LINE
Kyakkkk family (4)
23.55 PM
Private Number joined the group.
Pael gans
|SAPE TU WOI
|ENAK BENER MAIN JOIN
23.56 PM
Joceeelll
|lah?
|kalian knl g?
|sok privnum lagi
23.57 PM
Jess'chia
|ga ada yg invite padahal
|...
|jan bercanda lah..
23.57 PM
Pael gans
|SAPE LO @Private Number
|NGAKU AJA
|GAUSA NGEPRENG
|PRENG UDAH BASIII
23.58 PM
Joceeelll
|preng apaan dah?
23.58 PM
Jess'chia
|prank maksudnya @Joceeelll
|pael kan g lulus sd
|makanya rip english
23.58 PM
Pael gans
|meh meh
23.58 PM
Jess'chia
|serius deh
|lo siapa? @Private Number
|kok bisa join tanpa di invite? @Private Number
23.59 PM
Private Number
|Oriela Paz sudah meninggal
|saya hanya memberitahu.
23.59 PM
Jess'chia
|apaansih?!
|ngarang amat
|lo siapa deh?! @Private Number
23.59 PM
Private Number left the group.
Pael gans
|WOY OREO @oorielz
|BANGUN LO
|KLARIFIKASI SINI
|LO SEHAT WAL AFIAT KAN?!
23.59 PM
Joceeelll
|gan..
|barusan gue dikabarin
|oriel emg meninggal..
|ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
00.00 AM
Jess'chia
|hAH?!
|GAK!
|GAK MUNGKIN LAH
|GILA
|NGE PRANK YA
|TADI PAGI DIA SEHAT AJA TUH
|MALAHAN DIA HANGOUT
|SAMA JOPANA
|@oorielz
|plis reply chat gue klo lo baik2 aj @oorielz
00.00 AM
Joceeelll
|jess,
|riel udah gak ada..
|dia gk mungkin reply
|ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
00.00 AM
Jess'chia
|gak nyangka gue
00.03 AM
Joceeelll
|yg ada id line jopana
|tolong masukin gc ini
|kykny dia tau sesuatu
00.04 AM
Jess'chia
|l punya id line nya vana kan?
|invite skrg @Pael gans
00.05 AM
Joceeelll
|WOI
|gausah sok ngilang!
|gue tau lo lagi aktif ig @Pael gans
00.13 AM
Pael gans
|sorry gan
00.13 AM
Pael gans invited Jophy.
Jophy joined the group.
Jophy
|hai
|ini ada apa ya?
01.29 AM
Pael gans
|oriel meninggal..
01.29 AM
Jophy
|gue turut berdukacita atas oriel
01.30 AM
Joceeelll
|undang arizona @Pael gans
01.33 AM
Pael gans
|gk punya lah
01.34 AM
Jophy
|gue ada
|bentar gue invite
01.34 AM
Jophy invited arinixy.
arinixy joined the group.
arinixy
|turut berduka cita buat kalian
|gue kok tiba2 di invite?
01.36 AM
Joceeelll
|bsk pulang sklh kumpul di rftp.
|gk ada pengecualian.
|thx.
01.47 AM
.
.
.
.
.
.
.
"Bro, turut berduka cita ya."
"Jangan berlarut di kesedihan ya. Life must going."
"Keep smile guys!"
"Oriel gak suka liat kalian sedih-sedih miris gini. Jangan kelamaan sedihnya."
.
.
.
.
.
.
.
"Kalian salah kalo nuduh gue.."
"Cuma gara-gara gue sering sama dia, kalian curiga sama gue?"
"Gue cuma 'penyaran' buat masalah dia, dan kalian juga ikutan curiga sama gue?"
"Gue sama lo terus-terusan dan lo curiga ke gue?"
"Kenapa lo nuduh kita tanpa sebab? Lo keliatan mencurigakan kalo kayak gini."
.
.
.
.
.
.
.
Cermati lagi jalanmu .
kau yakin tidak menemukan titik semu?
lihatlah objek ragumu ,
dia sedang tersenyum .
***
"Jadi, kenapa kita ngumpul disini?"
Suara Geovana memecah kebisuan yang sempat dirampas oleh hening udara hampa rooftop sekolah. Kini, mereka berlima tengah duduk bersila membentuk sebuah lingkaran dengan pandangan mata yang saling menaruh curiga satu sama lain.
"Oke gak perlu basa-basi. Lo kemarin ngapain aja sama Oriel?" Tanya Joceline dengan tatapan mata tajam sembari mengangkat tegas telunjuk kirinya kepada Geovana.
Pandangan mata mereka berempat pun menjadi terfokus pada objek yang tengah di introgasi. Sejuk udara sepoi sore hari menerpa helai-helai rambut hitam legam mereka. Mengacuhkan suara bising dari siswa siswi lain yang belum pulang dikarenakan ekskul, mereka membisu membiarkan suasana tegang mengisi kelimanya.
Geovana yang tak tahu apa-apa pun berkeringat dingin lantaran suasana yang dianggapnya tak biasa. Menarik oksigen sejuk untuk dihirupnya, ia pun membuka suara, "Kemarin gue sama Oriel ke festival sore yang ada di deket rumah gue. Oriel ngajak gue soalnya dia lagi suntuk. Udah gitu aja."
Menyimpan pernyataan Geovana dalam pikiran, Joceline beralih menunjuk pada gadis berambut pendek lurus yang duduk disamping kanan Geovana, Arizona Nicola. "Sebelum Oriel pergi sama Jopana, gue tahu lo paginya lagi sama Oriel. Lo ngapain aja?"
"Pagi-pagi buta Oriel kerumah gue sambil gemeter takut. Dia cerita kejadian rahasia ke gue dan gue dimintai saran. Kalo lo mau nanya kejadian rahasianya apa, sorry, gue gak bisa bilang. Gue udah janji sama Oriel buat gak bilang ke siapa-siapa." Tukas Arizona dengan cepat dan santai.
