Chereads / Perjanjian Ketiga / Chapter 26 - Selendang Perjanjian

Chapter 26 - Selendang Perjanjian

Kakang Kawah dan Adi Ari-Ari adalah pelindung gaib untuk jabang bayi yang baru dilahirkan. Seandainya mereka kalah, siapa lagi yang akan melindungi Alit? Wibi semakin khawatir. Dia pun tidak bisa berbuat banyak untuk menolong mereka. Wibi teringat mimpinya tentang kendil yang berisi ari-ari Alit yang akan dibawa pergi.

Apakah itu firasat bahwa mereka akan pergi dan tidak bisa menolong Alit? Duh Gusti Alloh tolonglah keluargaku dari gangguan makhluk jahat itu, pinta Wibi dalam hati.

Bara api itu pun akhirnya pecah dan kembali ke bentuk semula menjadi bayangan kembar putih dan kuning. Sementara Mbok Sum semakin ganas. Makhluk itu menatap tajam dan berjalan mendekati Ratri yang sedang menggendong Alit. Mulutnya terbuka memperlihatkan gigi-gigi taringnya. Kedua tangannya terentang dengan kuku-kuku runcing siap mencabik-cabik tubuh Ratri dan anaknya. Perlahan jarak mereka semakin dekat.

Tidak ada pilihan lain bagi Wibi untuk menghadapi Mbok Sum secara langsung. Dengan seblak sapu lidi yang masih digenggamnya kuat-kuat, Wibi bersiap menghadang langkah Mbok Sum. Sementara dua bayangan kembar berada di depannya. Ratri semakin khawatir dengan situasi itu. Apakah mereka bertiga dapat menghentikan sepak terjang makhluk setengah lelembut itu?

Kedua bayangan kembar kembali menerjang Mbok Sum. Mereka bergerak sangat cepat mengitarinya dengan arah yang saling berlawanan. Terjadi pusaran angin dan hawa panas menyelimuti tubuh Mbok Sum. Mereka mencoba untuk menguraikan tubuh makhluk setengah lelembut tersebut. Mereka mencoba memisahkan secara paksa baurekso Wewe Gombel yang bersemayam dalam tubuh Mbok Sum. Terlihat serpihan-serpihan kulit makhluk setengah lelembut itu terlepas dari tubuhnya dan beterbangan. Sepertinya baurekso itu terikat kuat pada tubuh Mbok Sum.

Bayangan kembar itu akan menyeret paksa baurekso Wewe Gombel agar keluar dari tubuh Simbok, kata Wibi dalam hati.

Dia merasa ngeri menyaksikan pergulatan itu. Mbok Sum menggeliat. Kedua lengannya merapat ke tubuh. Tubuhnya menegang menahan arus pusaran angin agar tidak melepaskan ikatan selendang yang mengikat baurekso Wewe Gombel pada tubuhnya. Perlahan-lahan kedua tangannya bergerak menyilang di depan dada dan telapak tangannya membuka menghadap ke dalam. Kuku-kuku runcing pada kedua tangannya terlihat semakin memanjang hingga menyentuh dan menembus dinding pusaran angin.

Seerrrt .... kreesss ...!!! Terdengar suara seperti benda logam tergores.

Sepertinya usaha mereka belum bisa melumpuhkan Simbok. Makhluk itu terlalu tangguh bagi kedua saudara Alit, kata Wibi ketika melihat dinding pusaran angin itu mulai robek.

Akhirnya dinding pusaran angin itu benar-benar robek dan terdengar jeritan menyayat hati. Terlihat percikan api dan asap putih keluar dari robekan tersebut. Pusaran angin itu semakin mereda kemudian berhenti. Dan kedua bayangan kembar hilang lenyap bagai ditelan bumi. Tercium bau busuk gosong memenuhi kamar tidur Wibi. Sementara Mbok Sum masih berdiri tegak dengan kuku-kuku runcingnya. Dia bersiap menerjang untuk merebut Alit yang berada dalam gendongan Ratri.

