Taman kekaisaran itu indah. Dulu sekali, taman ini sering menjadi tempat canda tawa para pendeta setelah bertengkar dengan para politikus. Taman dengan nuansa yang hidup dan penuh warna, bunga-bunga nya yang bisa terus memberi madu, pohon-pohon yang selalu berbuah harum dan enak, bebatuan nya yang harum seperti setelah terkena hujan, kolam air bersih dan dapat diminum. Taman kekaisaran itu surga bagi pendeta, tempat paling suci di istana kekaisaran. Karena hanya di sana tawa, kasih sayang, cinta, semuanya tercipta dengan tulus dan indah.
Li Cai Feng termenung, hanya diam tak berkutik sambil menatap bunga-bunga layu, pohon-pohon yang kehilangan vitalitasnya, kolam air seperti genangan lumpur. Apakah ini masih sama dengan taman kekaisaran yang ada di benaknya? Dimana kekuatan suci yang selalu melindungi taman ini? Dimana kebahagiaan dapat diraih jika taman ini rusak? Dimana orang-orang licik itu akan terberkati jika taman ini kehilangan kesuciannya?
Tatapannya sayu mengembara lantas berhenti pada pohon besar bernama Arsya, pohon yang masih berdiri tegak tanpa daun. Pohon yang sering ditatap paus, sering diberkati para pendeta, sering disiram dengan air suci hingga jika kamu hanya makan satu gigitan buahnya, kamu akan kenyang seharian penuh.
"Yang Mulia..." sapa seorang gadis pelayan.
Li Cai Feng tidak bergeming dan hanya bedehem ringan, dia tahu siapa pelayan itu hanya dengan suaranya. "Siapa namamu?"
"Menjawab Yang Mulia, nama hamba Hua Ying," jawab pelayan itu dengan sangat sopan.
Li Cai Feng terdiam. Hua Ying, Hua Ying, jika Li Cai Feng tidak salah seharusnya dia Ying'er, adik Hua Lin yang sudah meninggal. Memang awal pertama saat Li Cai Feng melihat Hua Ying, dia hampir memeluknya jika bukan karena aura iblisnya. Jelas sekarang Hua Ying seorang iblis dan dia pasti sudah lupa dengan Keluarga Besar Grand Duke Hua.
"Pergilah..."
Hua Ying mengerutkan kening dan baru akan menjawab jika Li Cai Feng tidak memotongnya.
"Hua Ying tetap tinggal, lainnya pergi."
Gadis pelayan lain dengan bingung menatap Hua Ying, namun Hua Ying juga bingung. Tapi berpikir kembali tak akan ada masalah, ia hanya memberikan kode agar pelayan lain pergi.
Sekarang hanya tinggal Hua Ying dan Li Cai Feng sendirian di taman itu. Li Cai Feng sendiri hanya terdiam sambil menatap Arsya. Hua Ying geram, dia pikir ada hal penting ternyata Li Cai Feng hanya terdiam tidak jelas.
"Hua Ying..."
Gadis itu berusaha menahan amarahnya dan menjawab, "Ya, Yang Mulia?"
"Kamu berbeda dengannya."
Hua Ying mengerutkan kening tak suka. "Maaf Yang Mulia, maksud anda siapa?"
"Saudarimu..."
Hua Ying termenung. Dan hendak membantah. Namun terpotong lagi.
"Suadaramu, Orang Tuamu, Keluargamu..." imbuh Li Cai Feng lirih.
Menyebalkan.
"Saya tidak punya keluarga Yang Mulia. Semenjak saya menjadi bagian dari neraka, saya bukan lagi makhluk yang mengenal keluarga. Lagipula kata senior saya, keluarga saya membenci saya."
Li Cai Feng tak menjawab dan hanya menatap datar pada gadis berpakaian pelayan itu. "Kamu seharusnya ada di Surga, disisi-Nya."
"Saya iblis, Yang Mulia. Rumah saya adalah neraka, hidup saya adalah api, kekuatan saya adalah kedzaliman. Harap ingat itu, Yang Mulia dan jangan membuat seolah ini cerita dongeng indah."
"Tapi ini benar-benar cerita dongeng yang indah..." bantah Li Cai Feng halus.
Hua Ying diam lagi. Entah ada dorongan apa dihatinya membuat Hua Ying seolah tak mampu melawak Li Cai Feng. Padahal sudah tidak ada kekuatan suci yang mengekang. Ini benar-benar menyebalkan.
"Dongeng hanyalah hal yang tak bisa dipastikan kebenarannya. Dan hidupnya sebagai iblis adalah nyata."
Hua Ying berbalik dan membungkuk sembilan puluh derajat, "Keagungan bertemu Yang Mulia, semoga rahmat selalu datang kepada hamba ini."
Ming Fei Lang melambaikan tangannya. Kode agar Hua Ying mengangkat tubuhnya. Dia berjalan ke kursi batu di depan Arsya. Duduk termenung di samping Li Cai Feng. Lebih tepatnya mereka berdua. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Tak ada yang bersuara.
Ming Fei Lang tiba-tiba menjentikkan jarinya. Lantas beberapa pelayan membawa kue-kue beraroma harum dan segar di depan keduanya. Kue tersebut dibuat penuh krim putih dan dihias dengan banyak buah segar. Sehingga tampilannya benar-benar membuat orang merasa lapar. Pelayan-pelayan tadi juga membawa dua gelas teh wangi dan menenangkan.
Ming Fei Lang adalah orang pertama yang menyesap tehnya. Setelah bekerja dari pagi, rambut panjangnya menjuntai indah dan sedikit berantakan. Pakaiannya tidak bersinar penuh harta tapi tampak elegan dan berkelas. Saat tangannya mengangkat ganggang gelas pun terasa sangat indahnya. Apalagi jari kelingkingnya.
Berbeda dengan Li Cai Feng, dia hanya duduk tetap menatap Arsya. Pohon yang kehilangan vitalitas hidupnya.
"Kue ini dari barat," kata Ming Fei Lang.
"Dari raja itu?" Li Cai Feng hanya bertanya tanpa peduli.
"Ya, sebagai buah tangan dari barat."
"Kalau begitu makanlah, tidak banyak bisa ditemukan di sini," balas Li Cai Feng.
Ming Fei Lang tidak menjawab.
"Kenapa?" tanya Li Cai Feng setelah sekian lama pria di sampingnya diam.
"Makanlah..."
Li Cai Feng mengerutkan kening tak mengerti.
"Makan dan lihat apakah kamu mati atau tidak," ucap Ming Fei Lang acuh tak acuh.