"Caramel milk tea, satu. Atas nama siapa, Kak?"
"Lova." jawab Lova singkat.
"Ini uang kembaliannya, Kak."
Lova hanya terdiam. Tidak menyadari jika dia sedang diajak bicara.
"Kak?!"
"Eh? Oh iya, Kak. Sorry sempat ngalamun tadi." balas Lova dengan sedikit gelagapan karena sedari tadi dia sedang mengedarkan pandangan matanya ke sana kemari.
"It's okay. Uang kembaliannya, Kak."
Lova langsung saja mengulurkan tangan kanannya menerima uang kembaliannya. "Makasih, Kak." balas Lova pelan sambil tersenyum canggung dan menatap perempuan yang mungkin jarak usianya tidak terlalu jauh, hanya dua atau tiga tahun di atasnya itu tidak enak.
"Kembali kasih. Tolong ditunggu sebentar ya, Kak pesanannya."
Lova hanya tersenyum tipis dan menganggukan kepalanya singkat. Memasukan uang kembalian tadi ke dalam tas asal. Lalu berjalan pelan menuju salah satu meja kosong yang memang disediakan di gerai Chatime yang didesain menyerupai sebuah cafe itu, duduk di salah satu kursinya. Lova memilih meja yang tak jauh dari counter pemesanan.
Lova mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Membaca pesan-pesan yang masuk. Lova memilah-milah pesan yang menurutnya perlu dia balas sembari menunggu pesanannya jadi. Salah satu di antara pesan-pesan yang masuk dan perlu dia balas adalah pesan dari Lila.
Lila : P
Lila : P
Lila : P
Lila : Yuhu ...
Lila : Kamu lagi dimana, moon?
Lila : Tadi aku ke rumah, tapi kosong. Kamu pergi kemana sama uncle?
Lila : Kok, gak ada ngajak-ngajak, ya by the way.
Lila : Moon?
Lila : P
Lila : P
Lila : P
Lila : Ya ampun! Gak dibales-bales, dong! Kamu dimana, sih moon? Berasa diambekin sama ayang Kevin ini, tuh.
Lila : Dimana ... dimana, dimana ...
Lila : Ku harus mencari dimana ...
Lila : Hok-a, hok-e ...
Lila : Mampus! Auto dangdut, kan aku jadinya moon.
Lila : Wkwkwk!
Lila : Kamu dimana, sih moon?
Lila : P
Lila : P
Lila : P
Lila : Woy!!! Human!!!
Lila : Dimanakah gerangan Andah berada saat ini?!
Lila : Hih! Dimana, sih!
Lila : Ngeselin, lama-lama.
Lila : Konsepnya gak kaya gitu, ya.
Lila : Mooooooooon!!!
Suara kekehan geli Lova teredam di balik wajah yang ditutupi dengan tangan kanan yang sikunya di tumpukan di atas. Membaca spam chat dari Lila yang dikirim dalam waktu berdekatan. Receh banget, sih! Ibu jari kedua tangan Lova bergerak dengan lincah mengetikan pesan yang akan dikirim pada Lila.
Lova : Lova lagi di mall, Lila. Kencan, dong sam--
"Pesanan atas nama Lova?!"
Gerakan tangannya seketika terhenti. Lova mengangkat wajahnya dari ponsel dan menoleh ke arah counter pemesanan.
"Pesanan atas nama Lova?!"
"Ya?!" Lova bergegas berdiri seraya memasukan ponselnya ke dalam tas sembarangan. Berjalan cepat menuju counter pemesanan.
"Terima kasih, ya Kak. Silahkan datang kembali."
Lova tersenyum kecil seraya mengulurkan tangan kanannya menerima cup Chatime yang diulurkan perempuan yang tadi meneriakan namanya dengan sangat keras membuat tenggorokannya tiba-tiba saja terasa kering. Lova berdehem pelan.
"Terima kasih, Kak." balas Lova pelan dan langsung saja berbalik badan berjalan meninggalkan gerai Chatime yang mulai ramai itu.
