"Hm. Mereka? Apa hubungan mereka dengan suamiku?" suara isteri Arul terdengar tajam dan datar.
Anton tersenyum tipis. "Yang satunya, laki-laki, adalah tangan kanan suamimu. Sementara yang perempuan..." Anton terhenti sejenak. "Ah, mungkin kekasihnya..." kata Anton. "Kekasih dari yang laki-laki itu..."
Ia hampir memaki-maki dirinya dalam hati karena hampir saja kelepasan bicara.
Wanita tua namun masih terlihat cantik itu mengelus-elus kepala anaknya yang masih tampak mengisak.
"Panggil mereka ke sini. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka..." isteri Arul meminta dengan nada lirih. Matanya masih tampak berkaca-kaca.
Anton segera melambaikan tangannya ke arah Adit dan Norsy.
Adit segera mesrespon dengan mengacungkan jempolnya.
"Anton meminta kita mendatanginya ke sana. Ayo..."
"Gak mau! Aku takut. Di situ ada isteri Arul," Norsy menolak. Adit tersenyum. "Kenapa? Arul sudah tidak ada. Kurasa sudah tidak ada lagi perebutan tahta di antara kedua wanita..."
Dan Adit seketika memaki-maki saat Norsy mencubit pinggangnya dengan sangat keras.
"Aduuuh!!" Adit meringis kesakitan.
"Sekali lagi kau menyindir aku, aku bisa gunakan tang untuk mencubit kamu!" Norsy melotot galak.
Adit sekali lagi melihat Anton melambaikan tangan ke arah mereka.
"Oke, Dit. Kalau kamu mau ke sana , aku temani kamu..." Norsy membalas isyarat Anton dengan melambaikan tangannya.
Mereka berjalan bergandengan tangan melewati beberapa kuburan menuju ke arah isteri Arul dan Anton berada.
Kuburan Arul telah selesai ditimbun.
Satu persatu para pelayat telah pulang. Hanya mereka berempat yang tertinggal di pemakaman itu.
Hujan mulai turun dengan gerimis.
Petir menggelegar di langit.
Anton mengajak mereka untuk berteduh di sebuah rumah kosong di area kuburan.
Rumah itu telah ditinggalkan pemiliknya selama bertahun-tahun, sehingga kerap dijadikan orang-orang yang berziarah untuk berteduh.
Saat mereka berempat duduk di satu-satunya kursi panjang yang tersedia di rumah itu, hujan bertambah deras.
Anton terlihat duduk di sebuah peti kecil yang ada di teras rumah itu. Membiarkan ketiganya duduk di kursi panjang.
Ia menyalakan rokoknya, lalu menatap ketiganya dengan wajah serius.
"Kau ada yang ingin ditanyakan kepada mereka nyonya? Perihal kematian suamimu?"
Gurat kedukaan masih terpancar jelas di wajah wanita separuh baya itu. Tapi ia masih memaksa diri untuk tersenyum di hadapan Adit dan Norsy.
"Aku sebelumnya mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian, di mana kalian telah melaporkan kasus hilangnya suamiku. Cuma yang aku herankan, untuk apa suamiku harus pakai bongkar kuburan segala?"
Norsy merasakan ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Ia menggenggam jemari Adit, memberikan isyarat .
"Oh... Begini Nyonya... Pak Arul ada mendapat proyek merenovasi rumah yang dibeli oleh pemakai jasanya," Adit menjelaskan.
"Iya, nyonya, dan belakangan baru diketahui kalau di rumah itu ada kuburannya, dan ia... di pemilik rumah meminta kuburan itu dibongkar..."
"Itulah yang aku merasa heran. Mengapa suamiku sampai rela mengerjakan proyek membongkar kuburan segala? Bukankah suamiku itu kontraktor besar? Kenapa ia mengambil proyek merenovasi rumah segala?"
Sembari berkata begitu ia melirik tajam ke arah Norsy. Seakan seperti mengetahui apa yang terjadi.
Norsy mendadak pucat wajahnya.
Isteri Arul tersenyum manis ke arah Norsy sembari menatapnya tak berkedip. Lalu pandangannya beralih ke Adit.
"Siapamu dia?"
"Oh?" Adit sedikit kaget. Tapi berusaha mengendalikan sikapnya. "Dia kekasihku. Sebentar lagi kita akan menikah," kilahnya.
Suara Adit memang agak bergetar dan serba salah karena menutupi perasaan gugupnya.
Anton terdengar berdehem. Seperti menyindir.