Kini tatapan curiga Joceline berpindah pada lelaki bermata kayu manis khas Eropa yang ada disamping kiri Geovana, Raphael Cleve. "Gue agak curiga sama lo. Akhir-akhir ini lo keliatan deket banget sama Oriel. Ngobrolin apa sih?"
Lelaki berdarah campuran Eropa-Indonesia itu mengernyitkan dahinya sembari mengangkat satu alisnya, "Lo cemburu gara-gara gue deket sama Oriel?"
Joceline melotot tak terima, "Apa?! Ya enggaklah! Ngapain gue cemburu?"
"Udahlah, Lin. Lo ngapain sih nanya-nanya gini? Toh, gak guna juga. Kita gak punya hak buat ngusut kasusnya Oriel. Gak ada yang mencurigakan juga, 'kan ditubuh Oriel?" Ujar Jesslyn yang sedari tadi hanya diam memperhatikan sahabatnya mengintrogasi satu persatu orang yang ada disini.
Joceline menggaruk kepalanya frustasi, "Gak gitu, Jes! Gue kemarin dimintai tolong mamanya Oriel buat nyari info kenapa Oriel meninggal. Mamanya Oriel ngasih tahu gue kalo Oriel itu gak sekedar kecelakaan biasa!"
"Terus lo mau gitu? Lin, ini tuh harusnya jadi kasusnya polisi. Yang harus mecahin kasusnya juga polisi, bukannya lo ataupun kita! Lagian ngapain mamanya Oriel bilang gitu ke lo? Jelas-jelas selama ini kita tahu kalo hubungan Oriel sama orang tuanya kurang baik," ucap Raphael sambil berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju pembatas rooftop.
"Iya, gue tahu gak mungkin banget orang tuanya Oriel peduli banget sama kematian Oriel, tapi gue mau nyari sebab Oriel meninggal! Lo gak curiga ada yang aneh? Lusa sebelum kejadian dia bilang ke kita kalo lagi ada masalah lagi sama orang rumah, besok paginya dia lari ketakutan ke rumahnya Arizona, siangnya dia have fun sama lo, sorenya hangout sama Jopana dengan alasan suntuk. Jelas-jelas ini aneh banget!"
Geovana dan Arizona yang memang pada dasarnya tidak pernah menyelam terlalu dalam tentang persahabatan antara mereka bertiga pun saling bersitatap kebingungan.
"Sorry gue nyela, gue gak tahu apa-apa tentang ini. Dan bukannya gue gak mau bantu, tapi gue rasa, gue gak ada hubungannya sama kalian?" Ucap Geovana dengan hati-hati.
"Gue juga gak tahu maksud lo kayak ginian ke gue ataupun ke Geovana yang sekedar teman doang buat kalian itu apa. Tapi gue juga ngerasa kayaknya gue gak ada hubungannya?" Tambah Arizona.
"Iya. Sorry ya atas perkataan maupun perlakuan Joceline ke kalian. Gue atas nama──"
"Jes! Lo apa-apaan sih?! Kalian juga apa-apaan?! Bilang gak ada hubungannya padahal sebelum meninggal Oriel ketemu sama kalian!" Sentak Joceline dengan menggebu-gebu.
"Udahlah, Lin. Kita kayak gini tuh percuma. Oriel juga pasti udah tenang disana," ucap Raphael yang sedang memperhatikan barisan paskibraka putri yang sedang berlatih di lapangan.
"Kalian berempat kenapa sih?! Oh, jangan-jangan kalian yang──"
"Stop! Lo keterlaluan, Lin. Lo tuh kenapa sih tiba-tiba kayak gini? Main tuduh sembarangan, ngomong ngelantur sok curiga sambil ngintrogasi kita. Malahan lo yang keliatan mencurigakan!" Sentak Jesslyn yang juga mengikuti jejak Raphael untuk berdiri dari tempat duduknya dan menyandar di pembatas rooftop.
Mereka bertiga yang masih terduduk pun ikut berdiri. Jika Geovana dan Arizona sibuk menepuk-nepuk debu yang menempel pada seragam mereka, Raphael dan Jesslyn sibuk menatap hal lain yang dikiranya lebih menarik, maka lain hal dengan Joceline yang sibuk menggumamkan hal yang tidak jelas.
"G-gue minta maaf ke kalian.. t-tapi gue minta tolong banget ke kalian.. t-tolong bantu g-gue buat nyelidikin kasusnya Oriel ya?" Ucap Joceline yang menunduk sambil gemetar menahan tangis.
"Oke fine. Kita bantuin lo."
***
"Jop, lo yakin?"
Lelaki bertubuh tinggi tegap itu berjalan mondar-mandir sambil berkacak pinggang. Tak jarang, ia menyugar rambutnya frustasi. Mata kayu manis berlensa coklat yang tidak terlalu tua maupun muda itu tak henti-hentinya menatap gusar pada Geovana yang sibuk menjamahi handphone berlogo apel yang tergigit.
"Kenapa enggak?"
Jawaban kelewat santai tanpa ragu yang dilontarkan Geovana membuat Raphael semakin frustasi. Raphael mendekat pada kursi Geovana dan menggebrak mejanya. Membuat sang empu berjengit dan hampir saja menjatuhkan handphone mahal itu.
"Heh! Biasa aja dong!" Sengit Geovana yang memeluk handphonenya sayang.
"Jop, kita masih SMA. Kita gak mungkin detektif-detektifan gini. Sok mau mecahin kasus. Lo anak IPA, otaknya bisa mikir cepet buat gini-gitu. Sedangkan gue? Gue anak IPS, otaknya pas-pasan. Males diajak mikir gini-gitu," oceh Raphael sambil menyeruput kasar vanilla latte milik Geovana.
