnya kutelepon Beni. Sebetulnya, aku tidak sama sekali berharap ketemu Beni. Aku cuma takut, kalau kemudian Beni tahu bahwa aku ke Jakarta dan tidak bilang, pasti dia akan marah.

Di telepon, Beni bilang dia senang. Dia memastikan akan datang ke stasiun televisi tempat di mana kami akan melangsungkan pertarungan. Tapi pas selesai acara (Tim kami kalah), Beni belum kunjung datang juga. Sampai-sampai aku mengira, mungkin Beni ada acara, sehingga dia tidak bisa datang.

Sudah dicoba kutelepon ke rumahnya, dengan menggunakan telepon umum, tapi yang nerima ibunya, katanya dia di rumah pamannya.

Setelah usai acara, sebelum pulang ke Bandung, rencananya kami akan mampir dulu ke Monas.

Jalan-jalan. Tapi sebelumnya, siswa disarankan untuk mencari makan dulu. yaitu di sekitar kawasan kantor stasiun televisi. Jangan jauh-jauh.

Nandan ngajak aku makan, awalnya aku gak mau, tapi karena Novi ikut juga. aku jadi mau. Pas lagi makan. Novi izin, bilang mau ke toilet. Dia pergi, meninggalkan aku berdua dengan Nandan.

Pada saat itulah Beni datang.

Dia berdua dengan Saribin, kawan sekelasnya, kawanku juga. Dia langsung duduk di depanku, karena aku duduk bersampingan dengan Nandan.

- T a h u dari mana aku di sini?||, kutanya Beni

—Temenmu ngasih tau. Emang kenapa kalau tahu?||, Beni balik nanya - G a apa-apa. Nanya aja. Kirain ga akan datang||, jawabku.

S u k a kalau gue ga datang?||, Beni nanya dengan tatapan yang bisa dianggap mengerikan Aku diam. Percumalah kujawab. Matanya sudah nyala oleh api cemburu. Dia pasti marah! Aku tahu siapa dia. Harusnya hal sepele macem ini gak usah terjadi, seandainya dia bukan orang cemburuan.

Dengan perasaan gak karuan, aku kenalkan Nandan kepadanya. Beni menyikapinya dengan mata kebencian. Dia memandang kami menggunakan wajah permusuhan. Aku jadi gak enak ke Nandan.

Beni nanya:

C u m a berdua?||

—Banyakan. Tadi, disuruh...||, sebelum jawabanku selesai. Beni memotong:

—Disuruh apa? Disuruh berpasang-pasangan?)

- B e n i ! Apa sih?!||, kataku sedikit teriak karena kesal

T e r u s elu, siapa, lagi?!||. Beni menunjukkan jarinya hampir deket ke wajah Nandan. Nandan kulihat dia nampaknya ketakutan. Aku langsung merasa kasihan ke dia.

—Beni!||, aku berdiri.

Beni berdiri juga seraya membentakku: —Diam kamu!||. Terus dia memandang ke Nandan sambil bicara dengan nada menantang:

L u pacarnya!?||

—Bukan, Mas||. Nandan menjawab gemetar

- T e r u s ngapain lu berdua?! ||. Beni membentak Nandan. Saribin berusaha

melerainya.

- T e m a n aja. mas. Makan||. kata Nandan

Tiba-tiba Beni nyoba nampar Nandan. Nandan mengelak, justeru malah membuat

Beni makin jadi emosi. Dia merangsek dan lalu berusaha memukul Nandan. Saribin berusaha mencegahnya.Aku teriak untuk bisa menghentikannya.

Saribin berusaha kuat bisa memegang Beni yang terus memaki Nandan. Di saat bersamaan Novi datang dan langsung merasa bingung dengan apa yang terjadi:

- P e r g i , lu!||, Beni membentak Nandan.

Nandan pergi bersama Novi yang masih kebingungan. Aku juga ikut pergi, sambil bilang ke Beni:

K i t a putus!)

D a s a r pelacur!|| Beni memakiku.

Itu kata yang bisa kudengar dari banyak kata-kata buruk lainnya yang Beni ucapkan. Setelah selesai bayar makan, aku jalan bergegas sambil nangis dan langsung masuk ke bis yang sudah dipenuhi oleh kawan-kawanku.

Dalam hati yang kacau, aku mendengar Nandan sedang menjelaskan duduk persoalannya kepada semua orang yang ada bersamanya. Sebetulnya aku berharap dia tidak cerita. Tapi sudahlah.

Aku nangis di bis ditemani Sarah, ibu Sri. Wati dan Rani. Mereka berusaha untuk membuatku tenang. Wati di sampingku, dia nanya ada apa? Tangisanku sedikit menjadi ketika memeluknya.

Memeluk Wati, bagiku, saat itu, rasanya seperti sedang memeluk Dilan. Serius. Mungkin karena aku berpikir bahwa pada tubuh Wati ada darah daging yang sama dengan Dilan. Kau tahu lah: Wati adalah saudaranya.

-Kenapa?||. Wati nanya sedikit berbisik dan mengelus punggungku

—Watiii...||,

—Iya, kenapa?||

—Dilan....||

—Dilan?||

- K e n a p a Dilan gak ikut ?||

Aku nangis dengan perasaan tak karuan, sambil terus meluk Wati. Wati pasti bingung kenapa kasus ini bisa bersangkut paut dengan Dilan?

Makian Beni sangat menyakitkan hatiku. Tak kusangka dia akan bilang begitu. Tak kuduga bahwa hari ini akan ada. Sambil kuseka air mataku, terkenang kalimat Dilan di telepon, beberapa waktu yang lalu:

Jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu. Milea||

H e he he. Kenapa?||

—Nanti, besoknya, orang itu akan hilang!II