"Keysha, cepatlah nanti aku telat lagi!" Teriak Rachel yang saat ini berdiri di ambang pintu apartemen, membuat Keysha berlari ke arahnya dengan tergesa-gesa.
"Kau bahkan belum tentu belajar hari ini, kenapa juga bawa tas segala?," timpal Rachel yang hanya dibalas cengiran polos oleh Keysha. Tak ingin berlama-lama lagi Rachel menarik tangan Keysha untuk beranjak sebelum ia benar-benar terlambat masuk kuliah.
Tatapan Keysha tak lepas dari gedung-gedung yang kini memanjakan matanya, orang-orang yang berlalu-lalang di depannya pun tak ia hiraukan. Keren. Kata itu yang kini terus berputar di kepalanya. Setelah 15 menit yang lalu Rachel meninggalkannya -karena harus segera menghadiri mata kuliah wajib jurusannya itu-. Langkah Keysha terus saja membawanya mengelilingi Universitas yang tidak lama lagi akan menjadi tempat kuliahnya, tangannya sibuk menulis apa saja yang ia lihat, untuk referensi cerita tentunya.
Saat ide-ide bermunculan di kepala Keysha, saat itu juga tangannya sibuk mencatat apa saja ide yang ia dapatkan. Saking fokusnya ia tak menyadari jika seorang lelaki, bertubuh sedikit besar tengah berjalan berlawanan arah dengannya, tangan kiri lelaki itu dimasukkan ke saku celana sedangkan tangan kanannya sibuk memainkan ponsel hitam miliknya. Ia juga tak menyadari jika Keysha berada di depannya. Alhasil, terjadilah adegan saling bertabrakkan, membuat Keysha terjatuh dan lelaki itu hanya sedikit terkejut sembari menatap Keysha dari balik kaca mata hitam yang ia kenakan.
"Aww," Ringis Keysha sembari mencoba untuk berdiri, tatapannya teralihkan pada note dan pulpennya yang tergeletak di bawah kaki lelaki yang ia tabrak.
Zarel -yang merupakan lelaki teman Keysha bertabrakkan itu- hanya bisa terdiam tanpa mengucapkan sepatah katapun, matanya menatap tajam ke arah Keysha dari balik kaca mata hitamnya itu. Seakan merasa asing dengan wajah Keysha yang bercampur antara wajah Asia dan Eropa, membuatnya terlihat cantik, matanya yang bulat dan iris coklatnya mampu membuat Zarel menyimpulkan jika gadis di depannya itu bukanlah warga asli Manhattan.
"Are you okay? Sorry," Ucap Keysha sembari menatap tak enak pada Zarel yang bahkan tak merubah ekspresi datarnya itu. Astaga, apakah dia marah? Oh tidak. Batin Keysha mulai meracau di dalam sana, ia merasa benar-benar tak enak hati, melihat ekspresi datar Zarel.
Bukannya menjawab pertanyaan Keysha, Zarel memilih untuk melanjutkan langkahnya meninggalkan Keysha yang masih dibuat bingung dengan sikapnya itu. Tanpa basa-basi Keysha mengikuti langkah Zarel sembari terus mengucapkan kata maaf, hingga Zarel jengah sendiri dan berhenti dengan tiba-tiba membuat Keysha yang berjalan setelahnya kembali menabrak tubuh kekarnya itu.
"Berhenti mengikutiku, aku tidak apa-apa. Seharusnya aku yang bertanya, bukan sebaliknya," Keysha terdiam mendengar suara Zarel yang terdengar berat namun seksi secara bersamaan. Membuatnya terdiam untuk beberapa saat, Vero yang kini berada di parkiran hanya bisa tersenyum melihat interaksi antara Zarel dan gadis yang tak ia kenali itu.
"A-ah, b-baiklah," Keysha tersenyum canggung, walaupun ia tahu lelaki itu tak akan melihatnya. Gila, auranya benar-benar membuatku takut. Ucap keysha dalam hati sebelum berbalik dan berlari sejauh mungkin dari Zarel.
***
Tatapan Zarel dan Vero terfokus pada Rachel yang saat ini tengah berbincang dengan beberapa teman sebayanya. Tatapan Zarel menyipit kala melihat seorang gadis yang baru saja 45 menit yang lalu bertemu dengannya, dengan cara yang tak mengenakan tentunya.
"Tidak ada yang mencurigakan dari gerak-gerik Rachel, semuanya terlihat normal-normal saja," ucap Vero sembari menurunkan kaca mata hitam yang ia kenakan, sontak membuat beberapa gadis yang lewat di depan mereka melirik sembari berbisik.