Geovana mengangkat satu alisnya. Ia meletakkan handphonenya dengan kasar diatas meja. Ia berdiri sambil melipat kedua tangannya didepan dada, menunjukkan gesture tersinggung akan ucapan Raphael. "Denger ya, anak IPA sama anak IPS itu sama aja. Sama-sama pinter. Jadi gak usah banding-bandingin kadar otak lewat jurusan kelas. Lo tuh aslinya pinter, cuma pinternya ketutupan sama kelakuan model setan lo."
"Jadi lo ngatain gue kayak setan?!" Sengit Raphael tak terima sembari berkacak pinggang.
"Aduh, ini ngapain sih? Kok malah KDRT-an? Mentang-mentang kafe sepi kalian malah ribut. Ngeributin apa sih? Harta gono-gini? Hak asuh anak?" Celetuk Jesslyn yang baru saja tiba sambil membawa nampan berisikan dessert bersama Arizona.
"Sembarangan kalo ngomong!" Pelotot Geovana dan Raphael bersamaan.
"Duduk aja yuk," ajak Arizona yang langsung ditanggapi dengan mereka bertiga. "Kalian ngeributin apa sih?" Sambung Arizona yang sibuk memotret beberapa suguhan makanan dan minuman yang tertata rapi di meja.
"Gue gak yakin bisa bantu Joceline. Kalian tahu sendiri otak gue cuma seperempat, Geovana isi otaknya halu melulu, Jesslyn isinya lawak mulu, sedangkan lo isinya taraktakdung dua ribu dua puluh," ungkap Raphael yang langsung mendapat death glare dari subjek yang telah disebutkannya.
"Gue yakin bisa bantu kok. Bantuin lo jadi cowok straight aja bisa," ucap Geovana sambil mencomot cheese cake-nya.
"Uhuk! Jadi selama ini lo belok?!" Ucap Arizona yang tersedak bubble tea-nya sambil menggebrak meja.
"Bukan belok! Gue masih suka sama cewek kali! Cuma gue lebih suka baca novel boy x boy." Elak Raphael dengan cepat sebelum menimbulkan kesalahpahaman.
"Stop bahas yang gak penting. Sebelum Joceline dateng, sekarang gue tanya apa tujuan kalian buat bantu ide gilanya Joceline buat nyelidikin kasus Oriel?" Tanya Jesslyn intens dan penuh keseriusan.
"Gue sih gara-gara si Jopana bilang mau bantuin aja. Sebenernya gue ogah. Gak penting banget. Walaupun Oriel sahabat gue, tetep aja kita gak seharusnya ikut campur gini," jawab Raphael.
"Gue sih cuma sekedar berpartisipasi doang. Gue agak kepikiran gara-gara paginya Oriel kerumah gue sambil ketakutan kayak gitu. Gue ngerasa gue harus bantu aja," jawab Arizona.
"Kalo gue, gue sih biar bisa kayak detektif Conan. Biar keliatan heroik banget kayak di novel-novel hehe," jawab Geovana.
"Gue jadi beneran gak yakin bisa bantu Joceline gara-gara denger tujuan kalian," ungkap Jesslyn.
Arizona hendak membuka suaranya namun ia urungkan saat melihat gadis berponi nan berkuncir kuda yang baru saja turun dari angkutan umum di seberang kafe. Perlu diketahui saja, kendati namanya kebarat-baratan, Arizona seratus persen berdarah Indonesia. Bahkan kedua orang tuanya saja orang Kalimantan. Namun tak dapat dielak jika ada yang bilang bahwa paras Arizona sangat cantik layak orang barat sungguhan.
"Hai, sorry gue telat banget ya?" Sapa Joceline yang baru saja tiba.
Joceline Grizelle. Sedikit mempunyai darah China dikarenakan kakek buyutnya berdarah China. Memiliki mata sipit dengan kombinasi hidung tidak terlalu mancung namun tetap terlihat manis untuk dipandang.
"Iya, telat banget," sahut Raphael yang langsung mendapat respon pukulan cukup keras di bahu oleh Jesslyn.
"Apa sih?!" Desis Raphael tak terima.
Jesslyn Phicia. Blasteran Belanda-Indonesia yang ternyata merupakan sepupu jauh Joceline. Gadis berhidung mancung yang sangat suka dengan model rambut kepang satu. Bahkan hampir setiap hari ia mengepang rambut ikalnya.
Joceline tersenyum tipis. Ia pun mengambil tempat duduk yang tersisa, yaitu berada diantara Geovana dengan Jesslyn. "Thanks udah mesenin makanan gue," ucapnya sambil mengeluarkan handphone berwarna abu-abunya dari dalam totebagnya.
"Jadi, kenapa kita malem minggu malah kumpul di kafe yang lumayan sepi ini?" Tanya Raphael.
"Oke langsung aja. Jadi, beberapa jam setelah kita kumpul di rooftop tiga hari yang lalu, gue di chat sama private number yang pernah masuk ke grup chat kita. Dia bilang, dia bisa bantu kita. Dia ngasih gue beberapa hint selama tiga hari ini. Gue──"
"Bentar. Ini kok aneh banget? Kok tiba-tiba anonim itu bantu kita? Dia minta imbalan gak?" Selidik Raphael.
"Kejadian kita mirip fanfiction yang pernah gue baca. Kalo yang pernah gue baca, yang bantu kita itu psikopat. Pas mau mecahin misterinya, satu-persatu orang yang ikut rencana buat mecahin misterinya bakal mati dibunuh sama si psikopat ini. Ih, jadi deg-deg an," ucap Geovana.
"Ini realita, please. Jadi jangan samain kayak novel yang lo baca," jengah Arizona.
