Ryu menggulingkan beberapa tong kosong yang digunakan untuk menjadi penghalang dari pengganggu itu.
Dia berteriak kepadaku agar segera melarikan diri dari area berbahaya ini. Kupatuhi perintahnya dan bersembunyi di antara semak belukar yang mungkin saja menyembunyikan keberadaanku.
Dia bertarung dengan seekor burung, yang biasa kalian sebut dengan burung gagak. Tapi, ini bukan gagak biasa. Dari mulutnya keluar api yang bisa menyembur hingga jarak 100 meter. Kecil, tapi mematikan. Jika orang tidak tahu bahwa itu seekor burung gagak, mungkin saja mereka beranggapan bahwa itu seekor anak naga.
Kyaaakkk!!
Ryu berguling-guling di tanah, menghindari serangan gagak yang bisa membunuhnya dalam waktu sekejab. Kulihat lengan bajuku yang hangus terkena percikan api dari burung itu. Sial! Aku tidak punya baju lagi selain ini.
Bugg! Blamm!!!
Spontan aku mendongak mendengar suara itu. Ryu kemana? Aku panik setengah mati. Yang kudapati disana hanya burung itu sedang berputar-putar mengelilingi kumpulan tong yang tadi berjatuhan. Aku takut jika Ryu mati terkena serangan gagak itu. Dia telah mengorbankan nyawanya demi aku, walau kami belum lama mengenal.
Aku harus membalas dendam. Kulangkahkan kakiku untuk keluar dari tempat persembunyianku. Pedang yang sedari tadi nyaman di sarungnya kutarik perlahan-lahan agar tidak menimbulkan suara gesekan besi.
"Sstt.... Tidak perlu," seseorang dari belakang menepuk pundakku. Aku mengernyit heran. Siapa dia?
"Ryu bisa mengatasi ini sendiri, percayalah," lanjutnya. Kemudian, ia menyuruhku untuk melihat ke depan lagi, dimana Ryu muncul lagi dan bersiap melemparkan sebuah jaring ke arah burung itu.
Ia mengecoh untuk beberapa saat, kemudian saat dilihatnya burung gagak itu mulai kelelahan, Ryu dengan cepat melemparkan jaring itu dan syuuttt... Kena!
Burung gagak itu menyemburkan apinya, tapi Ryu segera menutupi tubuh burung itu dengan sebuah akuarium yang penuh dengan air, yang entah ia dapat dari mana.
"Shiro, bantu aku!" teriaknya. Seseorang yang tadi menepuk pundakku segera menghampirinya dan membantu Ryu untuk mengeluarkan burung itu dan mengunci mulutnya.
Aku menghampiri mereka berdua dan bertanya kepada Ryu, "kau tak apa?" ia hanya mengangguk dan menoleh ke arahku sebentar. Kemudian, ia kembali berfokus pada burung itu.
"Tolong! Lepaskan aku, tolooong!" aku mendengar sebuah suara orang yang meminta tolong. Suara itu terdengar seperti suara perempuan.
"Kalian dengar ada yang meminta tolong?" tanyaku pada mereka berdua. Mereka mengernyit heran, "tidak. Memangnya kau mendengar sebuah suara?" tanya Ryu balik.
"Ya, aku mendengarnya. Seperti suara seorang perempuan yang sedang kesakitan," ucapku sedikit ragu.
"Tolooongg... Lepaskan akuuu..." aku mendengar suara itu lagi. Aku berjalan menyusuri tong-tong yang berserakan, tapi tidak ada seorangpun yang terjebak di sana. Hutan ini jauh dari pemukiman warga, mana mungkin ada seorang perempuan yang berani bermain ke sini, kecuali jika pergi beramai-ramai untuk mengisi tong-tong mereka yang kosong dengan air sungai yang berada di bawah sana.
"Lepaskaaan... Kumohooon..." suara itu semakin melemah. Aku curiga pada burung gagak yang kakinya sedang diikat oleh Ryu itu. Aku mendekatkan diri. Tidak ada suara apapun yang keluar.
Ryu dan temannya itu memandangku heran. Mungkin mereka berpikir, apa yang sedang kulakukan.
Aku mencoba mengelus perlahan burung itu, kemudian mencekiknya perlahan dan...
Kyaaakkk!!! Kyaaakkk!!!
"Lepaskaaaannn!!! Kumohooon!!!" aku segera menjauhkan tanganku. Mulut gagak yang di kunci itu perlahan membuka dan menutup lagi. Wajahku pucat, kudekap erat-erat tubuhku agar tidak pingsan. Ryu menepuk pelan pipiku, bertanya ada apa sebenarnya dengan diriku.
Aku menunjuk burung gagak itu dengan gemetar, "itu, itu... Burung...." aku tidak sanggup mengantakannya lagi. Tak bisa kupercaya, aku mendengar asal suara itu dari seekor burung yang hendak di eksekusi! Bagaimana mungkin? Selama aku hidup, baru kali ini aku dapat mendengar suara hewan berbicara. Tapi, benarkah jika suara itu berasal dari hewan tersebut?
"Ku mohon lepaskan aku... Aku berjanji tidak akan melukai kalian lagi," suara itu lagi.
"R-Ryu, t-t-tolong, lepaskan burung itu..." ucapku terbata-bata. Ryu memandangku tak suka.
"Sebenarnya ada apa denganmu, Teiji?" tanya Ryu.
"Burung itu bisa bicara! Dan ia memohon untuk dilepaskan."
"Mana mungkin? Kau hanya mengada-ada, Teiji. Tidakkah kau sadari, bahwa semburan burung ini menghanguskan lengan bajumu?" Ryu menunjuk ke arah lenganku.
"Tapi burung ini baru saja berbicara, Ryu. Ia begitu kesakitan dan berjanji tidak akan melukai kita lagi," aku masih meyakinkan mereka bahwa burung ini bisa berbicara.
"Lalu kenapa jika burung ini sudah kita tangkap kemudian meminta tolong? Bukankah tadi ia mengejar-ngejar kita dan akan membunuh kita?" Ryu masih tidak menerima ucapanku.
"Aku melakukan itu hanya karena pengalihan dari pengurungku," burung itu kembali berbicara, dan aku menyampaikan hal itu kepada Ryu.
Ryu bertanya kepada burung itu, "siapa kau sebenarnya?"
Aku kaget dengan jawaban burung itu. Ryu bertanya kepadaku, apa jawaban burung itu. "Ia dikutuk oleh Ratu Ivora dari kerajaan Heido yang terkenal kejam. Kecantikan gadis itu diambil oleh Ratu itu dan sebagai balasannya, ia diubah menjadi seekor burung gagak berapi." Ryu dan temannya terkejut mendengar itu.
Saat kutanya-tanya lagi asal usulnya, kami bertiga berdiskusi panjang dan menyetujui beberapa kesepakatan terhadap burung gagak yang dikutuk itu.
"Aku yang akan merawatmu, tapi kau harus berjanji kepada kami, bahwa kau tak boleh menyakiti siapapun terutama kami, dan bersedia membantu semua urusan kami," aku menyampaikan hasil diskusi kami kepada burung gagak itu dan kulihat ia mengangguk pelan.
"Aku berjanji, asal bebaskan aku dari jeratan ini," rintihnya.
Kami bertiga melepaskan tali yang mengikat kakinya, dan membiarkan mulutnya sedikit terkunci karena khawatir jika ia akan mengingkari janjinya.
Aku membawa pulang burung itu. Ryu dan Shiro yang merupakan keluarga kerajaan kembali ke istana sebelum pengawal kerajaan mencari mereka.