-firstlove-
Lova mengetuk-ngetukan telunjuknya secara konstan di atas permukan pegangan tangga eskalator yang bergerak naik dengan pelan itu. Matanya menatap lurus ke arah depan pada ujung akhir tangga eskalator. Lova sudah berada di pertengah tangga eskalator ketika telinganya mendengar samar-samar suara bernada ... sindiran?
["Dasar kids jaman now. Urat malunya udah pada putus. Ribut-ribut di tempat umum. Gak ada malu."]
Lova langsung menoleh ke arah belakangnya. Menatap wanita paruh baya yang baru saja bersuara itu heran.
["Wadaww! Ada fucek boy, guys. Untung cakep. Videoin-videoin biar viral. Buru!"]
Lova beralih melirik dua gadis remaja seumurannya yang berdiri tepat di sampingnya dan di satu anak tangga di atasnya sedang membelakanginya.
["Iye. Kagak pake mukul juga, dong lo, ah! TikTok, nih?"]
["Iyeee ... maemunah! Buruan cepet!"]
["Salfok, dong gue sama muka ganteng si cowok masa?"]
Lova bergerak pelan bergeser satu langkah ke samping. Jiwa penasarannya meronta-ronta. Ada apaan, sih? Lova berjinjit sedikit agar bisa melihat objek yang tengah menjadi gibahan dan tontonan itu. Jika bisa Lova gambarkan, pelaku keributan itu ada tiga orang. Dua perempuan dan satu laki-laki remaja seumurannya. Sudah bisa ditebak bukan apa yang tengah terjadi di sana?
["Mampus! Digampar, dong guys!"]
Lova memperhatikan laki-laki yang tampak biasa saja setelah mendapatkan satu tamparan keras di pipi dan tidak ambil pusing dengan pertengkaran dua perempuan yang sudah bisa dipastikan jika keduanya adalah sama-sama pacar dari laki-laki itu. Lova geleng-geleng kepala. Eh? Wait?! Lova memicingkan kedua matanya. Kok, kaya-- Lova seketika membelalakan matanya. For God's sake! Dia tahu laki-laki itu. Axe! Astaga!
Lova mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Mulai banyak kamera ponsel yang diarahkan untuk merekam adegan yang menurutnya murahan itu. Melihat situasi semakin crowded, tanpa perlu pikir panjang Lova langsung berjalan setengah berlari menaiki tangga eskalator. Tak menghiraukan protesan dari beberapa orang yang tidak sengaja dia tabrak. Lova berputar lalu dengan tergesa berlari turun ke satu lantai di bawahnya menggunakan tangga eskalator satunya lagi menuju ke tempat Axel berada.
Lova berdiri tidak jauh di belakang kerumunan. Berkacak pinggang mengatur nafasnya yang putus-putus. Lova menelan salivanya sudah payah. Efek jarang melakukan olahraga, ya begini ini jadinya. Baru berlari sebentar saja sudah ngos-ngosan. Oh God!
Lova mengeluarkan topi hitam milik Alex yang tadi daddynya itu masukan di dalam tasnya ketika tadi akan memasuki studio bioskop. "Permisi, permisi." kata Lova dengan suara sedikit keras sambil berjalan menyeruak masuk ke dalam kerumunan. "Permisi, ya permisi saya mau lew-- aduh!" teriak Lova ketika ada seseorang entah siapa menabrak dari arah belakangnya. Ya ampun! Yang nonton sama yang lagi berantem sama-sama bar-barnya. Akhlakless semua memang.
Lova berjinjit. Langsung saja memakaikan topi hitam milik Alex di kepala Axel setelah berhasil berdiri di samping laki-laki itu. Mencoba menyembunyikan wajah Axel dari kamera-kamera netizen +62. Lova menggenggam tangan Axel erat dan menarik laki-laki itu pergi menjauh dari dalam kerumunan yang semakin sesak.
