Chereads / Tangisan Rindu / Chapter 44 - Merindu Bayang

Chapter 44 - Merindu Bayang

15 tahun yang lalu...

"Kakak?" Aku berjalan menuju kak Hamzah yang nampak murung di belakang rumah.

Ketika aku memanggilnya, dia tak bergeming. Dan entah ada angin dari mana, tiba-tiba terbesit rasa ingin menjahilinya dengan membuat dia terkejut. Aku segera mengendap ke arahnya yang masih belum merasakan kehadiranku. Tak lama kemudian,

jarakku dengannya sudah semakin dekat, aku bersiap lalu,

"Kakak!" Aku memeluk lehernya dari belakang.

Kak Hamzah tersentak lalu menoleh padaku. "Astaghfirullah, Ayssa. Kamu ini doyan banget bikin orang kaget ya."

Aku terkekeh. "Habisnya tadi aku panggil kakak tapi kakaknya tak menyaut."

"Oh ya? Memangnya mau apa?"

"Ya panggil aja sih. Aku bosan di rumah terus. Ayo main?"

"Main kemana?"

"Kemana-mana. Aku ingin main sepeda bersama kakak. Kakak yang mengendarai, aku berdiri di belakang."

"Tapi Ayssa,"

Aku segera menyela ucapannya sambil menarik tangannya. "Ayolah kak. Sebentar saja. Ya?" Aku sengaja memasang raut paling menyedihkan agar dia menyetujui keinginanku.

Sesaat kakak terdiam sambil menatap mataku. "Baiklah. Ayo." Dia menggenggam tanganku lalu kita bermain sepeda di lapangan bola dekat rumah yang sekarang sudah dibangun menjadi komplek.

Kami bermain dengan riang di sana. Aku dan kakak saling tertawa ketika dia mengendarai sepeda dengan ngebut layaknya seorang atlet. Jantungku bahkan tak karuan saat kakak berbelok dan hampir terjatuh. Cukup lama juga kami bermain sepeda di sini.

Hingga setelah puas, kami beristirahat di sebuah gubuk kecil yang hampir ada di setiap ujung atau tengah sawah. Aku tak tahu apa namanya. Tapi bentuknya kurang lebih seperti itu.

Aku duduk sambil terus mengipas-ngipaskan wajah yang gerah menggunakan tangan. Sesaat kami hening, tak ada pembicaraan karena tengah asik dengan apa yang dilakukan masing-masing.

Hingga tak lama kemudian,

Teng teng teng

Kudengar ada suara penjual es krim. Aku segera mencari sumber suara dengan niat ingin membelinya. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Kulihat kakak juga tak ada di sini. Perasaan tadi dia duduk di sampingku.

Aku mulai khawatir karena di tempat ini hanya ada aku saja. Aku memanggil-manggil nama kakak, tapi sama sekali tak berarti. Mataku mulai memanas. Ingin pulang, tapi takut karena jalannya sepi.

"Nih," aku tersentak kaget tatkala kakak sudah ada di sampingku, "ambillah." Dia memberiku satu cup es krim.

Bukannya senang kakak memberiku es krim, aku seketika menangis sambil memeluknya.

"Eh kamu kenapa?" Dia kebingungan.

"Kakak dari mana? Aku takut sendirian di sini. Kakak jangan tinggalin Ayssa." Aku menangis di pelukannya.

Kak Hamzah seketika menyimpan kedua es krim yang sedari tadi ia pegang.

"Kakak tak akan pernah meninggalkanmu, Ayssa. Maafkan kakak kalau sudah membuat mu khawatir. Kakak tak bermaksud."

"Lalu tadi kakak dari mana saja?" Aku melepas pelukannya, "aku takut di sini sendirian."

"Kakak tak kemana-mana. Ketika mendengar suara tukang es krim, kakak langsung membelinya untukmu. Kamu kan suka es krim?"

"Tapi kakak jangan sampai pergi tapi tak mengajakku." Aku memasang raut cemberut.

"Baiklah. Maafkan kakak ya." Kak Hamzah memegang kedua telinganya, "kakak berjanji tak akan mengulanginya lagi. Oke?"

Dia menyodorkan jari kelingkingnya padaku, "damai." Dia juga memberikan senyumannya yang khas.

Aku mengaitkan jari kelingkingku pada kelingkingnya sambil mengangguk.

