Chereads / Pilihan hati / Chapter 1 - Pernikahan dan acaman

Pilihan hati

🇮🇩Duatiga
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Pernikahan dan acaman

Mungkin hanya dirinya yang meneteskan air mata di hari paling bahagia, akad nikah. Mereka yang melihatnya menangis mungkin mengira gila ataupun wajar karna menangis bahagia, tapi mereka tidak tahu kalau ada beban yang tidak bisa perempuan itu tahan karna menikah dengan laki-laki yang tak di cintainya. Perempuan itu ingin menolak tapi mengingat kebaikan dan hutang yang entah bisa lunas atau tidak memaksanya untuk mengurungkan niatnya.

Kini Naira–gadis itu menyesal kenapa tidak mencoba menolak, toh calon ibu mertuanya tidak memaksa. Tapi sekali lagi, calon ibu mertuanya itu adalah tuan rumah paling baik yang pernah ia kenal sehingga untuk menolak rasanya tidak tega.

Seharusnya uang di bayar dengan uang bukan masa depan yang entah bagaimana kedepannya. Seharusnya tepi kenyataanya tidak.

"Saya nikahkan...."

Akadnya sudah di mulai ucap Naira dalam hati. Setiap anak perempuan pasti menginginkan ayah kandungnya yang mengucapkan kalimat itu tapi sayang, ayah Naira membuat masalah dan harusnya oleh kakak atau adik laki-laki. tapi sayang lagi, Naira tak punya adik laki-laki melainkan kakak laki-laki yang entah di mana keberadaannya. Akhirnya di ganti oleh adik dari ayahnya.

"Saya terima nikah dan...."

Naira samar-samar juga mendengar suara tegas dan berat dari laki-laki yang akan menjadi suaminya. Tiba-tiba, Naira membanyangkan bagaimana pernikahan mereka nanti? Apa bahagia atau... sebaliknya? Entalah, yang bisa Naira lakukan mencoba menerima semuanya.

Cepat-cepat ia menghapus air matanya ketika mendengar bunyi pintu lalu menampilkan senyum bahagia milik wanita yang sudah melahirkannya di dunia ini.

Ibunya.

"Ibu bahagia karna kamu jadi istri dari Gara dan ibu berdoa semoga pernikahan ini jadi pernikahan pertama dan terakhirmu."

Naira tersenyum paksa, mendengar ucapan ibunya. Bahagianya seorang ibu melihat anaknya bahagia begitu juga sebaliknya. Naira akan melakukan apapun agar ibunya selalu bahagia walau ia terpaksa mengorbankan masa depanya.

"Kalau ibu senang, Rara juga senang" balasnya.

"Ibu tahu kalau Rara terpaksa menikah dengan Gara tapi ibu minta jangan membantah dan turuti semua ucapan Gara, ya?"

Naira menganggukkan kepalanya dengan senyum yang tak pudar dari bibirnya, seandai ibu tahu yang sebenarnya ucap Naira dalam hati.

"Kalau bisa, Rara menghilangkan sikap keras kepalanya ya? Agar Naira tidak berakhir seperti ibu." tambahnya.

Naira lagi-lagi mengangguk.

Aku akan berusaha, bu. Tapi kalau aku gagal... yang pasti aku sudah berusaha ucap Naira dalam hati.

Naira melihat air mata yang keluar di sudut mata sang ibu buru-buru menghapusnya tapi sayang Naira sudah melihatnya.

"Jangan menangis, nanti aku juga ikut menangis."

"Ngga, ibu ngga menangis!" bantahnya sambil menghapus air mata kemudian tersenyum menatap mata putrinya yang kini berkaca-kaca.

"Rasanya baru kemarin kamu lahir dan kini sudah sebesar ini, mana mau nikah lagi."

Kini Naira tersenyum kecil lalu mengalihkan pandangan mendengar seseorang yang mengetuk pintu dengan pelan.

"Maaf menganggu, tapi saya boleh bicara berdua dengan Naira?"

Ira–ibu Naira ingin menolah tapi tak tega juga. Akhirnya Ira menganggukan kepalanya tapi sebelum keluar ia bicara dengan Naira.

"Ibu tunggu di luar." ucapnya lalu melirik Gia–adik Gara. "Sebentar saja ya? Di bawah pada menunggu Naira soalnya." tambahnya sebelum keluar dari kamar.

"Sebentar lagi impian lo akan tercapai" ucap Gia setelah memastikan Ira itu sudah dari kamar.

Naira diam dengan menunduk, ia tak mau melihat wajah angkuh Gia yang beda jauh saat berdua dengannya. Di depan keluarganya, Gia berubah menjadi gadis baik-baik tapi di belakang mereka Gia sebenarnya adalah sosok yang paling jahat.