Axel yang tidak siap dengan tindakan tiba-tiba Lova sedikit terhuyung nyaris tersungkur jika saja dia tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Berjalan mengikuti di belakang gadis itu dalam diam. Axel menurunkan pandangan pada tangannya yang sedang digenggam tangan kecil Lova yang justru terasa pas di tangan besarnya. Tersenyum samar dan dengan raut tanpa dosa langsung menautkan jari tangannya di sela jari tangan gadis itu. Axel menggenggam erat tangan Lova.
"Eh?" Lova terkesiap sedikit dan reflek berpaling menatap Axel yang sudah berjalan di sampingnya.
Merasa sedang diperhatikan Axel menoleh menatap Lova. "Kenapa?" tanya Axel dengan sebelah alisnya terangkat.
"Hah?" Lova melongo dan langsung mengangkat wajahnya kembali menatap Axel. "Oh? Itu-- gak apa-apa, kok." jawab Lova dengan raut polos seraya menggelengkan kepalanya pelan membuat Axel tertawa kecil melihatnya.
Ketika sudah lepas dari tatapan mata hitam elang milik Axel, Lova perlahan menurunkan pandangan ke arah tangannya yang sedang tertaut erat dengan tangan besar laki-laki itu. Otomatis melebarkan langkah kaki pendeknya untuk mengimbangi langkah kaki panjang Axel.
"Udah aman, deh kayanya." Lova menoleh ke belakang sekilas. "Kita duduk dulu di kursi situ, yuk Axe." ajak Lova sambil menunjuk ke arah kursi besi panjang yang ada di depan sebuah toko pakaian yang jaraknya sudah cukup jauh dari tempat kejadian tadi. Lova langsung menarik Axel tanpa menunggu jawaban dari laki-laki itu.
"Duduk, Axe." titah Lova halus sambil menuntun Axel duduk di kursi besi panjang. Lova menusukkan sedotan ke plastik penutup cup Chatime miliknya yang masih utuh. "Nih. Kamu minum dulu, Axe." kata Lova pelan sambil menyodorkan cup Chatime pada Axel yang langsung diterima oleh laki-laki itu.
Axel melirik Lova yang berdiri di depannya dari balik topi. Pelan-pelan menyedot minuman berwarna coklat yang hampir tidak pernah dia minum karena tidak terlalu suka dengan minuman-minuman manis sejenis itu.
Lova perlahan membungkuk mensejajarkan wajahnya ke wajah Axel agar bisa melihat pipi laki-laki itu yang tertutup topi membuat gerakan menyedot dari bibir Axel seketika terhenti. Lova menatap pipi Axel lekat. Ck! Bekas memar yang kemarin saja belum hilang sepenuhnya. Ini sudah ditambah lagi. Kapan sembuhnya kalau begini caranya?
Axel menjauhkan sedotan dari bibirnya. Menurunkan cup Chatime hingga di atas pangkuannya. Axel berdehem pelan sebelum menatap wajah Lova yang berada sangat dekat dengan wajahnya. Dia merasa dejavu dengan situasi ini.
"Lo-- kenapa lo lihatin gue?"
Lova langsung berpaling menatap manik mata Axel.
"Heh! Jangan lihatin gue segitunya!" teriak Axel kesal lebih kepada dirinya sendiri karena ... hell! Bagaimana bisa seorang Axelle Adelio Cetta yang notabene selalu dikejar-kejar oleh lawan jenisnya dibuat menjadi sedikit salah tingkah hanya karena ditatap mata teduh warna hazel milik Lova?
Lova tidak menghiraukan ucapan Axel. Tangan kanannya dengan ragu-ragu terulur menangkup pipi Axel. "Pipi kamu sakit gak? Tadi aku ada lihat pipi kamu sempet ditampar soalnya." kata Lova sambil kembali mengalihkan tatapannya pada pipi Axel yang berhias cap lima jari itu. Lova mengusap pipi laki-laki dengan ibu jarinya pelan.