"Oke. Pokoknya kamu tak boleh sedih lagi," dia mengambil es krim itu, "nih. Makanlah. Keburu esnya cair."

Aku memperhatikan es krim itu lalu menatap wajahnya.

Dia tersenyum, "ambillah. Kakak belikan untukmu."

Sedikit malu aku mengambil es krim itu, "terima kasih kak. Lalu es krim kakak mana?"

"Ini." Dia menunjukkannya.

Kami begitu menikmati momen ini. Momen di mana aku dan kakak bisa tertawa dengan lepas. Momen di mana aku bisa berbagi kebahagiaan juga pada kakak.

"Tadi kakak kenapa terlihat murung?" Kataku ketika mengingat kejadian tadi sebelum mengajaknya bermain sepeda.

"Hanya hal biasa." Jawabnya singkat.

"Bohong. Aku tahu kakak sedang punya masalah."

"Tapi hanya hal kecil saja kok."

"Memangnya apa? Ceritalah kak. Sebelumnya aku sering bercerita banyak hal padamu. Mulai dari yang aneh sampai yang lucu. Dan kamu selalu siap mendengar semua itu. Nah sekarang, aku ingin mendengarmu bercerita padaku."

Dia terkekeh, "aduh, cerita apa Ayssa? Lebih baik kita pulang saja." Dia bangkit dari duduknya.

"Eh jangan!" Aku mencegahnya lalu kembali membuat dia duduk. "Sebelum kakak bercerita, aku tak akan pulang dan membiarkan kakak pulang."

Dia terdiam sambil menatapku.

Aku membalas tatapannya dengan sedikit menantang, "apa? Kakak tak berani?"

"Lho, tak berani gimana?"

"Ya kakak tak berani bercerita padaku. Kakak itu payah. Sangat payah." Aku memasang raut kecewa.

"Bukan seperti itu," dia berusaha menghiburku, "tadi kakak hanya rindu saja."

"Rindu? Rindu apa?" Tanyaku.

"Kakak rindu dengan keluarga kandung kakak. Kakak ingin tahu siapa ayah, ibu, dan saudara kembar kakak sendiri. Sejak kecil kakak belum pernah bertemu dengan mereka. Mungkin mereka tahu kakak atau bahkan pernah bertemu di jalan. Tapi kakak tak tahu." Suaranya menurun seperti nampak kesedihan yang mendalam. Kepalanya juga menunduk.

"Memangnya orang tua dan saudara kembar kakak di mana?"

Dia mengendikkan bahu. "Kakak juga tak tahu. Terkadang, kakak sedih melihat anak di luaran sana yang berlarian ke sana ke mari di taman bersama ayahnya. Lalu ketika mereka lelah, ibu memanggilnya untuk beristirahat sejenak sambil makan. Jujur, melihat semua itu kakak cemburu. Kakak ingin seperti mereka yang bisa merasakan kasih sayang dan elusan tangan lembut dari kedua orang tuanya."

Aku mulai mengerti dengan kondisi yang tak lagi diajak main-main. Aku segera bergeser untuk lebih dekat dengannya, lalu mengusap punggungnya dengan lembut.

"Aku tahu perasaan kakak pasti sedih. Apalagi ketika melihat hal-hal yang berbau dengan orang tua, kakak pasti sangat sesak. Tapi kakak jangan khawatir. Papa, mama dan aku adalah keluarga kakak juga. Mereka sudah menganggapmu sebagai anaknya sendiri. Kakak tak usah takut. Walaupun sejak kecil kakak tak pernah merasakan kasih sayang orang tua, tapi setidaknya kakak pernah merasakan kasih sayang dari papa dan mama yang sayangnya sama seperti kedua orang tua pada anaknya."

"Ya. Alhamdulillah. Kakak bersyukur bisa dipertemukan dengan keluarga tanpa pamrih seperti ayah, ibu dan kamu. Kakak bahagia sekali dengan kehidupan saat ini. Kakak tak pernah menyesalinya. Karena kakak yakin semua ini adalah rencana Allah yang mana  rencana Allah itu akan selalu baik." Kulihat dia menitikkan air mata, lalu aku segera mengusapnya. "Kakak jangan menangis seperti itu. Aku jadi sedih."

Dia terkekeh. "Kakak tak menangis. Kakak hanya mengeluarkan air mata."

"Itu sama saja kakak."

Seketika kami tertawa bersama.

