Sejak perdebatan kecil yang tadi masih terekam jelas diingatan Rizki, kali ini ia sudah tampil dengan rapi seperti keinginan ibunya.
Begitu berat seorang Rizki harus menerima sebuah kehidupan yang benar-benar menyakiti hatinya itu. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa selain menjalani kesakitannya.
"Rizki?" ayahnya datang dengan raut yang menampakan kesedihan. "Apa kamu yakin ingin bertemu dengan mereka?"
Rizki hanya bisa menundukkan kepala tanpa menjawab apa pun.
Ayahnya menghampiri dia kemudian memegang pipinya yang masih terasa hangat. "Menurut papa kamu tidak usah terlalu memaksakan kehendak ibumu. Toh kamu sendiri yang merasakan sakit. Lebih baik kamu istirahat saja di kamar. Nanti papa yang menjelaskan semuanya pada ibumu."
Rizki menggelengkan kepalanya. "Tidak, Pa. Rizki tidak mau papa dan ibu bertengkar. Lagipula Rizki baik-baik saja. Papa tak usah khawatir."