Axel hanya terdiam menatap Lova intens. Memejamkan matanya sejenak menikmati usapan tangan halus dan hangat gadis itu.
Drrrt ... drrrt ...
Axel seketika membuka matanya. Sementara Lova menegakkan tubuh dan langsung merogoh tas mengambil ponselnya yang bergetar panjang.
Daddy is calling ...
Axel menaikan sebelah alisnya ketika melihat Lova menepuk kening lebar gadis itu sedikit keras. Memperhatikan raut wajah Lova yang tadinya khawatir berubah menjadi panik. Siapa yang telepon? Pacar Lova?
"Hallo, daddy?"
Ohh ... bokapnya. Axel tanpa sadar menghela nafas lega seraya manggut-manggut.
["Hey ... where are you now, princess? Kenapa belum kembali juga? Are you okay, princess? Daddy cemas sekali."]
Lova tertawa kecil. "So sorry, daddy. Lova tidak sengaja bertemu teman Lova. Niatnya hanya ingin mengobrol sebentar saja, tapi malah kebablasan begini. Don't worry, daddy. Lova baik-baik saja."
Terdengar Alex menghela nafas lega di seberang sana. ["Okay. Daddy tunggu, princess. Makanannya juga sudah siap, nanti dingin jadi tidak enak lagi dimakan."]
"Sorry, daddy." balas Lova dengan suara lirih dan raut wajah menyesal.
Hal yang tidak Lova sadari, sedari ada panggilan masuk ke dalam ponselnya dari Alex, ada sepasang mata milik Axel yang terus memperhatikan setiap gerak geriknya.
["Hey ... it's okay, princess. Daddy sangat mengerti. Cepat kembali, daddy tunggu. Okay, princess?"]
Lova tetap menganggukan kepalanya. Walau tahu Alex tidak akan melihatnya. "Okay, daddy. Wait a minute."
["Okay, princess. Take your time."]
Tut!
Lova memutuskan sambungan telepon setelah mengucapkan kalimat penutup. Lalu memasukan kembali ponsel ke dalam tasnya. Lova menatap Axel dengan tatapan tidak enak. "Axe, sorry ... banget." Lova menangkup kedua tangannya di depan pucuk kepalanya sebentar. "Aku kayanya udah harus pergi. Aku gak bisa obati pipi kamu dulu. Daddy aku udah nungguin soalnya. Kamu gak apa-apa, kan?"
Axel terdiam. Tak langsung menjawab pertanyaan Lova. Kamu gak apa-apa, kan? Axel mengulang pertanyaan Lova di dalam hati. Kemarin gadis itu juga menanyakan hal yang sama padanya. Seolah keadaannya yang baik-baik saja adalah hal yang sangat penting untuk Lova. Sepele. Tapi hanya Lova yang menanyakan hal itu padanya.
"Axe?" panggil Lova lembut sambil menyentuh bahu Axel.
"Hah?" Axel melongo. Perlahan mengangkat wajahnya menatap Lova bingung. "Lo tanya apa sama gue barusan?"
"Lucu banget muka kamu kalau kaget gitu. " kekeh Lova pelan. "Kamu gak apa-apa, kan kalau aku tinggal?" tanya Lova lagi.
Ap-apa? Lu ... cu ...? Axel berdehem pelan untuk menutupi kegugupannya. Mengibaskan tangan kanannya cepat di depan wajah Lova. "Yaelah! Pergi, mah pergi aja sono, lo. Gue laki, digampar gitu doang kagak bikin gue ngerasa sakit."
Lova tersenyum samar. Mengangguk paham seraya menarik tangannya dari bahu Axel. "Iya, udah. Kompres lagi pipi kamu nanti. Aku pergi dulu, ya. Bye, Axe!" pamit Lova sambil melambaikan tangan kanannya sekilas. Lalu berlari kecil meninggalkan Axel.
Axel menatap punggung kecil Lova yang semakin menjauh dari pandangannya. Tangan kanannya terangkat melepas topi hitam yang Lova pakaikan di atas kepalanya. Senyum tipisnya seketika terbit menatap topi hitam itu. Ibu jari tangan kanannya bergerak mengusap bagian visor topi pelan.