Gia meraih dagu Naira dan memaksa perempuan cengeng serta orang yang paling di bencinya itu untuk mendongak. Gia sangat membenci Naira karna Naira, Gia selalu di ceramahi orang tuanya karna suka membully murid di sekolahnya.

Menurut Gia, Naira itu perempuan yang tak tahu terima kasih. Sudah bagus orang tuanya mau menyekolahkannya tapi Naira malah mengadukan semua kenakalannya di sekolah.

"Ingat baik-baik! Selama lo jadi bagian keluarga Mahendra, gue pastikan hidup lo ngga akan tenang!"

Naira masih mendongak dengan ekspresi menahan marah, ia memang ingin kaya tapi bukan dengan cara seperti ini. Ia juga ingin membalas ucapan Gia tapi itu akan berakhir sia-sia atau masalah akan semakin panjang. 

Melihat Naira yang terdiam membuat Gia berang, ia semakin memperkuat menekan dagu Naira pada kaku-kakunya yang panjang.

"Kenapa lo diam saja, ayo jawab! Lo senang kan bisa jadi bagian keluarga gue?"

Naira hanya diam lalu meringis menahan sakit karna cengkeraman Gia di dagunya semakin kuat.

"Sakit? Ini belum seberapa!"

Setelah mengatakan itu, Gia melepaskan tangannya dengan kasar pada dagu Naira. Ia merasa percuma menyakiti Naira yang sama sekali tak bersuara tapi anehnya membuatnya semakin emosi. Gia memilih keluar dari kamar bukan berarti selesai tapi ia tak mau orang curiga. 

Setelah Gia keluar, Naira menyentuh dagunya yang terasa nyeri. Perlahan mata Naira berkaca-kaca, Naira tahu alasan Gia membencinya tapi Gia tak pernah tahu alasanya bersekolah di tepat yang sama yaitu untuk mengawasi Gia.

Kemudian, Naira menghembuskan nafas. Ia tak boleh menampilkan wajah sedih di depan orang-orang. Ia harus terlihat seperti orang bahagia setidaknya untuk orang yang meyayanginya.

*****

Hal pertama kali Naira rasakan keluar dari kamar itu adalah gugup. Ia juga ingin berbalik tapi tak mungkin, yang ada nanti ia akan malu. Akhirnya Naira terus berjalan di temani sang ibu yang tak bosan memintanya untuk tersenyum.

"Senyum, Ra!"

"Aku udah senyum, bu." jawabnya.

Lalu mereka tak bucara lagi. Naira bisa mendengar banyak orang yang memujinya cantik, hal yang wajar untuk perempuan yang di poles make up. Tapi katanya, wajah perempuan yang akan menikah berbeda dengan hari-hari biasanya mungkin sering bermake up, terlihat lebih bersinar.

Tanpa sengaja, matanya bertemu dengan mata suaminya. Naira gugup kemudian tersenyum miris melihat laki-laki yang berstatus suaminya itu membuang pandangan.

Saat akan duduk di samping suaminya, Naira menghembuskan nafas kasar. Bagaimana tidak, kebaya yang walaupun cantik inii tapi susah di ajak kerja sama. Mau duduk saja, Naira tidak bisa mendudukinya karna bayak mutiara yang akan membuat bokongnya sakit. Dengan terpaksa, Naira sedikit menganggat ujung bawah kabaya dan duduk di samping Gara tak meliriknya.

Diam, itu yang Naira lakukan sampai penghulu mengarahkan untuk Naira mencium tangan kanan suaminya lalu suaminya mencium keningnya.

*****

Kini Naira sedang menganti kebaya dengan gaun yang sudah di siapkan. Setelah akad nikah, mereka langsung mengadakan resepsi di tempat yang sama yaitu rumah orang tua Gara.

Saat Naira selesai menganti kabaya dengan gaun tiba-tiba seseorang masuk dalam kamar membuat perias dan lainya kanget.

"Kalian bisa keluar? Saya mau bicara dengan istri saya." ucapnya.

"Bisa tapi..."

"Saya hanya ingin bicara!"

"Baiklah" ucap perias lalu keluar dari kamar.

Naira yang diam dari tadi ingin protes tapi melihat tatapan Gara membuatnya menciut dan membiarkan mereka keluar.

"Saya ngga tahu apa yang membuat kamu menerima tawaran, mama. Entah karna uang atau apapun saya ngga tahu. Saya sudah peringati kamu untuk tidak menerima tawaran mama hari itu dan nyatanya? Kamu menerimanya."

"Aku–"

"Ini pilihan kamu, saya ucapan selamat datang di dunia saya. Dunia yang tak pernah kamu bayangkan!" ucap Gara lalu keluar dari kamar tak lupa dengan mebanting pintu.