Wibi segera melangkah mundur mendekati Ratri. Seblak sapu lidi kembali diayun-ayunkan untuk menghalangi langkah Mbok Sum yang semakin mendekati Ratri. Tetapi makhluk itu semakin kuat. Mbok Sum kemudian mengibaskan tangan kanannya. Wuuss ...!

Tercipta embusan angin sangat kuat menerjang tubuh Wibi. Dia terlempar ke samping dan jatuh bergulung-gulung di lantai.

"Mas Wibi!" teriak Ratri. Dia mencemaskan keselamatan suaminya ketika melihat tubuh itu tidak bergerak lagi. Kekuatan baurekso Wewe Gombel telah menghentikan langkah Wibi.

"Mas Wibi! Bangun ...! Mas ... aku membutuhkanmu ...!" Kembali Ratri berteriak sambil memeluk Alit untuk membangunkan Wibi.

Terlihat air mata mengalir deras membasahi kedua pipi Ratri. Sejenak suasana hening ketika Ratri sudah tidak sanggup lagi untuk berteriak. Kedua lututnya tidak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Dia terduduk bersimpuh memandangi tubuh suaminya.

"Sekarang tidak ada lagi yang akan melindungimu. Ratri ...! Serahkan bayi itu padaku. Aku akan menyelesaikan perjanjian ketigaku!" Perlahan tapi pasti Mbok Sum semakin mendekati Ratri.

"Tidak! Apa pun yang terjadi, aku tidak akan menyerahkan Alit padamu!" kata Ratri.

Tiba-tiba tubuh Wibi bergerak-gerak. Berdebar jantung Ratri menyaksikannya. Dan perlahan-lahan tubuh Wibi dapat bangkit kembali. Wibi menengok ke arah Ratri yang masih duduk bersimpuh menggendong Alit.

"Awas, Rat! Simbok semakin ganas! Lebih baik kita menghindar saja!" kata Wibi dengan suara lemah. Wibi segera mendekati Ratri. Mereka melangkah mundur mencari jalan keluar.

"Tapi, Mas, kita tidak bisa keluar! Lihat pintu itu ada di sana."

Mereka baru menyadari kalau pintu untuk keluar kamar ada di belakang tubuh Mbok Sum. Ratri semakin ketakutan dan keluar keringat dingin di sekujur tubuhnya. Dipeluknya tubuh Alit erat-erat.

"Alit ... ibu takut kehilanganmu! Simbok terlalu kuat untuk kedua saudara gaibmu. Apalagi bagi ayahmu. Duh Gusti Alloh berilah mereka kekuatan untuk menghadapi Mbok Sum," kata Ratri. Tubuhnya gemetar, ngeri melihat penampakan Mbok Sum. Tak terasa menitik air matanya mengenai dahi Alit. Alit pun merasakan kegelisahan dan kekhawatiran ibunya.

Ibu berdoalah. Dengan bantuan Kak Ayu mungkin mereka dapat mengalahkan baurekso itu. Kata-kata Alit kembali menggema di rongga kepala Ratri.

"Benarkah ...? Bagaimana caranya, anakku?" tanya Ratri penuh harap. Kemudian dilihatnya di tengah-tengah dahi Alit muncul kembali bulatan berkilat memancarkan cahaya putih menyilaukan mata.

Tiba-tiba saja, entah dari mana kedua bayangan putih kuning itu muncul kembali dan melesat ke arah Ayu. Mereka segera masuk ke dalam tubuh Ayu melalui ubun-ubun kepalanya. Tubuh Ayu yang masih tergolek tak sadarkan diri di lantai itu berpendar dan cahaya putih kuning menyelubungi tubuhnya.