"Dasar anak daddy." gumam Axel lirih. Axel beranjak berdiri seraya memakai topi kembali. Menoleh menatap sejenak ke arah Lova menghilang sebelum pergi menuju pintu keluar mall.
-firstlove-
Lova menghempas kasar tubuh lelahnya di atas ranjang empuk di dalam kamarnya dengan posisi telungkup membuat tubuh ringannya memantul beberapa kali. Menghelas nafas lelah. Lova membalikan posisi tidurnya menjadi terlentang. Menatap langit-langit kamarnya kosong. Dia belum bisa mengartikan arti dari pertemuan-pertemuan tidak sengajanya dengan Axel yang terjadi dua hari secara berturut-turut itu. Aneh.
Dengan gerakan cepat Lova menoleh menatap pintu kamarnya yang dibuka dari arah luar. Muncul sosok Lila yang berjalan memasuki kamarnya dengan ponsel yang menempel di telinga kanan gadis itu. Lova mendengus keras. Tukang pacaran. Lova berpaling kembali menatap langit-langit kamar sambil melipat kedua tangannya di atas perut.
Lova melirik ke bawah ketika merasakan ranjangnya bergerak pelan. Menatap Lila yang sudah duduk bersila di tepi ranjang menghadap padanya. Lova menaikan sebelah alisnya memperhatikan Lila yang tengah senyum malu-malu tapi mau. Menggelengkan kepalanya pelan sambil memejamkan mata.
"Bangun. Jangan tidur dulu, moon. Bersih-bersih badan dulu." kata Lila sambil menepuk paha kanan Lova pelan.
Lova perlahan membuka kedua kelopak matanya. Menoleh sedikit menatap Lila. "Lila udah selesai teleponan sama abangnya?" tanya Lova seraya bangun dan ikut duduk bersila di dapan Lila.
Lila mengangguk pelan. "Kenapa chat dari aku cuma dibaca doang? Chat aku bukan koran, ya moon. Gak gitu konsepnya."
Kening Lova mengerut dalam. "Emang iya? Perasaan, Lova tadi udah kirim balasan chat Lila, deh."
"Mana ada?!" sentak Lila keras.
Kedua alis Lova mengerut. "Masa, sih?" gumam Lova lirih sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Mengutak-atik benda pipih canggih itu sebentar. Lova reflek menepuk keningnya sedikit keras. Perlahan menoleh menatap Lila. "Belum sempat ke send, Lila." Lova menatap Lila dengan raut wajah bersalahnya.
Lila mendengus keras seraya melipat kedua tanganya di depan dada. Menatap Lova malas.
Lova memegang lengan Lila dengan kedua tangannya. "Lila jangan ngambek, dong." Lova menatap Lila dengan puppy eyesnya. "Lova beneran udah ada ketik balasan buat Lila tadi. Tapi ternyata belum selesai. Lova udah keburu dipanggil sama mbak-mbak Chatimenya. Nih, lihat kalau Lila gak percaya." terang Lova sambil menyodorkan ponselnya pada Lila.
Lila memutar kedua bola matanya malas. Senjata andalan banget! Lila menghela nafas pelan seraya mendorong ponsel Lova pelan. "Iya, aku percaya. Udah dimaafkan. Kamu mandi dulu, gih sana moon. Aku ada bawa cheesecake, tuh. Oleh-oleh dari bunda. Nanti kita makan bareng-bareng sama uncle."
Lova tersenyum lebar langsung menghambur memeluk Lila erat. Lalu melompat turun dari ranjang berjalan tergesa menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya membuat Lila geleng-geleng kepala melihatnya.
Lila perlahan turun dari ranjang Lova. "Aku tunggu di bawah, ya moon?! Gak pake lama mandinya." teriak Lila dari ambang pintu kamar Lova.
"Iya, Lila!"
Tbc.