"Yah, kelihatan normal," balas Zarel, lalu merogoh saku celananya dan meraih ponsel hitam miliknya. "Ganesha, bagaimana?," lanjut Zarel pada Ganesha yang berada di seberang telefon.
Zarel hanya mengangguk, sedangkan tatapan Vero tak lepas dari sosok Rachel yang saat ini tengah merapikan buku-bukunya. Hingga ponsel Vero bergetar, membuat fokus lelaki itu sedikit terbagi.
"Ya?," ucap Vero tanpa mengalihkan tatapannya dari Rachel, "What? Dibatalkan? Yang benar saja," lanjut Vero, membuat Zarel menatapnya penasaran. "Baiklah, bubarkan tim dan telfon markas untuk menyudahi penyadapan mereka pada kantor Robert," lanjut Vero sembari menutup telfon dan melihat Zarel dengan senyuman sinis.
"Bisa kau tebak? Rachel membatalkan transaksinya, dan lebih memilih menjadi santapan Mr. Walker sialan itu," umpat vero yang kemudian hanya dibalas dengan gerakan Zarel yang memasuki mobil tanpa berucap sepatah katapun.
Rachel yang melihat Zarel dan Vero meninggalkan tempat mereka tadi, mulai bernapas dengan lega, membuat Keysha yang melihatnya hanya bisa menaikkan sebelah alisnya. "Tak apa, aku hanya sedikit gugup," tahu Keysha akan bertanya tentang sikapnya itu, Rachel lebih dulu menjelaskan yang hanya mendapatkan anggukan dari sang sahabat.
"Yaudah, aku duluan yah? Kak Verine udah pulang soalnya," Rachel hanya mengangguk menanggapi ucapan Keysha. Setelah itu ia fokus pada layar ponselnya.
***
Zarel memandangi sebuah mannequin yang berada di depannya dengan tatapan datar, tangan kananya memegang senjata api berjenis walther p99. Helaan nafas yang entah ke berapa kali lolos dari mulutnya, membuat Ganesha yang saat ini berdiri disampingnya hanya bisa ikut menghela nafas.
"Sudahlah, berhenti memikirkan kenapa gadis itu membatalkan transaksinya, mungkin ia lebih senang menjadi santapan pria hidung belang seperti Robert Walker sialan itu. Jadi berhenti memikirkannya, sebelum otakmu membusuk," Ganesha jengah sendiri dengan tingkah Zarel yang selalu saja diam seperti ini, bahkan ekspresinya pun tak pernah berubah selalu datar dan begitu tenang, hanya helaan nafas saja yang mampu menggambarkan jika lelaki itu tengah frustasi ataupun lelah.
Mendengar itu, Zarel hanya menatap Ganesha sekilas lalu kembali menatap patung berbentuk manusia di depannya. Tangan kanannya terus saja memegang senjata api kesayangannya itu, hingga detik selanjutnya ia beranjak dari kursi yang ia tempati dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan apapun.
Di lain tempat, Keysha hanya bisa duduk di depan meja makan sembari menyantap makan malamnya bersama dengan Verine yang baru saja pulang dari rumah sakit. Wajah keduanya begitu mirip, hanya saja Verine memiliki alis yang sedikit lebih tebal di banding Keysha. Malam itu, keduanya sepakat untuk tidak membahas apa yang terjadi di Indonesia dan lebih memilih untuk hidup dengan damai, walaupun mereka tahu tak akan semudah itu untuk bisa merasakan yang namanya hidup dengan damai.
"Jadi besok kau mulai kuliah?," tanya Verine yang mendapat anggukan dari Keysha. "Jurusan yang sama atau berbeda?," lanjut Verine sebelum memasukkan nasi kedalam mulutnya.
"Aku mengambil jurusan Arsitek, memang itu terlalu jauh dari jurusan ku sebelumnya, Sastra ke Arsitek. Aku tahu itu benar-benar tak masuk akal, tapi melihat bangunan Universitas itu membuatku benar-benar ingin mendesign bangunanku sendiri nantinya," jawab Keysha dengan begitu antusias, Verine hanya bisa tersenyum sembari mengangguk. Ia tak mempermasalahkan jurusan apa yang akan di ambil adiknya itu, ia hanya ingin melihat Keysha bahagia setelah semua masalah yang mereka hadapi.
Hingga ekspresi Keysha menjadi sendu, membuat Verine memiringkan kepalanya tak mengerti dengan perubahan ekspresi sang adik. Sendok yang di pegang Keysha pun hanya bisa mengaduk makananya dengan malas, pikirannya berkelana jauh saat ini. Tak tahan dengan perubahan sikap Keysha, Verine menggenggam tangan adiknya itu lalu tersenyum.