"Sudahlah. Ayo kita pulang. Nanti ibu menunggu kita." Dia menarik tanganku lalu aku menahannya.

"Kakak jangan tinggalkan aku ya?"

Dia membalikkan badannya menghadapku.

"Kenapa kamu ucapkan hal seperti itu?"

"Karena aku takut kehilangan kakak."

Dia mengelus rambut kepalaku dengan lembut, "kamu tak usah khawatir. Kakak akan selalu bersamamu dan tak akan pernah membuatmu nangis apalagi meninggalkanmu."

"Janji?" Kataku meyakinkan.

Dia tersenyum lebar. "Janji."

...

Aku melibat Ayssa terkekeh kecil saat menceritakan masa kecilnya bersama Hamzah kala itu.

Jujur, melihat cara mereka dalam membangun hubungan adik kakak begitu romantis, bahkan aku rasa tak seperti kakak adik lainnya. Mereka saling memahami satu sama lain dan selalu menghibur jika sikap salah satunya ada yang berubah.

Ayssa begitu beruntung bisa memiliki kakak seperti Hamzah, dan Hamzah juga beruntung bisa memiliki adik yang ceria ini seperti Ayssa.

Keduanya memang sama-sama saling melengkapi.

"Dulu kakak sendiri yang bilang tak akan pernah membuatku menangis. Dia juga bilang tak akan pernah meninggalkanku." Sejurusnya Ayssa mengatakan hal itu.

"Menurutku, ini bukanlah sebuah hal yang mana Hamzah harus disalahkan. Semua ini kebetulan Ayssa. Terjadi begitu cepat bahkan kita sendiri tak ada yang mengira akan terjadi hal seperti ini."

"Benar sekali. Para penjahat itu telah menghancurkan perjanjian kami berdua."

"Aku tahu bagaimana rasanya ada di posisi kamu. Aku juga kemarin bahkan merasakan hal itu. Terlalu perih memang jika mengingat hal-hal yang pernah kita lakukan saat itu. Janji-janji seakan hilang karena kelakuan biadab mereka."

"A-"

"Kalian boleh mencintai," tiba-tiba bibi berada di ambang pintu.

"Bibi?" Aku dan Ayssa sedikit terkejut, "kukira siapa, mari masuk."

Bibi tersenyum lalu ikut duduk di bersama kami. "Kalian boleh mencintai seseorang. Tapi dengan wajar saja. Bibi tak melarang kalian untuk khawatir terhadap keadaan mereka. Bibi juga tak melarang kalian untuk menyayanginya. Tapi bibi berharap, cinta kalian itu tak buta atau sampai menganggap bahwa kalian tidak dapat dipisahkan dan tidak ada yang memisahkan. Apalagi kamu," bibi menatapku. "Kamu jangan terlalu memberi seluruh cintamu pada Alif hingga kamu merasa kalian tak bisa dipisahkan. Kamu tahu? Banyak sekali cinta yang berakhir tragis karena mereka terlalu mempercayakan cinta. Mereka menganggap cinta sejati itu tidak dapat dipisahkan. Padahal di setiap pertemuan, pasti ada yang namanya perpisahan. Tapi kita tak tahu, bagaimana proses dari perpisahan itu sendiri. Ada yang bahagia dan ada yang menimbulkan luka. Tapi memang, di setiap perpisahan pasti akan menimbulkan kesakitan yang membekas."

Aku dan Ayssa tak bergeming. Kami hanya menunduk lalu bibi memegang tangan kami berdua.

"Kamu paling menyukai kisah Laila dan Majnun, kan?" Tanya bibi kemudian.

Aku mendongakkan kepala. "Iya, bi."

"Kenapa kamu menyukai kisah mereka?"

"Karena kisahnya penuh sarat makna. Setiap kali aku membaca kisahnya, entah kenapa aku merasa kagum dengan cinta mereka berdua."

"Tapi kamu tahu kisah akhirnya seperti apa?"

Aku mengangguk.

"Apa?"

"Tragis." Jawabku.

Bibi mengelus pipiku dengan lembut. "Itulah, Rein. Di setiap hal yang kita lakukan, pasti ada resikonya. Bibi tak melarang mu, justru bibi senang karena ada pria yang bisa menyayangimu seperti Alif. Tapi kamu harus tahu porsi. Bibi tak mau dan tak berharap kamu mengalami hal-hal menyakitkan seperti pada kisah Laila dan Majnun."