"Eh iya juga ya. Kejadian kita kayak komik-able gitu," tambah Jesslyn yang setuju dengan ucapan Geovana.
"Serius dulu dong guys." Tengah Raphael.
"Oke.. gue bakal tunjukin hint yang dikasih tau sama anonim itu," ucap Joceline sembari menunjukkan histori chatnya dengan sang anonim kepada mereka berempat.
LINE
Ano Private
|ini hint pertama
|baca dan cermati baik-baik!
|pria wanita itu sama saja
|segelintir makhluk bodoh dengan nafsu tinggi
|hanya gender yang membedakan
|tahta, harta, kepuasan
|3 misi dengan visi tanpa logika
|tak peduli ikatan apa
|cukup gunakan otak
|jangan libatkan perasaan
06.06 AM
|hint kedua!
|saling menyalahkan tanpa peduli rasa
|tuan puan sama saja
|dunia ini sangatlah buruk
|tidak ada tempat yang bisa disinggah
|semangat, rasa, harapan
|3 hal yang tidak ada harganya lagi
|membiarkan akal berkuasa
|singa bisa menjadi kelinci
|kelinci bisa menjadi singa
|tebak siapa yang salah dan benar
06.06 AM
|hint ketiga!
|cermati lagi jalanmu
|kau yakin tidak menemukan titik semu?
|lihatlah objek ragumu
|dia sedang tersenyum
06.06 AM
"Gue perhatiin, dia selalu ngasih hint di jam yang sama. Iya gak sih?" Ujar Jesslyn.
"Yang hobi baca sajak puisi biasanya pinter beginian nih," sindir Raphael.
"Saha? Nugu? Sopo? Sinten? Siapa weh?!" Heboh Arizona.
"Itu tuh, bantet tukang makan tuh," ucap Raphael sambil menunjuk-nunjuk Geovana lewat kode gerakan matanya.
Sebelum Geovana menyahuti Raphael, Jesslyn lebih dulu menyela karna ia menyadari akan ada perdebatan argumen lagi jika Geovana menggubris Raphael. "Lo sendiri tahu gak apa maksud tiga hint ini?" Tanya Jesslyn pada Joceline.
Joceline sedikit terkejut karena pertanyaan tiba-tiba Jesslyn. Ia kira Geovana yang akan ditanyai seperti itu. "Oh, gue? Eum, yang gue cerna dari tiga hint ini, pelakunya bisa siapa aja. Bisa cowok, bisa cewek," jawab Joceline.
"Kalo menurut lo, Jop?" Tanya Jesslyn.
"Coba sini liat lagi," pinta Geovana pada Joceline. Geovana mencermati ulang tiap penggalan kalimat yang terketik di handphone Joceline. "Hint pertama. Anonim itu bilang, pelakunya bisa cowok, bisa cewek. Pelakunya ini terobsesi sama yang namanya jabatan, uang, sama kepuasan diri sendiri. Gampangnya, dia egois."
"Hint kedua. Pelakunya ini licik. Bermuka dua. Sok merasa tersakiti padahal bukan dia yang tersakiti. Intinya gitu. Kalo hint ketiga, gue gak yakin," sambung Geovana.
"Gue ngerasa, habis ini kita bakal main tuduh-tuduhan deh," ucap Arizona sambil memainkan cup gelas berisi dalgona dark choco-nya.
"Sebelum kita semua sakit hati gara-gara tuduhan ini, gue peringatin jangan ambil hati sama perkataan siapapun nanti yang nuduh. Wajar kalo kita main asumsi kayak gini. Jangan baperan dulu intinya. Apalagi lo, Joceline," ingat Raphael sambil menunjuk ke arah Joceline.
Joceline mengangguk tanda mengerti akan perkataan Raphael. "Gue boleh ngomong duluan?" Tanya Joceline meminta izin kepada empat temannya. Setelah mendapat anggukkan izin, Joceline menyuarakan pendapatnya, "Karna Oriel paling sering terlibat sama kita, gue kecilin lingkup pelakunya jadi diantara kita berlima. Jadi, sebelumnya gue minta maaf banget kalo kalian tersinggung sama gue," Joceline memberi jeda sejenak.
"Hint pertama, egois. Kita semua egois. Raphael terobsesi sama jabatan, Jesslyn sama Jopana terobsesi sama uang, Ari sama gue terobsesi sama kepuasan diri sendiri. Hint kedua, licik. Gue nyebutnya dia pinter mikir strategi. Diantara kita berlima yang suka main teka-teki cuma Jopana. Menurut gue, hint ketiga itu orang yang kita curigai. Kita harus waspada sama orang yang kita curigai. Itu asumsi gue," lanjut Joceline.
"Jadi kasarannya, lo curiga sama Jopana?" Tanya Arizona tanpa basa-basi.
"Iya."
"Jop, pas lo jalan-jalan sama Oriel, Oriel gak cerita apa-apa?" Tanya Jesslyn sambil melipat kedua tangannya diatas meja.
"Nope. Dia gak bilang apa-apa dan gue gak tanya apa-apa karna dari ekspresinya dia keliatan gak mau ditanya-tanyain," jawab Geovana.
"Gue rasa cerita rahasia Oriel ke Arizona bisa jadi petunjuk besar buat kita," ucap Raphael sambil menatap penuh harapan pada Arizona yang berhadapan dengannya.
Arizona mendesah panjang. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi lantas melipat kedua tangannya di depan dada. "Sorry, gue udah janji. Janji gak mungkin di ingkari, 'kan?"
"Tapi ini tuh penting banget. Kasih spoiler dikit, please?" Ucap Joceline memohon dengan pandangan mata berkaca-kaca.
"Sorry," ucap Arizona tidak mengindahkan tatapan Joceline.