"Mereka menghubungimu lagi?," tebak Verine, mengerti dengan maksud kata 'mereka'. Keysha hanya bisa menatap kakaknya dengan mata yang sudah berkaca-kaca dan detik selanjutnya ia menangis menumpahkan kesedihannya dalam pelukan Verine.
"Kenapa hanya karena warisan mama dan papa berubah menjadi orang lain? Bahkan mama tega mengataiku sialan saat ditelfon, mama memaksa agar aku memberikannya ahli waris yang kupunya. Dan... yang membuatku kecewa, mama tanpa ragu memintaku untuk mendaftarkan kematian palsu agar ahli waris milikku berganti nama atas nama mama," Keysha tak sanggup menahan isakannya saat mengingat bagaimana ia mendapatkan caci maki dari seorang ibu yang melahirkannya. Verine semakin mengeratkan pelukannya, mencoba untuk menenangkan sang adik walaupun dirinya sendiri merasa muak dengan kehidupan keluarganya.
"Kalau mereka berani macam-macam dengan mu ataupun denganku, aku tak akan segan untuk memutuskan hubungan keluarga dengan mereka," pelan namun dapat terdengar oleh Keysha, ucapan Verine yang begitu serius.
***
Zarel terus saja membidik dari atas gedung lantai 30, ke gedung yang berada di sebrang gedung yang ia tempati. Matanya terus saja mengawasi pergerakan sasarannya yang saat ini tengah bercumbu dengan seorang gadis yang sama sekali tak menarik bagi Zarel identitas gadis itu. Senyuman sinis terlukis di wajah datarnya, saat menangkap sasarannya itu tengah membuka baju lawan jenisnya sembari terus mencumbu leher gadis itu dengan begitu rakusnya.
"Pantasan saja dia membatalkannya, tch. Dasar gadis murahan," gumam Zarel sembari memperbaiki posisinya dan menajamkan penglihatannya. Dengan perlahan Zarel menarik pelatuk sembari benar-benar memfokuskan arah bidikannya dan setelah dirasa pas, saat itu juga Zarel menekan pelatuknya dan-
Prang~ Door~
-Robert dan Rachel tertembak tepat di lengan mereka, membuat Zarel tersenyum puas. Sedangkan kedua korbannya itu meraung kesakitan. Memang Zarel tak bisa mendengar suara jeritan mereka, tapi melihat ekspresi mereka saja dari kejahuan sudah membuat Zarel senang.
"Bisnis adalah bisnis, janji adalah janji, mata dibayar mata, berani bermain tak bisa keluar dengan seenaknya. Black Jack bukanlah tempat permainan, I hope you don't forget the rules miss Bustami," Gumam Zarel sebelum ia merapikan shotgun miliknya, dan beranjak dari tempat itu. Tentunya setelah menghapus jejak.
Vero yang saat ini menunggu Zarel di bawah hotel -yang di tempati adiknya itu untuk melancarkan aksinya- hanya bisa mengawasi sekeliling. Takut jika ada yang mencurigai mereka, hingga Zarel keluar dengan begitu santainya, benda yang ia gunakan pun ditaruhnya tanpa beban di dalam mobil. Membuat Vero hanya bisa memutar kedua bola matanya malas, sebelum ikut masuk ke dalam mobil.
"Bagaimana, kau sudah senang sekarang?," tanya Vero yang dibalas anggukan pelan dari Zarel. "Kenapa kau tak membiarkan mereka saja?," lanjut Vero, ia tahu betul bagaimana sifat adiknya itu yang sama sekali tak ingin membuat masalah sekecil apapun. Namun saat ini, ia bahkan sudah membuat masalah dengan menembak Robert Walker yang sangat terkenal, walaupun Robert tak sampai mati karena ulah Zarel.
"Setidaknya rencanaku untuk ikut tim, tidak sia-sia," jawab Zarel sembari mengganti bajunya yang kotor karena terkena debu saat di atap gedung tadi. "Yah, apakah kita tidak akan mendapatkan tawaran dalam akhir-akhir ini?," lanjut Zarel, membuat Vero memberikan Zarel iPad.
"Aiden Akmareta, merupakan CEO Akmareta Group, dimana perusahaannya bergerak di bidang perhotelan, penerbangan, dan juga pusat perbelanjaan. Tak bisa di pungkiri Akmareta Group merupakan perusahaan terbesar di Indonesia dan Amerika. Dan siapa sangka, dia akan meminta bantuan kita untuk membunuh dua orang gadis, yang mungkin salah satunya tak lagi asing untuk kita berdua," jelas Vero.