"Ooo..., nyonya Arul tertawa. "Baguslah, kau beruntung memilikinya, karena dia sepertinya pantas jadi rebutan..."
Tidak tahu persis apakah nyonya Arul berkata sesungguhnya atau hanya sekedar menyindir. Bagi mereka tampaknya janda Arul itu punya kepentingan tersendiri mengapa ingin berbicara kepada mereka.
Dan kalimat nyonya Arul berikutnyalah mulai mengungkap apa tujuan janda boss nya itu memanggil dirinya.
"Adit... Aku ingin bertanya, apakah kau bersedia mengambil alih semua pekerjaan serta semua cabang bisnis suamiku?" nyonya Arul bertanya. Suaranya terdengar datar.
Namun kalimat itu bagaikan petir di siang bolong bagi Adit. Ia ternganga tidak percaya.
"M-maksud nyonya?!"
"Kau kuangkat jadi Direktur perusahaan suamiku..." kalimat itu begitu santai meluncur dari lidah nyonya Arul. Tak ada embel-embel apapun setelahnya.
Adit terdiam beberapa saat. Sibuk memikirkan apakah kalimat itu sungguh-sungguh diucapkan atau hanya sekedar bercanda.
"Kenapa Adit? Masih tidak percaya?"
"Bukan begitu nyonya. Tapi setidaknya aku bingung, kenapa nyonya mesti memilih aku?"
"Oke. Anggap saja ini keberuntungan bagimu. Tapi aku berpikiran begini, Adit. Kau orang kepercayaan suamiku. Kuanggap kau sudah mampu mengambil alih perusahaannya. Yang kedua aku tidak mempunyai anak laki-laki yang dewasa. Anakku dua-duanya adalah perempuan, dan mereka masih belum dewasa, sehingga tidak akan mampu jika aku serahkan perusahaan ayahnya. Yang ketiga aku tidak punya orang yang bisa kupercaya. Aku tidak mempunyai keluarga lagi. Jadi sekali lagi aku bertanya, maukah kamu menerima tawaranku?"
Adit terdiam sejenak. Matanya terus memandang ke arah isteri Arul. Berusaha meneliti kesungguhan kata-kata wanita itu.
Lalu ia mengangguk.
"Ya. Saya bersedia nyonya!"
"Bagus. Kalau begitu kau harus bisa menjaga kepercayaanku," nyonya Arul mengangguk puas.
Tangannya tiba-tiba merogoh tas jinjingnya yang berharga puluhan juta. Lalu jarinya mengeluarkan sebuah kunci serta menyerahkannya ke arah Adit.
"Kau pakailah ini sebagai kendaraan dinasmu. Mobilnya diparkir di garasi kantor suamiku. Nissan terano warna hitam. Besok pagi kau kuharap ke kantor segera. Benahi segala yang belum beres sebelum kacau sepeninggal Arul," ia kemudian berdiri, diikuti oleh putrinya yang bungsu.
Kepada Anton ia berkata: "Terima kasih atas bantuanmu selama ini pak Polisi. Aku minta kepadamu untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan suamiku..."
"Itu pasti! kata Anton. Ia tersenyum ke arah Adit dan Norsy. Bersiap-siap hendak beranjak pergi, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengangkat HP itu, lalu terlihat mengerutkan alis saat mengetahui siapa yang memanggilnya.
"Dari kamar mayat..." ia berdesis, lalu menjawab panggilan itu. "Hallo?!"
Anton sejenak terdiam menyimak pembicaraan orang yang ada di telepon. "Apa...? Mayatnya mengeluarkan darah? Ah, yang benar? Masak sih mayat bisa mengeluarkan darah? Itu bukan mayat namanya. Itu namanya mayat yang terluka. Ha ha ha..."
Anton tertawa-tawa sambil menjulurkan lidahnya. Ia mengedip-ngedipkan mata seraya menatap Norsy dan Adit yang terpaku bingung melihat kelakuan Anton.
"Ada apa, Pak Anton?" Adit mengerutkan alis.
"Oh, tidak! Ini ada-ada saja. Tadi ada telepon dari dokter forensik di rumah sakit. Katanya mayat perempuan yang kita temukan di dalam rumah tua, hidung dan mulutnya mengeluarkan darah..."
Adit terpaku.
Norsy mengkerut ketakutan. "Ih, mayat siapa sih itu? Apa sudah diketahui keluarganya Pak Anton?"
Anton menggeleng. Ia juga tengah berpikir.
"Aku ingin cek dulu kebenarannya. Aku ingin ke rumah sakit, Anton terlihat tergesa-gesa. Kalian ingin ikut?"
***