Joceline tidak pantang menyerah untuk membujuk Arizona, begitupula dengan Raphael dan Jesslyn. Sedangkan Geovana, ia menumpu dagunya dengan tangan kanannya diatas meja. Pikirannya berkelana kesana-kemari. Arah pandangnya menatap kosong matcha cake milik Arizona yang masih utuh. Pendengarannya seolah menulikan segala kebisingan yang ada disekitarnya. Berbagai rangkaian kejadian ia rakit layak susunan puzzle di kepalanya. Berusaha menemukan ujung benang merah berada.
Lusa hari sebelum kejadian, Oriel bertengkar dengan orang rumah. Jika orang rumah berarti keluarga Oriel, maka perkataan Raphael tentang hubungan Oriel dengan keluarganya yang kurang baik itu benar. Dan jika esok pagi butanya Oriel pergi menangis ketakutan kerumah Arizona, itu berarti mungkin masih berkaitan dengan pertengkaran Oriel dengan keluarganya.
Jika siang harinya Oriel have fun dengan Raphael dan sorenya pergi jalan-jalan dengan Geovana, maka itu berarti Oriel berusaha melupakan masalahnya. Jika esoknya dikabarkan Oriel telah meninggal dunia, tentu saja yang patut dicurigai dan ditanyai adalah orang yang bersangkutan dengan Oriel pada hari sebelumnya dan lusa sebelumnya.
"Please, sekali aja bilangin kita."
"Just in one minute?"
"Cuma sekedar spoiler dikiiitt aja?"
"Enggak, enggak, enggak, pokonya enggak. Valid no debat!"
"Gue rasa mereka ada benernya. Kuncinya ada di cerita rahasia lo sama Oriel," ucap Geovana sambil menatap sungguh-sungguh pada Arizona.
Belum sempat Arizona mengelak ucapan Geovana, namun Geovana sudah mengimbuhkan lagi, "Untuk sekali aja jangan terlalu lurus jadi orang. Ingkar sesekali itu gak papa. Apalagi ini demi kebaikan Oriel juga. Biar masalahnya cepet selesai dan kita gak stuck disini aja. Ri, kita kurang petunjuk. Petunjuk yang disebutin anonim itu cuma bantu sedikit, tapi petunjuk dari lo, itu bahkan bantu lebih dari setengah."
Hening menyapa mereka sejenak. Semua arah pandang mata terpaku pada Arizona yang tampak berpikir keras. Ia sangat berhati-hati dalam memutuskan hal ini karna menurutnya hal ini sangat sensitif untuk dibicarakan.
"Fine. Gue ceritain."
Deru napas lega pun terdengar dari mereka berempat.
***
Tok tok tok!
Tok tok tok!
"Permisi.."
Tok tok tok!
Derap langkah tergesa-gesa terdengar dari dalam rumah. Ricuh berisik entah karna sebab apa turut terdengar dari dalam rumah.
Ceklek!
Pintu berwarna putih susu itu terbuka dengan menampilkan seorang gadis muda dengan piyama bermotif Micky Mouse berwarna biru langit. Benjolan lumayan besar berwarna merah kebiruan di keningnya mungkin dapat menjelaskan kenapa ada suara gaduh sebelum pintu minimalis itu terbuka.
"Siapa?"
Dengan tampilan cukup berantakan dengan peluh keringat yang sebesar biji jagung, gadis berponi rata itu memegangi kedua lengan Arizona yang masih setengah sadar dengan gemetaran. Bibir pucat pasi dipadu dengan deru napas yang tersengal-sengal itu memancarkan ketakutan akan sesuatu yang entah tak tahu apa.
"L-loh, O-oriel lo kenapa?!"
"T-tolong g-gue.."
Seakan tersambar kekuatan flash, kesadaran yang tadinya mungkin masih sekitar tiga puluh persen itu sekejap berubah menjadi seratus persen. Eksistensi tak wajar Oriel membuat Arizona refleks menyeretnya masuk kedalam kontrakan sederhananya.
Mengunci rapat-rapat pintu kontrakan, Arizona mengarahkan Oriel yang terisak-isak untuk duduk di sofa empuk berwarna hitamnya. Arizona yang tidak tahu harus bertanya darimana pun lebih memilih untuk mengambilkan Oriel air mineral terlebih dahulu.
"Minum dulu pelan-pelan," ucap Arizona sambil membantu Oriel untuk memegangi gelas bergambar bunga-bunga itu.
Setelah diminum hampir setengah gelas oleh Oriel, Arizona meletakkan gelas yang masih tersisa air itu di meja kayu berbentuk persegi panjang di depannya. Pusat perhatian Arizona terfokus pada kedua tangan Oriel yang mengatup menggigil tanda kedinginan. Lagi-lagi Arizona refleks melakukan sesuatu untuk Oriel. Arizona menggosok-gosok kedua tangannya dan beralih memegangi kedua telapak tangan Oriel. Berusaha memberikan kehangatan sederhana untuk sang empu.
"Lo bisa cerita kalo lo udah siap cerita," ucap Arizona dengan pandangan mata khawatir.
Oriel yang diperlakukan sangat hangat oleh Arizona pun tak dapat membendung air matanya lagi. Tetes sendu itu kembali luruh menghiasi pipi Oriel yang sedikit lebam. Oriel memeluk Arizona dan menumpahkan segala tangisnya kepada Arizona.
Hampir sekitar lima menit mereka terpaku dengan keheningan pagi. Isakan Oriel mulai mereda, begitupula dengan air matanya yang mulai berhenti luruh. Deru napasnya yang tak tenang pun mulai menjadi tenang. Arizona pikir Oriel tengah terlelap karena lelah menangis, namun ternyata tidak.
Oriel menjauhkan dirinya dari gadis cantik beralis tebal yang refleks membuat pelukan keduanya terlepas. "G-gue udah siap cerita.."