"Verine dan Keysha, kedua gadis itu mencuri berkas-berkas penting milik Akmareta Group. Percaya atau tidak, mereka bahkan merubah ahli waris Akmareta Group menjadi nama mereka, jadi... seperti biasa, kita harus mengumpulkan bukti yang akurat untuk menerima tawaran Aiden," lanjut Vero dengan senyum santainya tak menyadari jika Zarel tengah memikirkan maksud dari profil Aiden Akmareta.
"Dan suatu kebetulan, besok kau ada meeting dengannya," lanjut Zarel sembari menaruh iPad Vero ke atas dashboard.
"Wait, bukannya kali ini giliran mu untuk ke kantor?," Vero menghentikkan mobil dan menatap Zarel dengan helaan nafas kesal yang mengikut di akhir ucapannya. Sedangkan Zarel hanya tersenyum tipis, tak menghiraukan gumaman bahkan umpatan kecil yang dilontarkan Vero untuknya.
"Ayolah, aku ada urusan mendadak besok, aku harus pergi untuk memeriksa produk yang baru saja diluncurkan perusahaan," ucap Zarel akhirnya, setelah 10 menit mendengar celotehan Vero yang tak kunjung selesai.
Mendengar ucapan Zarel, membuat Vero berhenti berucap dan hanya bisa memandang lurus ke depan. Keheningan mulai melanda mereka, dan Zarel tak suka keheningan, karena keheningan akan membawanya ke masa kelam yang selama ini berusaha ia lupakan. Vero yang sepertinya menyadari sesuatu segera, menyalakan music untuk memecah keheningan. Music dengan beat yang kuat membuat Zarel secara perlahan kembali tersenyum.
Di lain tempat kini Verine tengah sibuk menyiapkan makan malam, sedangkan Keysha sibuk dengan majalah kesehatan yang ia baca. Kepalanya sesekali mengangguk jika mendapat artikel yang ia mengerti, dan Verine hanya tersenyum melihat tingkah laku adiknya itu. Suara music yang memenuhi apartemen Verine membuat keduanya semakin nyaman dengan aktivitas mereka masing-masing.
"Jadi, bagaimana kuliahmu tadi?," Tanya Verine yang masih sibuk dengan masakannya, Keysha berbalik sembari menopang dagunya di atas sofa, menatap kakaknya yang begitu lihai di dapur.
Mengangguk, "Mmm, tak ada yang menarik, hanya saja aku sempat berkeliling kampus itu lagi," jawab Keysha dengan nada suara yang dibuat memelas.
Verine meletakkan piring terakhir di atas meja, lalu tersenyum melihat hasil masakannya sendiri. Keysha yang merasa terpanggil pun segera beranjak menuju meja makan, perutnya sudah tak tahan lagi, bahkan mungkin cacing-cacing di perutnya sedang berdemo saat ini untuk diberi asupan energi. Verine melepaskan apron coklat yang ia kenakan dan mengantungnya. "Mau ku antar besok?," Tanya Verine setelah menaruh apronnya.
"Jika itu tak membuat kakak terlambat ke rumah sakit, why not?," balas Keysha dengan senyum manis yang membuat Verine menggeleng dengan senyum yang sama terlukis di wajahnya.
Acara makan malam yang dilewati Keysha dan Verine berlangsung begitu menyenangkan, selain di iringi dengan cerita-cerita random, Verine juga menceritakan kisah lucu para temannya yang sesama dokter di rumah sakit. Kini Keysha memilih untuk kembali ke kamarnya setelah makan malam untuk melanjutkan cerita yang ia tulis, salah satu kebiasaan Keysha saat sedang tak ada kerjaan adalah menulis Novel. Jari-jari mungilnya begitu cekatan di atas keyboard, matanya yang kini menatap laptop dengan serius sedikit menyipit saat ia benar-benar fokus dengan apa yang ia tulis.
Sedangkan Verine, memilih untuk merendam tubuhnya ke bathtub sembari memejamkan matanya. Melepaskan rasa penat yang menghampirinya selama seharian ini, menjadi dokter bedah bukanlah hal yang mudah bagi Verine. Belum lagi otaknya dipaksa berpikir mengenai hubungannya yang tak baik dengan kedua orang tuanya membuat kepala Verine benar-benar ingin pecah.
"Setidaknya berendam akan membuat otakku segar, dan memikirkan semuanya dengan kepala dingin," Gumam Verine sembari memperbaiki posisinya.
TBC