Tubuh Ayu kemudian melayang dan berdiri tegak satu jengkal di atas lantai. Matanya berkilat memancarkan cahaya putih menyilaukan. Kedua tangannya menjulur ke bawah sedikit terentang. Ayu segera mengentakkan kakinya. Dia pun terbang melayang menerjang menyambut tubuh Mbok Sum yang bergerak ke arah Ratri. Terjadi benturan dan terdengar suara amat keras. Meskipun ukuran tubuh Mbok Sum tiga kali lipat lebih besar dari tubuh Ayu, tubuh Mbok Sum dapat terdorong ke belakang beberapa langkah.

"Tak kan kubiarkan kau melukai Alit dan ibuku!" kata Ayu dengan suara mendesis.

"Huh ...! Jangan harap kau dapat menghalangiku! Ratri adalah milikku," kata Mbok Sum dengan suara berat.

Ayu melayang turun kembali tetapi kaki itu tetap tidak menyentuh lantai. Dia berjalan melayang ke arah Mbok Sum kembali. Terlihat Mbok Sum mengayun-ayunkan kedua tangannya dengan cepat untuk menyambut kedatangan Ayu. Kembali tubuh mereka berbenturan. Tapi kali ini Ayu berhasil memegang kedua tangan Mbok Sum dengan kuat. Terjadi tarik menarik di antara keduanya. Mbok Sum berusaha menggigit Ayu. Tetapi sepasang taring itu tidak mampu menembus selubung cahaya yang menyelimuti Ayu.

Kembali Mbok Sum mencoba membuka mulutnya lebar-lebar. Dia ingin memakan tubuh Ayu dari kepalanya. Terlihat dua pasang gigi taring siap untuk merobek-robek kulit kepala Ayu. Ketika jarak kepala mereka semakin dekat, Ayu pun membuka mulutnya. Secepat kilat meluncur bayangan kuning dari mulut Ayu menerjang mulut Mbok Sum dan masuk ke dalam perutnya. Mbok Sum seperti tersedak dan terdorong mundur beberapa langkah.

Mbok Sum menggeliat, tubuhnya meregang dan perlahan-lahan terangkat ke atas. Terdengar erangan panjang dari mulut makhluk setengah lelembut itu. Ayu segera melepaskan pegangannya pada kedua tangan Mbok Sum. Mbok Sum semakin menggeliat dan kedua tangannya bergerak tak beraturan. Beberapa kali dia berteriak mengerang panjang. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak memegangi perutnya sambil mengerang kesakitan. Rupanya bayangan kuning yang masuk ke tubuh Mbok Sum sedang mengoyak isi perutnya. Bayangan kuning itu seperti sedang mencari sesuatu.

Sejurus kemudian terlihat perut Mbok Sum robek diiringi erangan panjang menyayat hati. Menyemburlah darah merah kecokelatan dari luka robek itu. Kemudian keluarlah bayangan kuning sambil membawa selendang pendek berwarna putih. Tubuh setengah lelembut milik Mbok Sum kehilangan kekuatannya setelah selendang itu lepas dari tubuhnya. Dia terhuyung beberapa langkah ke belakang dan jatuh terlentang tak berdaya di atas lantai kamar.

Tubuh Mbok Sum kemudian berpendar mengeluarkan cahaya putih keperakan dan keluarlah tubuh bayangan Nenek Bongkok dari tubuh Mbok Sum. Mbok Sum pun kembali dalam bentuk tubuh aslinya. Sedangkan tubuh bayangan Nenek Bongkok perlahan-lahan berubah menjadi tubuh halus baurekso Wewe Gombel. Sesosok perempuan cantik bermata besar dengan sepasang payudara besar menggantung hingga ke perutnya. Rambutnya panjang terlihat terurai menutupi sebagian payudara besarnya.

"Mbok Sum, kau telah gagal memenuhi perjanjian ketigamu. Aku ambil kembali kehidupan abadi dari ragamu. Dan kau akan mengabdi selamanya padaku!" kata baurekso Wewe Gombel sambil terkekeh-kekeh.