"Kalo lo belum siap mending jangan dulu," ucap Arizona yang langsung mendapat gelengan kepala dari Oriel.
"G-gue udah siap," mantap Oriel. Oriel menghirup napas panjang sebelum akhirnya menceritakan apa yang terjadi padanya. "Gue habis kabur dari rumah. Kemarin tengah malem gue bertengkar sama papa mama lagi. Gue gak tahu kenapa. Gue bahkan gak ngelakuin apa-apa. Tapi tiba-tiba aja papa mama marahin gue habis-habisan."
"Dan tiba-tiba papa nampar gue. Gue kabur dari rumah. Gue lari gak tahu mau kemana. Gue sempet diem di depan rumah Jopana. Gue sebenernya mau ngetok rumahnya, tapi gue takut ganggu. Apalagi gue denger Jopana sempet ribut juga sama keluarganya. Akhirnya gue lari ke rumah lo. Ke kontrakan lo ini."
"Tolong jangan bilang siapa-siapa tentang kejadian ini. Gue pingin lo janji sama gue,"
"O-oke.. t-tapi lo biasanya bertengkar kenapa k-kalo boleh tahu..?"
Oriel menghembuskan napasnya kasar, "Sepele aja. Gue ngelakuin hal yang seharusnya gak gue lakuin. Gue dikatain anak gak tahu terima kasih, dikatain anak gak tahu diuntung. Drama banget, 'kan? Padahal yang gue lakuin itu bukan kriminal juga. G-gue cuma.. gue cuma ngelakuin apa yang pingin gue lakuin. Udah gitu aja."
"Gue bener-bener gak ngerti gue buat kesalahan apa.."
***
"Udah, dia cerita gitu doang," ucap Arizona lantas meminum bubble tea-nya.
"Hah? Udah? Gitu doang?" Ucap Raphael sambil menganga masih tak percaya dengan apa yang diceritakan Arizona.
Bagi Raphael, tidak ada hal penting di cerita Arizona. Raphael tak habis pikir kenapa Arizona mengatakan bahwa itu tadi cerita yang cukup sensitif. Jalan pikir perempuan memang selalu berbeda dengan jalan pikir lelaki.
"Gue rasa ini beneran cuma kecelakaan biasa. Gak penting-penting banget. Gak kasus-kasus banget. Gak misterius banget juga. Bagi gue ini wajar banget, malah kelewat wajar banget," ucap Jesslyn sambil menusuk kasar pie dark choco matcha-nya.
"Ini tuh wajar, kenapa kita malah melebih-lebihkan? Dude, r u kidding me? Punya masalah sama keluarga itu wajar. Kabur pas punya masalah juga wajar. Kabur dari rumah itu juga wajar banget bagi remaja bengek kayak kita. Curhat ke temen itu wajar. Seneng-seneng buat ngelupain masalah itu juga wajar. Kecelakaan itu wajar. DUDE, SERIOUSLY? INI TUH CUMA KASUS BIASA," ucap Raphael menggebu-gebu.
"Kita umur labil, gue rasa ini wajar kalo kita melebih-lebihkan sesuatu," tambah Geovana.
"K-kayaknya g-gue harus jujur ke kalian.." gumam Joceline yang terdengar oleh Arizona.
"Jujur? Jujur apa? Please, jangan buat waktu kita sia-sia buat bicarain hal yang gak jelas gini. Kita udah tahu kalo Oriel meninggal, tapi kenapa kita malah ngeraguin hal yang udah jelas banget?" Ujar Arizona.
"Jangan bilang selama ini lo bohong tentang ada yang aneh sama kematian Oriel?" Tambah Jesslyn dengan pandangan mata memicing curiga pada sahabat sekaligus sepupunya itu.
Joceline menghela napas pasrah, "Gue gak bohong tentang kematian Oriel. Ini emang aneh banget. Pertama, kita tahu Oriel meninggal gara-gara anonim gak jelas ini. Kedua, yang tahu Oriel meninggal cuma orang-orang yang pernah deket banget sama Oriel. Kalian inget, 'kan? Waktu kita ziarah ke makam Oriel, ada empat orang dateng nyamperin kita di depan gapura makam. Lebih tepatnya kayak nungguin kita."
"Oh, si Alexa, Nathan, Kevano, sama Rara itu, 'kan?" Ucap Arizona yang langsung dibalas anggukan oleh Joceline.
"Kalo kalian perhatiin baik-baik, waktu itu mereka berempat kayak gak tenang. Kayak lagi diawasin sesuatu. Lagian kenapa mereka cuma berdiri ngentang di depan gapura? Kenapa gak ikut masuk berbelasungkawa ke makam Oriel aja? Ketiga, kalo ada yang meninggal, entah itu siswanya atau keluarganya, pasti pihak sekolah tahu dan ngadain bantuan sumbangan. Tapi nyatanya, kepala sekolah kita gak ngadain apa-apa. Bahkan kayak orang gak tahu."
"Tadi siang, gue sempet dimintai tolong Bu Mega buat ngasih absen kelas ke wali kelas kita buat ngisi rekap absen rapot. Gue iseng baca-baca absen, dan kalian tahu gue nemuin hal aneh apa? Absensi Oriel di isi izin selama tiga hari ini. Jelas banget dong kalo warga sekolah emang gak tahu apa-apa?"
Lagi-lagi mereka diam dalam kebisuan. Suasana kafe yang perlahan mulai ramai ini seakan turut senyap mengikuti kehampaan hening mereka.
"Kenapa orang tua Oriel gak bilang ke pihak sekolah? Kenapa absen Oriel ditulis izin?" Ucap Geovana lirih bahkan hampir mirip gumaman.
"Guys, masa iya Oriel belum meninggal dan dia bikin surat izin selama tiga hari ini?" Tanya Jesslyn.
"Gila lo. Jelas-jelas kita ke makamnya Oriel tiga hari yang lalu. Bahkan nisannya tertulis jelas Oriela Paz," sanggah Raphael.
"Kali aja itu nisannya boongan?" Ucap Geovana.
"Masa iya mati dibuat becandaan? Gue rasa orang tuanya Oriel gak segila itu," ucap Joceline.
"Jadi ini semua gak ada yang wajar? Jadi sebenernya ini semua emang ada yang aneh?" Tanya lirih Jesslyn.
"Pernah gak sih kalian curiga sama orang tuanya Oriel?" Tanya Geovana sambil menatap manik mata teman-temannya satu persatu dengan tatapan yang tidak bisa ditebak.
"Gue rasa ada yang salah sama keluarganya Oriel.." ucap Raphael.
"Kalian selama jadi sahabatnya Oriel gak ngerasa ada yang aneh sama Oriel atau keluarganya?" Tanya Arizona.
"Bentar, dari cerita Ari tadi, Oriel bilang ada sesuatu hal yang gak seharusnya Oriel lakuin tapi malah Oriel lakuin. Maksudnya apa?" Tambah Geovana.
"Hobi dia..?" Ragu Joceline.
"Hobinya Oriel apa?" Tanya Geovana dan Arizona bersamaan.
"G-gak tahu.. O-oriel gak pernah bilang.." jawab Joceline.
"Emang selama ini Oriel suka ngelakuin apa?" Tanya Geovana.
"Oriel itu kegiatannya monoton. Selalu bisa ditebak. Hidupnya gak jauh-jauh sama yang namanya nonton drakor. Udah gitu doang," jawab Raphael menggantikan Joceline yang baru saja akan membuka suara.
"Gue punya satu pertanyaan, Oriel beneran udah meninggal apa enggak?" Ucap Jesslyn yang benar-benar kebingungan.
Mereka yang ada di meja itu kembali tenggelam dalam diam. Tidak ada satupun yang berniat untuk menjawab Jesslyn.
Lonceng kafe yang selalu berbunyi saat ada pengunjung yang datang itu berdenting indah. Sedari tadi, kafe memang mulai ramai akan pengunjung. Dentingan kafe pun tak dapat mengambil alih fokus mereka, namun lain hal dengan Geovana. Ia terbelalak sambil menutupi mulutnya tak percaya.
"Dang it! G-guys, kalian gak bakal percaya sama apa yang gue lihat. Itu, 'kan Oriel?! Bukannya dia udah meninggal?!"
Alih mereka berempat pun menjadi fokus pada seorang gadis dengan balutan dress putih elegan yang sedang tersenyum manis di pintu kafe. Gadis yang memiliki darah keturunan Jepang itu berjalan ringan menghampiri meja mereka berempat.
"Oh my gosh!"
"Hai! Kalian kumpul-kumpul kok gak ngajak sih? Jahat banget," ucap Oriel sambil mengerucutkan bibirnya lucu. Ia berdiri diantara kursi Geovana dan Arizona.
"Sahabatku bangkit dari kubur setelah tiga hari kematiannya. Gue rasa judul sinetron ini bakal cocok buat kita," ucap Geovana yang masih terkejut dengan kehadiran Oriel.
"Hah? Apasih?" Tanya Oriel yang tak paham sambil terkekeh lugu.
"Ini kalo orang bangkit dari kubur kain kafannya selalu berubah jadi dress?" Tambah Arizona.
"Bukannya kalo bangkit dari kubur itu mati suri?" Tambah Jesslyn sambil ternganga.
"Lo mati suri? Kok bisa keluar? Dibantu siapa? Lo bangkit dari kubur apa jadi arwah sih ini? Jantung lo berdetak gak? Badan lo dingin gak?" Tambah Joceline.
"A-anu, sorry gue ganggu lo. Lo bisa ngelihat cewek pake baju putih yang berdiri diantara kursi temen gue gak?" Tanya Raphael pada orang asing yang ada di belakangnya.
"Bisa kok."
"O-oke, thanks."
"Kalian kenapa sih?" Tanya Oriel kebingungan.
Tanpa menghabiskan makanan ataupun minuman pesanan mereka, Geovana dan yang lainnya langsung pergi meninggalkan kafe dengan turut menyeret keluar Oriel.
Mereka berenam berjalan cepat menuju taman yang cukup ramai di belakang kafe. Setelah sampai, Geovana melepaskan genggaman tangannya pada Oriel.
"Lo harus jelasin semuanya ke kita. Lo manusia apa setan? Ngaku hah?!" Bentak Raphael yang langsung mendapat tatapan aneh dari beberapa pengunjung yang melewati mereka.
"Whaat?! Gue manusia lah! Gue masih hidup, gue gak mati suri ataupun bangkit dari kubur! Gue Oriel. Gue Oriela Paz temen kalian yang hobi nonton film Thailand, yang hobi nonton drakor, yang hobi baca boy x boy kayak Pael sama Jopana, sahabat sejak bayinya Pael, Jolin, sama Jeslin. Yang tiga hari lalu dateng ke kontrakan Jonak sambil nangis-nangis gara-gara sesuatu. Udah, puas?!"
"Dang it! Kalo lo masih hidup, yang dikubur di makam lo siapa?!" Tanya Joceline tak habis pikir cukup pelan supaya tidak menjadi perhatian para pengunjung lain.
"Itu kembaran gue. Namanya Oriela Kanaya Paz. Tapi papa mama kayaknya gak sadar udah bunuh orang yang salah. Seharusnya yang dibunuh itu gue gara-gara gue divonis ngidap kanker serviks. Papa mama selalu marahin gue gara-gara itu. Tiap hari gue ngejalanin pengobatan, tapi tiap ketahuan papa mama, gue selalu dimarahin. Katanya gue buang-buang uang. Lebih baik gue mati aja, gitu katanya."