Tubuh halus Wewe Gombel perlahan-lahan memudar dan menjadi segumpal cahaya putih. Cahaya itu kemudian melesat cepat menembus langit-langit kamar menuju ke pohon asem tua di kebun kosong pinggir Bengawan Solo.

Wibi dan Ratri menyaksikan tubuh Mbok Sum telah kembali dalam bentuk aslinya, muda dan cantik. Tetapi ada luka robek di bagian perutnya. Kemudian perlahan-lahan tubuh itu seperti ada yang menyedot seluruh cairan tubuhnya. Tubuh Mbok Sum menyusut dari arah kaki menuju kepala hingga tinggal tulang terbalut kulit saja. Tubuh itu semakin kering dan menjadi terlihat sangat tua. Mbok Sum menemui ajalnya setelah selendang putih bukti perjanjian ketiganya dengan baurekso Wewe Gombel dicabut dari tubuhnya.

Selendang putih yang masih dibawa Ayu itu perlahan melapuk menjadi debu tertiup angin. Dan Ayu jatuh terkulai di lantai kamar bersamaan dengan keluarnya dua cahaya putih dan kuning dari tubuhnya. Wibi segara menghampiri Ayu dan membopongnya. Sementara kedua cahaya itu melesat cepat ke arah Alit dan masuk ke dalam dahinya. Sejenak terlihat kembali oleh Wibi bulatan berkilat menyilaukan di tengah dahi Alit.

Mata ketiga itu dimiliki oleh Alit. Benarkah karena dia sungsang sewaktu dalam kandungan? Wibi memperhatikan Alit.

"Ada apa, Mas, melihat Alit sampai begitu seriusnya?"

"Alit bisa berkomunikasi dengan kembaran gaibnya. Yang berarti dia juga bisa berkomunikasi dengan makhluk gaib atau lelembut lainnya." Wibi diam sejenak.

"Terus ...," Ratri penasaran dengan apa yang ada dalam benak Wibi.

"Alit akan diikuti oleh lelembut sepanjang hidupnya, seperti kata Simbok."

"Mengapa begitu, Mas? Apa itu kecerobohan kita dulu karena melanggar pantangan leluhur?"

"Aku tidak tahu, Rat. Ini masih menjadi misteri bagiku. Tapi yang penting, berakhir sudah perjanjian ketiga Mbok Sum dengan baurekso Wewe Gombel," kata Wibi.

"Iya, Mas. Berakhir pula tradisi bancakan dan sesajen di keluarga kita ini," kata Ratri menambahi.

"Kalau kamu mau melanjutkan bancakannya juga nggak apa-apa, Rat," kata Wibi sambil tersenyum. "Itu sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Gusti Alloh atas limpahan berkah, rahmat, dan rezeki-Nya."

"Kalau sesajennya?" tanya Ratri sedikit gemetar saat menyebut kata sesajen.

"Dengan bunga kantil juga? Kamu mau seperti Simbok, Rat?" Wibi menatap dalam-dalam bola mata Ratri. Ratri hanya menggeleng dan tersenyum manis. Dia kemudian memeluk erat Alit yang berada dalam gendongannya.

Alit adalah bayi sungsang dalam keluarga Wibi dan Ratri. Karenanya dia memiliki energi yang lebih besar dari bayi yang dilahirkan normal. Dalam perjalanan kehidupannya Alit ibarat matahari yang akan menjadi daya tarik bagi lelembut (makhluk gaib) yang ada di sekitarnya. Mereka akan terus berusaha untuk mendekati Alit karena mempunyai maksud dan tujuan tertentu atau hanya sekedar mendekat untuk dijadikan temannya saja ....

TAMAT

*****

"Sesajen merupakan tradisi kuno masyarakat Jawa yang harus disikapi secara bijak, karena menyertakan kekuatan gaib selain Gusti Alloh."