"Alasan kenapa kembaran gue mati, waktu itu gue pake style yang bener-bener kembar banget sama Naya. Kita berdua lagi cerita-cerita dikamar gue. Waktu lagi asyik bikin video unboxing sama Naya, gue disuruh Naya buat ngambil box paket lainnya dikamarnya. Pas gue balik ke kamar gue, gue ngelihat papa lagi nusuk-nusuk Naya dan mama lagi nyekap mulutnya Naya biar Naya gak teriak macem-macem."
"Kalo gue ceritain spesifiknya kayak gimana, kalian bakal mual-mual, jadi mending gak usah gue ceritain. Yang jelas papa berhasil ngebuat mayat Naya seolah mati kecelakaan," jelas Oriel pelan namun masih bisa di dengar oleh kelima temannya.
"Gue dikasih tahu mama lo, kalo lo- maksudnya Naya kembaran lo kecelakaan sampe kakinya patah. Jadi sebenernya kakinya patah gara-gara papa lo──oh my gosh! Gue rasa papa lo psikopat deh," ucap Joceline tak percaya.
Oriel hanya tersenyum hampa. Raphael kembali membuka suaranya, "Tiga hari ini lo kemana?"
"Rumah Alexa. Alexa, Nathan, Kevano sama Rara tahu kalo yang dimakamin itu Naya bukan gue. Waktu itu mereka berempat di ancam papa biar ngelakuin apa yang papa suruh. Kalian pasti tahu apa yang mereka berempat lakuin, 'kan?"
"Yang di depan gapura makam itu?" Tanya Arizona.
"Iya."
"Jadi ini serius lo belum mati, 'kan?" Tanya Jesslyn meyakinkan.
"Iya! Harus berapa kali gue bilang kalo gue masih hidup hah?!" Kesal Oriel.
Mereka berenam masih melanjutkan percakapan mereka. Mulai dari membicarakan kejadian yang menimpa Oriel sampai anonim aneh yang ternyata adalah Oriel sendiri. Oriel berusaha memberi tahu lewat hint-nya yang ketiga, namun ternyata tidak ada yang menyadari.
"Serius kalian gak ada yang tahu maksud dari hint ketiga?" Tanya Oriel sambil tertawa tak berdosa.
"Gue sih sempet mikir kalo maksud dari kalimatnya itu ngasih tahu kalo sebenernya lo gak papa dan lo sehat-sehat aja tapi gue gak yakin," jawab Geovana.
"Emang cuma Jopana yang pinter deh kayaknya, hahaha!" Tawa Oriel.
Mereka terus berbincang. Walaupun taman mulai sepi pengunjung lantaran waktu yang sudah mulai larut, mereka semakin tenggelam dalam obrolan hangat yang mereka ciptakan sendiri. Tanpa menyadari jika ada seorang pria bertubuh atletis tengah mendekat pada banjaran duduk mereka. Mendekati salah satu dari keenamnya dengan pisau runcing yang nampak mengkilap akibat cahaya lampu yang berpendar terang.
"Maaf, ternyata papa salah bunuh anak."
Dan seketika taman berubah menjadi penuh genangan darah dengan jerit ketakutan para pengunjung yang tersisa dan berhasil kabur.
Entah tujuh maupun tiga belas, yang jelas tubuh pria paruh baya itu banjir tetesan darah. Layak psikopat yang ada di novel, ia tertawa ringan. Menikmati ciptaan karyanya yang ia pahat sendiri dengan bilah pisau yang sudah tak nampak seperti pisau.
Geovana Ochy. Satu-satunya orang yang tersisa di taman ini terdiam kaku. Batin serta logikanya membentak untuk segera lari dari sana, namun pasang kakinya tidak bisa diajak kompromi.
"Maaf ya kalian jadi gak sengaja kebunuh gara-gara om salah bunuh anak. Om minta maaf sebesar-besarnya ya."
Jika singa yang buas bertengkar dengan kelinci tak berdosa, jelas pasti pemenangnya adalah sang raja rimba. Pada malam purnama yang indah ini, Geovana akan diantarkan menuju kematiannya oleh penjagal gila yang ternyata adalah papa temannya.
Sebelum pandangannya menjadi gelap dan napasnya berhenti, telinga Geovana menangkap suara sirine mobil polisi dan ambulan.
Lain hal dengan novel yang pernah dibacanya, mereka berenam benar-benar mati tak tersisa dengan genangan darah yang berbau sangat anyir.
Sekarang, pandangan Geovana telah sempurna menjadi gelap gulita. Tubuhnya terasa ringan, inikah yang dinamakan kematian? Entahlah, ia tak tahu. Namun, bekas tusukannya menjadi sangat-sangat sakit. Bukankah saat menemui ajal segala rasa sakit menjadi hilang? Lantas kenapa ia malah merasa sakit?
Ia mulai mengucurkan keringat dengan deras. Suara-suara bising yang ada di sekitarnya mulai senyap. Ia merasa sangat kedinginan. Tiba-tiba ia terkejut dan terbelalak kaget.
"Ah, mimpinya serem banget sih?!"
Benar. Itu semua cuma mimpi. Mimpi tak wajar yang terasa nyata dan panjang. Mimpi aneh yang berhasil membuatnya terbangun di tengah malam ini. Mimpi aneh yang berhasil membuatnya tak bisa tidur nyenyak lagi.
Tiba-tiba nakasnya bergetar karna sebuah notif aplikasi Line dari handphone berlogo apel yang sebagian tergigit itu. Saat ia membukanya, ia menjadi gemetaran hebat.
LINE
Pael gans invited you to the group chat.
You joined the group chat.
Jophy
hai|
ini ada apa ya?|
01.29 AM
Pael gans
|oriel meninggal..
01.29 AM
.
.
.
.
.
END